Langit senja itu begitu indah, dengan semburat jingga yang menyejukkan mata. Di taman kota, di bawah pohon besar, Rizka duduk termenung. Hati yang tengah dilanda kebingungannya, membawa pikirannya jauh dari suasana sekitar. Entah mengapa, ia merasa seolah dunia sekitarnya begitu jauh, seolah ia berada dalam ruang hampa.
Rizka menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan singkat dari Arga. Pesan itu sudah dibaca berkali-kali, namun tak ada satu pun kata-kata itu yang mampu menghapus perasaan sakit di dalam dada.
*"Rizka, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku sudah tidak merasakan hal yang sama lagi."*
Pesan itu datang beberapa hari yang lalu. Dan hingga saat ini, perasaan itu masih membekas. Arga, yang selama ini ia anggap sebagai orang yang tepat, ternyata justru menjadi orang yang salah. Mereka telah menjalin hubungan selama dua tahun, dan selama itu pula Rizka membangun impian-impian tentang masa depan bersama Arga. Tetapi kini, semua impian itu hancur begitu saja, seperti kaca yang terjatuh dan pecah tak bisa disatukan kembali.
Rizka menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Namun semakin ia berusaha melupakan, semakin dalam luka itu menganga. Arga adalah cinta pertama yang begitu sempurna di matanya. Setiap detik yang dihabiskan bersama Arga seolah menjadi kenangan indah yang tidak pernah ingin ia lepaskan. Tapi kenyataan berkata lain. Arga memilih untuk pergi, dan Rizka harus menerima kenyataan pahit itu.
Ia teringat kembali saat pertama kali bertemu dengan Arga. Waktu itu, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang ramai oleh suara gelak tawa dan percakapan. Arga yang duduk di meja sebelah, memulai percakapan dengan sebuah senyuman yang hangat. Mereka berbicara panjang lebar tentang banyak hal. Tentang buku yang mereka baca, film yang mereka tonton, bahkan hal-hal kecil yang kadang dianggap sepele oleh orang lain. Semuanya terasa begitu mudah, begitu natural.
Dari percakapan itu, Rizka mulai menyadari bahwa Arga bukan hanya menarik secara fisik, tetapi juga memiliki kepribadian yang menyenangkan. Mereka memiliki banyak kesamaan, terutama dalam hal pandangan hidup. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka pun semakin dekat. Rizka merasa sangat beruntung bisa memiliki Arga dalam hidupnya.
Namun, belakangan, segala sesuatu mulai berubah. Arga menjadi lebih sibuk, lebih sering menghindar, dan lebih jarang menghubungi Rizka. Awalnya Rizka hanya menganggapnya sebagai hal yang biasa. Mungkin Arga sedang ada banyak pekerjaan, atau hanya sedang membutuhkan waktu untuk diri sendiri. Tapi, semakin lama, perubahan itu semakin jelas. Ternyata, Arga sudah tidak lagi mencintainya seperti dulu. Entah kapan itu dimulai, Rizka tidak tahu. Tapi yang ia tahu, saat Arga mengirim pesan singkat itu, dunia Rizka runtuh.
Sejenak, Rizka menatap ke arah langit yang semakin gelap. Ia merasa seolah angin membawa pergi seluruh harapan yang pernah ia punya. Namun, di balik kepedihan itu, ada rasa penasaran yang belum terjawab. Mengapa Arga bisa berubah begitu cepat? Mengapa ia yang dulu begitu penuh perhatian, kini menjadi orang yang jauh dan dingin?
Rizka memutuskan untuk bertanya langsung pada Arga. Ia tak ingin hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Esoknya, setelah beberapa kali mencoba menghubungi Arga, akhirnya mereka bertemu di sebuah kafe yang dulu sering mereka kunjungi. Arga duduk di depannya, tampak berbeda dari yang biasanya. Wajahnya terlihat lelah dan penuh dengan kesan tidak tertarik. Rizka menghembuskan napas panjang, sebelum akhirnya membuka pembicaraan.
"Aku... aku cuma ingin tahu kenapa, Arga. Kenapa kamu tiba-tiba berubah seperti ini?" tanya Rizka dengan suara yang sedikit gemetar.
Arga terdiam sejenak, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana, Rizka. Mungkin aku memang tidak pernah benar-benar tahu apa yang aku inginkan. Dan aku rasa, kita sudah terlalu berbeda, terlalu jauh." Jawaban Arga terdengar datar dan tidak penuh keyakinan.
Rizka merasakan betapa sakitnya mendengar kata-kata itu. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Arga seperti pisau yang menembus jantungnya. "Tapi kita pernah bahagia, Arga. Kita pernah berbicara tentang masa depan. Tentang bagaimana kita akan melewati semuanya bersama."
Arga menggigit bibirnya, seolah merasa bersalah. "Aku tahu, Rizka. Aku tahu. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan. Aku tidak bisa menjadi orang yang kamu harapkan."
Rizka merasa air matanya mulai menggenang di matanya. "Jadi, semua yang kita jalani selama ini hanya bohong?" tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Arga menunduk. "Tidak, bukan begitu. Tapi aku merasa, kita berdua sedang berjalan ke arah yang berbeda. Aku tidak ingin menahanmu dengan perasaan yang kosong."
Rizka menatap Arga dalam diam. Di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Cinta yang begitu dalam, kini terasa hampa. Ia ingin mengerti, tapi tak tahu bagaimana caranya. Arga adalah orang yang salah, tapi dia juga orang yang sangat ia cintai. Keputusan untuk melepaskan orang yang sudah terlalu dalam ia cintai, ternyata jauh lebih sulit daripada yang dibayangkannya.
"Aku tidak tahu harus bagaimana, Arga. Aku mencintaimu," kata Rizka akhirnya, dengan suara yang penuh keraguan.
Arga mengangguk perlahan. "Aku tahu. Dan aku juga tidak ingin membuatmu terluka. Tapi ini yang terbaik, Rizka. Untuk kita berdua."
Setelah percakapan itu, Rizka merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia berjalan keluar dari kafe itu dengan hati yang kosong. Cinta yang pernah membuatnya bahagia kini berubah menjadi luka yang dalam. Semua kenangan indah bersama Arga terasa seperti bayangan yang semakin pudar, seiring berjalannya waktu.
Hari-hari setelah itu, Rizka merasa dunia seolah tak lagi sama. Teman-temannya melihat perubahan besar dalam dirinya. Ia menjadi lebih pendiam, lebih sering menyendiri, dan kadang-kadang melamun. Namun, meskipun hatinya terluka, ada satu hal yang ia pahami. Cinta tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan kita. Terkadang, kita mencintai orang yang salah, orang yang tak bisa memberikan kita kebahagiaan yang kita cari.
Namun, dari rasa sakit itu, Rizka belajar banyak. Ia belajar untuk menerima kenyataan, untuk mengikhlaskan seseorang yang ia cintai pergi. Mencintai orang yang salah bukanlah akhir dari segalanya. Itu hanyalah bagian dari perjalanan hidup yang harus dijalani. Dan meskipun Arga bukanlah orang yang tepat untuknya, Rizka yakin bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaannya sendiri.
Malam itu, saat langit sudah gelap, Rizka berdiri di tengah taman dengan angin yang menerpa wajahnya. Ia tersenyum, meski sedikit canggung. Tapi senyuman itu terasa lebih ringan. Senyuman yang datang dari hati yang mulai sembuh. Mungkin mencintai orang yang salah itu menyakitkan, tapi itu adalah langkah pertama untuk menemukan siapa yang benar-benar tepat untuk kita. Dan Rizka tahu, perjalanan hidupnya masih panjang.