______________________________________
Genre: Horor, Misteri
Tema: Mitologi lokal, Dunia arwah
______________________________________
Deskripsi
Di sebuah desa terpencil di Papua, sebuah rumah tua berdiri di tepi hutan lebat. Rumah itu disebut 'Rumah Sampari,' tempat yang dipercaya sebagai gerbang dunia arwah. Penduduk desa menghindarinya, namun Alex, seorang fotografer yang haus akan sensasi, memutuskan untuk membuktikan bahwa semua itu hanyalah mitos.
Namun, apa yang ia temukan di dalam rumah itu jauh melampaui imajinasinya. Bayangan misterius, bisikan arwah, dan rahasia kelam tentang keluarganya mulai terungkap. Semakin dalam ia menjelajah, semakin ia menyadari bahwa tidak ada jalan keluar.
Bisikan itu semakin jelas: 'Kamu telah dipanggil.'
Siapkah Alex menghadapi teror yang menghuni rumah ini? Atau akankah ia menjadi bagian dari misteri yang tak pernah terpecahkan?
______________________________________
Rumah Tepi hutan
______________________________________
Di sebuah desa terpencil di Papua, terdapat sebuah rumah tua yang berdiri di tepi hutan lebat. Rumah itu dikenal sebagai "Rumah Sampari," tempat yang dipercaya penduduk sebagai gerbang dunia arwah. Tidak ada yang berani mendekatinya. Sudah banyak cerita tentang orang-orang yang menghilang setelah masuk ke dalam rumah itu, dan mitos tentang roh-roh jahat yang menghuni setiap sudutnya semakin menambah ketakutan.
Namun, Alex, seorang pemuda yang baru tiba dari kota, tidak percaya dengan semua itu. Dia adalah seorang fotografer yang sering berburu tempat-tempat angker untuk dokumentasi. Kali ini, dia sengaja datang ke desa tersebut setelah mendengar cerita tentang Rumah Sampari. Baginya, rumah itu hanyalah bangunan tua yang ditinggalkan, dan cerita-cerita menyeramkan hanya bumbu dari imajinasi orang-orang desa.
Penduduk desa sudah memperingatkannya. Kepala desa bahkan menatapnya dengan wajah serius, berkata, "Jangan bermain-main dengan arwah. Rumah itu tidak seperti tempat lain." Namun, Alex hanya tersenyum dan berkata, "Saya akan baik-baik saja. Lagipula, kalau ada yang aneh, saya punya kamera untuk merekamnya."
Saat malam tiba, Alex berjalan menuju Rumah Sampari, hanya berbekal senter, kamera, dan tas kecil. Dari jauh, rumah itu terlihat seperti siluet gelap dengan jendela-jendela kosong yang menganga seperti mata mati. Hawa dingin yang aneh menyelimuti udara, meskipun malam itu seharusnya hangat.
Ketika Alex melangkahkan kaki masuk ke rumah, pintu kayu tua itu mengeluarkan suara berderit yang memekakkan telinga. Di dalam, aroma lembab dan busuk menyambutnya. Dinding rumah dipenuhi ukiran-ukiran khas Papua, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Beberapa ukiran tampak aneh-gambar-gambar yang menyerupai makhluk dengan wajah rusak, mata melotot, dan tubuh bengkok.
Alex mengabaikan keganjilan itu dan mulai mengatur peralatannya. Dia mendokumentasikan setiap sudut rumah, memastikan untuk merekam semuanya. Namun, ketika dia melihat hasil rekaman di kameranya, ada sesuatu yang tidak biasa. Di salah satu rekaman, sebuah bayangan terlihat melintas cepat di belakangnya, padahal dia yakin dia sendirian.
Malam semakin larut. Alex mulai merasa tidak nyaman. Suara-suara aneh mulai terdengar. Awalnya hanya derit lantai kayu yang seolah-olah ada yang berjalan di atasnya, tetapi lama-kelamaan suara itu berubah menjadi bisikan.
"Pergi..."
Bisikan itu begitu halus, hampir seperti hembusan angin, tetapi terasa jelas di telinganya. Alex berhenti sejenak, mencoba mencari sumber suara. "Siapa di sana?" tanyanya dengan suara lantang, tetapi tidak ada jawaban.
Dia memutuskan untuk terus menjelajahi rumah, masuk ke sebuah kamar yang tampaknya dulu digunakan sebagai ruang tidur. Di dalam kamar itu, ada sebuah cermin besar yang menempel di dinding. Saat Alex menyorotkan senter ke cermin, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di dalam cermin, bayangan seorang wanita dengan rambut panjang berdiri di belakangnya, meskipun ketika dia menoleh, tidak ada siapa-siapa di sana. Nafasnya mulai memburu, tetapi dia mencoba tetap tenang.
"Ini hanya ilusi," gumamnya pada dirinya sendiri.
Namun, semakin lama dia berada di rumah itu, semakin banyak keanehan yang terjadi. Lampu senternya tiba-tiba meredup tanpa alasan, dan hawa dingin semakin menusuk. Saat dia berjalan kembali ke ruang tamu, dia menemukan sebuah foto tua yang terjatuh dari dinding. Foto itu memperlihatkan keluarganya-ibu, ayah, dan dirinya saat masih kecil. Namun, ada satu sosok tambahan di foto itu, seorang wanita dengan wajah kosong yang tidak pernah dia kenal.
Ketakutannya semakin menjadi-jadi ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Saat dia mencoba keluar dari rumah, pintunya tidak bisa dibuka. Dia menarik-narik gagangnya, tetapi pintu itu tetap terkunci rapat.
Di tengah kepanikannya, bisikan itu kembali, tetapi kali ini lebih keras.
"Kamu tidak akan pergi..."
Tiba-tiba, semua lampu mati. Rumah itu menjadi gelap gulita. Alex menyalakan senter di ponselnya, tetapi hanya mampu menerangi beberapa langkah di depannya. Dalam kegelapan, dia mulai mendengar suara tangisan. Suara itu terdengar begitu dekat, seperti berasal dari dalam ruangan yang sama.
Dia mencoba mencari asal suara itu, dan langkah kakinya membawanya ke ruang bawah tanah. Di sana, dia menemukan sesuatu yang mengerikan-sebuah peti kayu tua yang penuh dengan ukiran aneh. Peti itu sedikit terbuka, dan dari celahnya, dia melihat rambut panjang berwarna hitam.
Ketika dia mendekat, peti itu tiba-tiba bergerak sendiri dan terbuka lebar. Wanita yang ada di dalam foto muncul dari dalam peti dengan wajah rusak dan mata hitam pekat yang menatap langsung ke arahnya.
Alex berteriak, tetapi suaranya seperti tertelan oleh kegelapan. Wanita itu mendekatinya dengan langkah lambat, dan setiap langkahnya diiringi oleh suara bisikan yang semakin keras.
"Kamu telah dipanggil..."
Keesokan paginya, penduduk desa tidak menemukan Alex di mana pun. Barang-barangnya masih ada di dalam rumah, tetapi dia menghilang tanpa jejak.
Rumah Sampari kembali sunyi, tetapi penduduk desa tahu, siapa pun yang masuk ke dalam rumah itu tidak pernah benar-benar pergi. Kadang-kadang, di malam hari, mereka mendengar suara bisikan dari arah rumah, memanggil nama mereka satu per satu.
______________________________________
Jejak di Dalam Gelap
______________________________________
Malam semakin larut, dan suara binatang hutan terdengar samar dari kejauhan. Rumah Sampari terasa semakin dingin, meski tidak ada angin yang berembus. Alex memeriksa kembali kameranya, memastikan semuanya berfungsi dengan baik. Dia tidak menyadari bahwa langkah kakinya kini membawa dia lebih jauh ke dalam rumah.
Ruang tengah yang ia masuki terasa berbeda. Dinding-dinding kayu dipenuhi ukiran tua, tetapi satu di antaranya menarik perhatiannya. Sebuah ukiran besar menggambarkan sesosok manusia dengan mata kosong yang dikelilingi oleh bayangan-bayangan menyerupai makhluk berkuku tajam. Di bawah ukiran itu, ada tulisan dalam bahasa Papua kuno yang tidak Alex mengerti.
Saat dia mengarahkan senter ke tulisan itu, hawa dingin menyeruak dari arah lorong. Angin yang tidak seharusnya ada di dalam rumah membuat lilin-lilin kecil yang ia nyalakan mati seketika.
“Siapa di sana?” tanyanya, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menjalari tubuhnya. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang terasa begitu pekat.
Alex melangkah menuju lorong gelap itu. Dia tidak tahu apa yang mendorongnya—rasa penasaran atau sekadar keyakinan bahwa tidak ada apa-apa di sana. Setiap langkahnya menghasilkan bunyi kayu yang berderit, seolah-olah lantai rumah
Saat dia sampai di ujung lorong, dia menemukan sebuah pintu kecil yang tampak berbeda dari pintu lainnya. Pintu itu terbuat dari kayu hitam dan diukir dengan pola yang rumit, mirip dengan yang dia lihat di ruang tengah. Ketika dia mencoba membuka pintu itu, dia merasakan resistensi, seolah-olah ada sesuatu di baliknya yang mencegahnya masuk.
“Tidak terkunci, tapi sulit dibuka,” gumamnya. Dengan usaha ekstra, dia mendorong pintu itu hingga terbuka, dan bau busuk langsung menyerbu hidungnya. Ruangan di balik pintu itu kecil, seperti ruang penyimpanan, tetapi dindingnya penuh dengan foto-foto tua yang sudah memudar.
Satu foto menarik perhatiannya—sebuah potret keluarga. Alex mengenali wajah di foto itu. Itu adalah wajah kakek buyutnya, yang dia cari selama ini. Tapi ada sesuatu yang aneh. Di foto itu, ada satu sosok yang tidak seharusnya ada: seorang wanita dengan rambut panjang, berdiri di sudut dengan wajah yang buram.
“Siapa dia?” Alex bergumam sambil menyentuh foto itu. Saat jarinya menyentuh kaca bingkai, suara keras tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Dia berbalik cepat, tetapi lorong itu kosong.
Namun, saat dia menyorotkan senternya, jejak kaki basah terlihat di lantai kayu, berawal dari ruang penyimpanan itu dan menjalar menuju lorong gelap. Jejak itu tidak seperti milik manusia biasa—jejak itu lebih besar, dengan bentuk aneh seperti telapak kaki yang memanjang dan memiliki cakar.
Ketakutan mulai menguasai Alex, tetapi rasa penasaran tetap menggerakkan kakinya. Dia mengikuti jejak itu, yang membawa dia kembali ke ruang tengah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di sudut ruangan, dia melihat sosok berdiri—wanita dalam foto itu, dengan rambut panjang menutupi wajahnya.
“Siapa kamu?” teriak Alex, mencoba memberanikan diri. Sosok itu tidak menjawab, hanya berdiri diam.
Tiba-tiba, lampu senternya padam, dan rumah itu kembali tenggelam dalam kegelapan total. Suara napasnya sendiri terdengar begitu keras di telinganya, bercampur dengan bisikan lirih yang datang dari segala arah.
“Pergi… sebelum terlambat…”
Bisikan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika Alex mencoba mencari asalnya, dia tidak menemukan apa-apa. Saat senternya kembali menyala, sosok wanita itu sudah tidak ada lagi. Namun, di tempat dia berdiri, ada sesuatu yang ditinggalkan—sebuah boneka kayu kecil dengan ukiran wajah yang sama seperti wanita dalam foto.
Alex memungut boneka itu dengan tangan gemetar. Dia tidak tahu bahwa sejak saat itu, keberadaannya di Rumah Sampari telah diperhatikan oleh sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
Dan jejak kaki di lantai... kini mengarah kembali kepadanya.
______________________________________
Kembali ke Kegelapan
______________________________________
Pagi yang dinanti tidak pernah tiba. Rumah Sampari telah menelan Alex sepenuhnya, seperti sosok-sosok yang pernah mencobanya sebelum ini. Kini, hanya ada gelap, dingin, dan bisikan-bisikan yang tidak pernah berhenti memenuhi pikirannya.
Alex terbaring lemah di lantai ruang tengah, tubuhnya gemetar dan napasnya tersengal. Di tangannya, masih tergenggam boneka kayu kecil yang ia temukan sebelumnya. Setiap kali dia mencoba melepaskannya, boneka itu seolah menempel erat pada kulitnya. Mata Alex yang dulu penuh semangat kini terlihat kosong, seperti telah kehilangan segalanya.
“Kenapa ini terjadi padaku?” gumamnya, suaranya serak. Tapi tidak ada jawaban—hanya suara hening yang menyiksa.
Dia mencoba mengingat kenapa dia datang ke sini. Untuk mencari jejak keluarganya? Untuk memuaskan rasa penasaran? Semua itu terasa tidak penting lagi. Yang tersisa hanyalah penyesalan yang menghantui setiap helaan napas.
Di sudut ruangan, bayangan-bayangan mulai bergerak, menari di atas dinding kayu. Mereka tidak memiliki bentuk yang jelas, tetapi kehadirannya begitu nyata. Alex merasa mereka mengawasinya, menertawakan kegagalannya.
“Kembalikan aku... ke dunia nyata...” tangis Alex, air matanya mengalir deras. Tetapi dia tahu, permintaannya tidak akan dikabulkan. Rumah ini telah memutuskan takdirnya sejak dia melangkahkan kaki pertama kali di dalamnya.
Di tengah kesedihannya, Alex melihat sosok wanita itu lagi—wanita berambut panjang dengan wajah kosong. Kali ini, dia berdiri lebih dekat, begitu dekat hingga Alex bisa merasakan hawa dingin dari tubuhnya.
“Apa yang kau mau dariku?” tanya Alex, putus asa.
Wanita itu tidak menjawab. Perlahan, dia mengulurkan tangannya yang kurus dan kaku, menunjuk ke arah boneka kayu yang Alex pegang. Mata Alex membelalak saat dia melihat boneka itu. Wajahnya kini berubah menjadi wajahnya sendiri, terukir dengan sempurna di permukaannya.
“Tidak… ini tidak mungkin…” bisik Alex, tubuhnya gemetar hebat.
Tiba-tiba, bayangan-bayangan di sekitarnya mulai mendekat. Mereka melingkari tubuh Alex, membuatnya tidak bisa bergerak. Udara menjadi semakin dingin, dan suara bisikan itu berubah menjadi jeritan yang memilukan.
Saat jeritan itu mencapai puncaknya, semuanya mendadak sunyi. Gelap menyelimuti segalanya.
Alex membuka matanya dan mendapati dirinya berdiri di tepi hutan, di tempat yang sama seperti saat dia pertama kali datang. Matahari bersinar terang, dan suara burung-burung terdengar dari kejauhan. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Penduduk desa yang dia lihat tampak tidak mengenalnya, dan mereka berbicara dengan nada penuh ketakutan saat melihat ke arahnya.
Alex berlari ke arah seorang pria tua yang tampaknya adalah kepala desa. “Pak, tolong! Saya harus keluar dari sini! Rumah itu—”
Namun, pria itu mundur ketakutan. “Kamu… bukan manusia lagi,” katanya lirih.
Alex terdiam, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia melihat ke tangannya sendiri—kulitnya kini berubah pucat, hampir transparan. Dia berusaha menyentuh pria itu, tetapi tangannya hanya menembus udara, seperti kabut yang tidak nyata.
“Saya… mati?” bisik Alex, suaranya hampir tidak terdengar.
Rumah Sampari tidak hanya mengambil tubuhnya, tetapi juga jiwanya. Kini, Alex menjadi bagian dari rumah itu, terjebak di antara dunia nyata dan dunia arwah. Dia hanya bisa menyaksikan dunia bergerak tanpa dirinya, tanpa ada yang mengenang atau mencarinya.
Dengan langkah gontai.
______________________________________
Note (Cerita di ambil dari akun Wattpad saya)