Di sebuah desa kecil yang dikelilingi ladang bunga lavender, tinggal seorang gadis bernama Aira. Ia adalah sosok sederhana yang selalu menghabiskan sore harinya di atas bukit, memandang matahari terbenam yang melukiskan warna jingga di cakrawala. Setiap hari, Aira menunggu seseorang—Faris, seorang pemuda yang dulu berjanji akan kembali untuknya.
Pertemuan Awal
Aira pertama kali bertemu Faris di festival desa lima tahun lalu. Faris, seorang pelukis muda yang mengembara dari kota ke kota, datang ke desanya untuk mencari inspirasi. Saat melihat Aira tengah menari di tengah ladang lavender, ia merasa seperti menemukan keindahan yang selama ini ia cari.
“Namamu Aira?” tanyanya sambil tersenyum.
Aira mengangguk, sedikit gugup. "Iya, kenapa?"
“Aku ingin melukismu. Kau seperti angin yang berembus lembut, tapi meninggalkan kesan mendalam.”
Mereka segera akrab, berbagi cerita tentang impian mereka. Aira ingin menjaga ladang lavender keluarganya tetap hidup, sementara Faris bermimpi melukis keindahan dunia. Hubungan mereka tumbuh dari tawa sederhana, berjalan di antara bunga-bunga ungu, hingga bintang-bintang malam menjadi saksi bisu cinta mereka.
Janji yang Terucap
Namun, Faris harus pergi. Ia mendapatkan kesempatan untuk belajar melukis di luar negeri, sebuah mimpi yang tak bisa ia tinggalkan.
“Aira,” katanya di bawah langit penuh bintang, “aku akan kembali. Tunggu aku di bukit ini.”
Aira mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan menunggu, Faris. Tapi jangan terlalu lama, aku mungkin tidak sekuat itu."
Faris menggenggam tangannya erat. “Kau adalah rumahku, Aira. Aku pasti kembali.”
Penantian yang Panjang
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, namun Faris tak kunjung kembali. Aira tetap setia menunggu di bukit itu, mengirim doa-doa lewat langit senja. Ladang lavender mulai meranggas, menunjukkan betapa waktu terus berjalan tanpa ampun.
Orang-orang mulai berbisik, mengatakan bahwa Faris telah melupakan janji itu, bahwa cinta pertama memang sering hanya menjadi kenangan. Tapi Aira tak pernah berhenti percaya. Setiap kali senja menyapa, ia duduk di bukit itu, berharap melihat sosok Faris berjalan mendekat.
Kembalinya Sang Kekasih
Lima tahun kemudian, di hari ulang tahun Aira, hujan mengguyur desa. Ia tetap pergi ke bukit, meski dingin menggigit tubuhnya. Sambil memeluk selimut yang dikenakan, ia memandang langit yang kelabu, bertanya-tanya apakah Faris benar-benar akan kembali.
Saat itulah, dari kejauhan, ia melihat seorang pria berjalan dengan payung di tangan. Aira terpaku, tak berani berharap terlalu banyak. Namun, ketika pria itu mendekat dan menurunkan payungnya, ia melihat wajah yang selama ini ia rindukan.
“Faris…” bisiknya, tak percaya.
Faris tersenyum, meski ada air mata di matanya. “Aku kembali, Aira. Maaf membuatmu menunggu begitu lama.”
Aira berlari memeluknya, membiarkan hujan menyembunyikan tangis bahagianya. “Kau bodoh, Faris. Kau tahu berapa kali aku hampir menyerah?”
“Tapi kau tidak menyerah, kan?” Faris memegang wajahnya dengan lembut. “Karena aku tahu, cinta kita lebih kuat dari waktu.”
Sebuah Lukisan Abadi
Malam itu, Faris menunjukkan sebuah lukisan yang ia bawa—lukisan Aira, berdiri di antara ladang lavender dengan senyum yang ia rindukan.
“Ini yang membawaku kembali. Tidak peduli sejauh apa aku pergi, hatiku selalu berada di sini, bersama dirimu.”
Aira menatap lukisan itu dengan air mata berlinang. “Kau kembali tepat waktu, Faris. Sebelum hatiku benar-benar layu.”
Malam itu, di bawah langit berbintang, Faris dan Aira akhirnya menemukan cinta yang telah lama terpisah. Bagi mereka, waktu hanyalah jeda; cinta mereka adalah keabadian yang tak bisa direnggut siapa pun.