**Sinopsis**
**"Bayangan di Balik Cermin"**
Ayaka Saraswati Nobunaga, seorang seniman muda blasteran Jawa-Jepang, pindah ke sebuah apartemen tua di pusat kota untuk mencari inspirasi baru. Namun, dia segera menyadari bahwa apartemen itu menyimpan rahasia mengerikan. Cermin antik peninggalan ibunya, yang dia letakkan di ruang tamu, ternyata adalah portal ke dunia lain. Sosok bayangan di balik cermin mulai mengganggunya, meniru gerakannya, dan perlahan mengambil alih hidupnya. Saat Ayaka menyelidiki sejarah keluarganya, dia menemukan bahwa cermin itu terkait dengan kutukan leluhur dari kedua orang tuanya: darah bangsawan keraton Jawa dan keturunan samurai legendaris Jepang. Untuk membebaskan diri, Ayaka harus masuk ke dunia di balik cermin dan menghadapi sosok itu langsung. Namun, pilihannya justru membawanya pada akhir yang mencekam: dia terjebak di balik cermin, sementara sosok itu mengambil alih hidupnya di dunia nyata.
---
### **Tokoh Utama**
#### **1. Ayaka Saraswati Nobunaga**
- **Usia**: 25 tahun
- **Pekerjaan**: Seniman muda (pelukis dan pematung)
- **Latar Belakang**:
- Ayaka adalah blasteran Jawa-Jepang. Ibunya, seorang putri keraton Jawa, meninggal saat dia masih kecil. Ayahnya, keturunan samurai legendaris Oda Nobunaga, meninggal dalam kecelakaan misterius.
- Dia mewarisi darah bangsawan dan spiritual dari ibunya, serta keberanian dan disiplin dari ayahnya.
- **Kepribadian**:
- Sensitif, introvert, dan penuh rasa ingin tahu.
- Memiliki sisi pemberani yang tersembunyi, terutama ketika menghadapi ketakutan.
- **Motivasi**:
- Ingin menemukan kebenaran tentang kematian orang tuanya dan membebaskan diri dari kutukan keluarga.
- **Kelemahan**:
- Sering meragukan dirinya sendiri dan merasa tertekan oleh warisan keluarganya.
#### **2. Sosok di Balik Cermin**
- **Identitas**: Manifestasi dari trauma dan kutukan keluarga Ayaka.
- **Karakteristik**:
- Menyerupai Ayaka, tetapi dengan ekspresi yang lebih gelap dan menyeramkan.
- Memiliki kekuatan untuk mengendalikan tindakan Ayaka di dunia nyata.
- **Motivasi**:
- Ingin mengambil alih tubuh Ayaka dan hidup di dunia nyata.
- **Kelemahan**:
- Hanya bisa dikalahkan jika Ayaka berani menghadapinya langsung di dunia balik cermin.
---
*Prolog Awal**
**"Cermin itu tidak pernah diam."**
Ayaka Saraswati Nobunaga menatap cermin antik di ruang tamunya. Cermin itu tinggi, hampir setinggi langit-langit, dengan bingkai kayu berukir yang rumit. Ukirannya membentuk pola-pola aneh: bunga teratai yang menjalar seperti tangan, dan naga yang melingkar seperti ingin melompat keluar. Cermin itu adalah satu-satunya peninggalan ibunya yang masih tersisa setelah kematiannya sepuluh tahun lalu. Ayaka ingat, ibunya selalu berkata, "Jaga cermin ini baik-baik. Dia akan melindungimu."
Tapi malam ini, cermin itu terasa berbeda.
Saat Ayaka mendekat, bayangannya terpantul dengan sempurna. Namun, ada sesuatu yang aneh. Gerakannya tertunda sepersekian detik. Dia mengangkat tangan kanannya, tetapi bayangan itu mengangkat tangan kiri. Dia mengernyit, dan bayangan itu tersenyum.
"Tidak mungkin," bisiknya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Tiba-tiba, lampu di ruangan itu padam. Hanya cahaya bulan yang menyinari cermin itu, membuat bayangannya terlihat lebih gelap, lebih hidup. Ayaka mencoba mundur, tetapi kakinya seperti tertanam di lantai. Bayangan itu melangkah keluar dari cermin, mendekatinya dengan langkah lambat dan pasti.
"Kamu tidak bisa lari," bisik bayangan itu, suaranya seperti gema dari dunia lain.
Ayaka terjaga dari mimpinya, berkeringat dingin. Dia masih di ruang tamu, duduk di depan cermin itu. Tapi sekarang, dia yakin: cermin itu tidak pernah diam.
---
✨Kedatangan di Apartemen Tua
Ayaka Saraswati Nobunaga menatap apartemen barunya dengan perasaan campur aduk. Apartemen tua itu terletak di lantai paling atas sebuah gedung berlantai lima di pusat kota. Meskipun usianya sudah puluhan tahun, apartemen itu masih terlihat kokoh dan megah, dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman—mungkin udara dingin yang terus menyelimuti ruangan, atau mungkin kesunyian yang terlalu pekat untuk sebuah apartemen di tengah kota.
Dia menghela napas panjang sambil menaruh koper terakhir di sudut ruang tamu. "Ini akan menjadi awal yang baru," bisiknya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi entah mengapa, kata-kata itu terasa hampa.
Cermin antik peninggalan ibunya berdiri tegak di sudut ruangan, seolah-olah menjadi pusat perhatian. Ayaka mendekatinya perlahan, menatap bayangannya sendiri yang terpantul di permukaannya. Cermin itu tinggi, hampir setinggi langit-langit, dengan bingkai kayu berukir yang rumit. Ukirannya membentuk pola-pola aneh: bunga teratai yang menjalar seperti tangan, dan naga yang melingkar seperti ingin melompat keluar. Dia ingat ibunya pernah berkata, "Jaga cermin ini baik-baik. Dia akan melindungimu."
Tapi malam ini, cermin itu terasa berbeda.
Saat Ayaka mendekat, bayangannya terpantul dengan sempurna. Namun, ada sesuatu yang aneh. Gerakannya tertunda sepersekian detik. Dia mengangkat tangan kanannya, tetapi bayangan itu mengangkat tangan kiri. Dia mengernyit, dan bayangan itu tersenyum.
"Tidak mungkin," bisiknya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Tiba-tiba, lampu di ruangan itu padam. Hanya cahaya bulan yang menyinari cermin itu, membuat bayangannya terlihat lebih gelap, lebih hidup. Ayaka mencoba mundur, tetapi kakinya seperti tertanam di lantai. Bayangan itu melangkah keluar dari cermin, mendekatinya dengan langkah lambat dan pasti.
"Kamu tidak bisa lari," bisik bayangan itu, suaranya seperti gema dari dunia lain.
Ayaka terjaga dari mimpinya, berkeringat dingin. Dia masih di ruang tamu, duduk di depan cermin itu. Tapi sekarang, dia yakin: cermin itu tidak pernah diam.
Setelah kejadian itu, Ayaka mencoba mengabaikan perasaannya dan melanjutkan aktivitas. Namun, kejadian aneh terus terjadi:
- **Suara Bisikan**: Saat dia mencoba tidur, dia mendengar suara bisikan dalam bahasa Jawa dan Jepang, seolah-olah ada seseorang yang berbicara padanya dari jauh.
- **Barang Bergeser**: Pagi berikutnya, dia menemukan barang-barangnya bergeser dari tempat semula, meskipun dia yakin tidak ada orang lain di apartemen itu.
- **Simbol Aneh**: Saat membersihkan cermin, dia menemukan simbol aneh di balik bingkainya—sebuah lambang keluarga Nobunaga yang dia kenal dari cerita ayahnya.
---
Ayaka bermonolog sendiri "Ini hanya imajinasiku. Aku terlalu lelah. Besok pasti semuanya akan baik-baik saja."
Sementara,samar terdengar suara bayangan "Kamu tidak bisa lari. Aku adalah bagian darimu."
---
✨Bayangan yang Hidup
Malam-malam berikutnya, apartemen itu semakin terasa seperti sangkar. Ayaka mencoba mengisi waktunya dengan melukis, tetapi setiap kali dia menatap kanvas kosong, pikirannya selalu kembali ke cermin itu. Cermin yang seolah-olah memiliki hidupnya sendiri. Cermin yang, entah mengapa, selalu menarik perhatiannya.
Suatu malam, saat Ayaka sedang duduk di depan cermin, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Bayangannya bergerak sendiri. Dia mengangkat tangan, tetapi bayangan itu tidak mengikutinya. Sebaliknya, bayangan itu menatapnya dengan mata kosong, bibirnya membentuk senyuman tipis yang membuat bulu kuduk Ayaka berdiri.
"Kamu melihatku, ya?" bisik bayangan itu, suaranya seperti angin yang berdesir di antara daun-daun kering.
Ayaka langsung mundur, jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi, hasil dari kelelahan dan stres. Tapi ketika dia menatap cermin lagi, bayangan itu masih ada, masih tersenyum padanya.
"Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya gemetar.
Dia mencoba menutupi cermin itu dengan kain, tetapi kain itu terlepas sendiri, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menariknya. Ayaka merasa napasnya semakin berat. Dia tidak bisa lagi mengabaikan fakta bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan cermin itu.
Keesokan harinya, Ayaka memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang cermin itu. Dia membongkar kotak-kotak barang peninggalan orang tuanya yang belum sempat dia buka sejak pindah. Di antara barang-barang itu, dia menemukan sebuah buku catatan kecil milik ibunya. Buku itu penuh dengan tulisan tangan yang rapi, tetapi beberapa halamannya sudah pudar dimakan waktu.
Dia membuka halaman pertama dan membaca :
"Cermin ini adalah pusaka keluarga. Dia bukan sekadar benda mati, tetapi penjaga yang melindungi kita dari dunia lain. Tapi hati-hati, karena dia juga bisa menjadi jebakan."*
Ayaka merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Dia terus membaca, dan semakin banyak rahasia yang terungkap. Ibunya menulis tentang ritual kuno yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia di balik cermin. Ritual itu melibatkan persembahan dan doa-doa khusus, tetapi Ayaka tidak tahu bagaimana melakukannya.
Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Dia berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa. Suara itu datang lagi, kali ini lebih dekat. Ayaka merasa udara di sekitarnya semakin dingin. Dia menutup buku catatan itu dengan cepat dan berdiri, siap untuk lari.
Tapi sebelum dia sempat bergerak, cermin itu bergetar. Getarannya semakin kuat, sampai akhirnya pecahan kaca kecil berhamburan ke lantai. Ayaka menutupi wajahnya dengan tangan, tetapi ketika dia melihat lagi, cermin itu masih utuh. Tidak ada pecahan kaca di lantai. Hanya bayangannya sendiri yang menatapnya dengan tatapan kosong.
"Kamu tidak bisa lari dariku," bisik bayangan itu lagi, suaranya semakin jelas. "Aku adalah bagian darimu."
Ayaka merasa kepalanya pusing. Dia mencoba berteriak, tetapi suaranya tidak keluar. Dia terjatuh ke lantai, dan semuanya menjadi gelap.
---
Ketika Ayaka sadar, dia masih di ruang tamu. Cermin itu masih berdiri tegak, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi Ayaka tahu, itu bukan mimpi. Dia bisa merasakan kehadiran sosok itu, bahkan ketika dia tidak melihatnya.
Dia memutuskan untuk mencari bantuan. Dia mengirim pesan kepada teman lamanya, Rudi, yang pernah bercerita tentang pengalaman mistis. Rudi setuju untuk datang ke apartemennya besok pagi.
Tapi malam itu, Ayaka tidak bisa tidur. Dia mendengar suara bisikan lagi, kali ini lebih keras. Suara itu berbicara dalam bahasa Jawa dan Jepang, bergantian, seolah-olah ada banyak orang yang berbicara padanya sekaligus.
"Kamu harus menghadapiku," bisik salah satu suara itu. "Kamu tidak bisa selamanya lari."
Ayaka menutup telinganya, tetapi suara itu tidak hilang. Dia merasa seperti ada tangan-tangan tak terlihat yang mencoba menariknya ke arah cermin. Dia berjuang melawan rasa takut itu, tetapi semakin dia melawan, semakin kuat tarikannya.
---
**Bayangan di Cermin**:
- "Kamu melihatku, ya?"
- "Kamu tidak bisa lari dariku. Aku adalah bagian darimu."
**Ayaka pada Dirinya Sendiri**:
- "Ini tidak mungkin... ini tidak mungkin..."
- "Aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku tidak bisa terus seperti ini."
---
Ayaka mulai menunjukkan sisi keberaniannya dengan mencoba mencari tahu rahasia cermin, meskipun dia masih diliputi ketakutan.
Buku catatan ibunya menjadi petunjuk penting untuk bab-bab selanjutnya.
---
✨Rahasia di Balik Cermin
Pagi itu, Ayaka terbangun dengan perasaan lelah yang luar biasa. Malam sebelumnya, dia hampir tidak bisa tidur karena suara bisikan dan kejadian aneh yang terus mengganggunya. Dia menatap cermin itu dari kejauhan, seolah-olah takut mendekatinya. Tapi dia tahu, dia tidak bisa terus menghindar. Dia harus mencari tahu kebenaran.
Ketika Rudi tiba, Ayaka langsung membawanya ke ruang tamu. Rudi adalah teman lamanya yang pernah bercerita tentang pengalaman mistisnya. Dia adalah orang yang tepat untuk dimintai bantuan.
"Apa yang terjadi, Ayaka? Kamu terlihat sangat lelah," tanya Rudi, matanya penuh perhatian.
Ayaka menghela napas panjang. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi... cermin ini. Ada sesuatu yang salah dengannya."
Rudi menatap cermin itu dengan serius. Dia mendekat, mengamati bingkai kayu berukir dan permukaan kaca yang berkilau. "Cermin ini memang terasa aneh," katanya pelan. "Aku bisa merasakan energi yang kuat darinya."
Ayaka menunjukkan buku catatan ibunya kepada Rudi. "Ibuku menulis tentang cermin ini. Dia bilang ini adalah pusaka keluarga, tapi juga bisa menjadi jebakan."
Rudi membuka buku itu dan mulai membaca. Matanya semakin lebar saat dia menemukan catatan tentang ritual kuno dan dunia di balik cermin. "Ini... ini sangat serius, Ayaka. Cermin ini bukan sekadar benda mati. Dia adalah portal ke dunia lain."
Ayaka merasa dadanya sesak. "Apa yang harus aku lakukan?"
Rudi menatapnya dengan serius. "Kita harus mencoba memahami lebih dalam. Tapi hati-hati, karena ini bisa berbahaya."
Mereka berdua duduk di depan cermin, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Tiba-tiba, lampu di ruangan itu mulai berkedip. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, dan suara bisikan mulai terdengar lagi.
"Apa itu?" tanya Rudi, matanya waspada.
"Aku tidak tahu, tapi itu selalu terjadi," jawab Ayaka, suaranya gemetar.
Cermin itu mulai bergetar, dan bayangan Ayaka muncul lagi. Tapi kali ini, bayangan itu tidak sendirian. Ada sosok lain di belakangnya, sosok yang lebih gelap dan lebih menyeramkan.
"Kamu tidak bisa lari," bisik bayangan itu, suaranya seperti gema dari dunia lain.
Rudi berdiri, mencoba melindungi Ayaka. "Kita harus pergi dari sini!"
Tapi sebelum mereka sempat bergerak, cermin itu mengeluarkan cahaya terang yang menyilaukan. Ayaka merasa tubuhnya tertarik ke arah cermin, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menariknya. Dia berteriak, tetapi suaranya tidak keluar.
Rudi mencoba menariknya, tetapi kekuatan yang menarik Ayaka terlalu kuat. "Jangan lepaskan tanganku!" teriak Rudi.
Tapi itu sudah terlambat. Ayaka terhisap ke dalam cermin, dan semuanya menjadi gelap.
---
Ketika Ayaka sadar, dia berada di sebuah ruangan yang gelap dan suram. Ruangan itu terlihat seperti cerminan dari ruang tamunya, tetapi semuanya terbalik dan terdistorsi. Dia merasa seperti terjebak di antara dua dunia.
Dia melihat bayangannya sendiri berdiri di depannya, tetapi kali ini, bayangan itu terlihat lebih hidup, lebih nyata. "Selamat datang di duniamu yang sebenarnya," kata bayangan itu, suaranya dingin dan menusuk.
Ayaka mencoba melawan, tetapi dia merasa lemah dan tidak berdaya. Dia tahu, dia harus menemukan cara untuk keluar dari sini.
---
Rudi : "Ini sangat serius, Ayaka. Cermin ini bukan sekadar benda mati. Dia adalah portal ke dunia lain.
Kita harus pergi dari sini!"
Bayangan di Cermin :
"Kamu tidak bisa lari.
Selamat datang di duniamu yang sebenarnya."
-----
✨Pertarungan dengan Diri Sendiri
Ketika Ayaka membuka matanya, dia tidak lagi berada di ruang tamunya. Sekelilingnya gelap, dingin, dan sunyi. Langit—jika itu bisa disebut langit—berwarna abu-abu kelam, tanpa matahari atau bulan. Tanah di bawah kakinya terasa lembap dan lengket, seperti lumpur yang menyeret setiap langkahnya. Dia berdiri di tengah ruangan yang mirip dengan apartemennya, tetapi semuanya terbalik dan terdistorsi. Dinding-dindingnya melengkung, dan bayangannya sendiri terpantul di mana-mana, seolah-olah dia dikelilingi oleh cermin.
"Aku... di mana ini?" gumamnya, suaranya gemetar.
"Di tempat yang seharusnya menjadi rumahmu," suara itu datang lagi. Ayaka berbalik dan melihat sosok bayangannya sendiri berdiri di depannya. Tapi kali ini, bayangan itu terlihat lebih nyata. Matanya hitam pekat, dan senyumannya tajam seperti pisau.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Ayaka, mencoba menahan ketakutannya.
Bayangan itu tertawa, suaranya seperti kaca pecah. "Aku hanya ingin mengambil apa yang menjadi milikku. Tubuhmu. Hidupmu. Kau tidak pantas memilikinya."
Ayaka mundur selangkah, tetapi bayangan itu mendekat dengan langkah yang tenang dan pasti. "Kau tidak bisa lari, Ayaka. Aku adalah bagian darimu. Trauma masa lalumu, ketakutanmu, kegagalanmu—semuanya ada di sini, bersamaku."
"Aku tidak akan membiarkanmu mengambil alih hidupku!" teriak Ayaka, mencoba mengumpulkan keberanian.
Bayangan itu mengangkat tangan, dan tiba-tiba Ayaka merasa tubuhnya terasa berat, seperti ada beban yang menekan dadanya. Dia terjatuh ke lantai, tidak bisa bergerak. Bayangan itu mendekat, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Ayaka.
"Kau lemah, Ayaka. Kau selalu lari dari masalahmu. Tapi di sini, kau tidak bisa lari lagi."
---
Ayaka mencoba melawan, tetapi kekuatan bayangan itu terlalu besar. Dia merasa seperti tenggelam dalam kegelapan, dalam ketakutan yang selama ini dia pendam. Tapi tiba-tiba, dia mendengar suara lain—suara yang lembut dan menenangkan.
"Ayaka, jangan menyerah."
Dia mengenali suara itu. Itu adalah suara ibunya.
"Ibu?" bisiknya, matanya mencari-cari sumber suara itu.
"Kau lebih kuat dari yang kau kira, Nak. Kau mewarisi darah bangsawan dan samurai. Kau bisa melawannya."
Bayangan itu mengerang, seperti kesakitan. "Jangan dengarkan dia! Dia hanya ingin menipumu!"
Tapi Ayaka sudah tidak bisa lagi dihentikan. Dia mengingat kata-kata ibunya, tentang keberanian dan kekuatan yang dia warisi dari kedua orang tuanya. Dia berdiri perlahan, meskipun tubuhnya masih terasa berat.
"Aku tidak akan lari lagi," katanya, suaranya tegas. "Aku akan menghadapimu."
Bayangan itu menggeram, wajahnya berubah menjadi lebih menyeramkan. "Kau tidak bisa mengalahkanku! Aku adalah bagian darimu!"
"Ya, kau adalah bagian dariku. Tapi kau bukanlah seluruh diriku."
Ayaka melangkah maju, meskipun setiap langkahnya terasa seperti berjalan melawan badai. Dia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh bayangan itu. Ketika jarinya hampir menyentuh wajah bayangan itu, semuanya berubah.
---
**Ayaka dan Bayangan**:
Ayaka : "Apa yang kau inginkan dariku?"
Bayangan : "Aku hanya ingin mengambil apa yang menjadi milikku. Tubuhmu. Hidupmu. Kau tidak pantas memilikinya."
Ayaka : "Aku tidak akan membiarkanmu mengambil alih hidupku!"
Bayangan : "Kau lemah, Ayaka. Kau selalu lari dari masalahmu. Tapi di sini, kau tidak bisa lari lagi."
**Ayaka dan Suara Ibunya**:
(Suara Ibu) : "Ayaka, jangan menyerah. Kau lebih kuat dari yang kau kira, Nak. Kau mewarisi darah bangsawan dan samurai. Kau bisa melawannya."
(Ayaka) : "Aku tidak akan lari lagi. Aku akan menghadapimu."
Bayangan : "Kau tidak bisa mengalahkanku! Aku adalah bagian darimu!"
Ayaka : "Ya, kau adalah bagian dariku. Tapi kau bukanlah seluruh diriku."
---
✨Akhir yang Mencekam
Ketika Ayaka menyentuh bayangan itu, semuanya berubah. Ruangan gelap yang mengelilinginya mulai bergetar, dan cahaya terang menyilaukan memenuhi pandangannya. Dia merasa seperti terjatuh ke dalam lorong waktu, di mana masa lalu, sekarang, dan masa depan bercampur menjadi satu.
Ketika dia membuka matanya, dia berada di sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang tamu apartemennya, tetapi semuanya terasa berbeda. Warna-warnanya lebih cerah, dan udara terasa lebih hangat. Di tengah ruangan, dia melihat sosok ibunya dan ayahnya, berdiri dengan senyuman lembut.
"Ayaka, Nak," kata ibunya, suaranya seperti melodi yang menenangkan. "Kau sudah berusaha dengan baik."
"Ayah... Ibu..." Ayaka merasa air matanya mengalir. Dia ingin memeluk mereka, tetapi tangannya melewati tubuh mereka seperti udara.
"Kau harus membuat pilihan sekarang," kata ayahnya, wajahnya serius. "Kau bisa kembali ke dunia nyata, tetapi kau harus meninggalkan sesuatu di sini."
"Apa yang harus kutinggalkan?" tanya Ayaka, suaranya gemetar.
"Trauma dan ketakutanmu," jawab ibunya. "Tapi ingat, jika kau meninggalkannya di sini, kau juga harus meninggalkan sebagian dari dirimu."
Ayaka merasa dadanya sesak. Dia tahu apa artinya itu. Dia harus mengorbankan sebagian dari dirinya sendiri untuk bisa bebas.
Tiba-tiba, bayangan itu muncul lagi, wajahnya penuh dengan kemarahan. "Jangan dengarkan mereka! Kau tidak bisa meninggalkanku! Aku adalah bagian darimu!"
Ayaka menatap bayangan itu, matanya penuh dengan air mata. "Aku tahu kau adalah bagian dariku. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan."
Bayangan itu mengerang, seperti kesakitan. "Jika kau meninggalkanku, kau akan kehilangan dirimu sendiri!"
"Tidak," kata Ayaka, suaranya tegas. "Aku akan menemukan diriku yang sebenarnya, tanpa ketakutan dan trauma."
Dia mengulurkan tangannya lagi, kali ini dengan keyakinan yang kuat. Ketika jarinya menyentuh bayangan itu, semuanya berubah lagi. Cahaya terang menyilaukan memenuhi pandangannya, dan dia merasa seperti terjatuh ke dalam lorong waktu sekali lagi.
---
Ketika Ayaka sadar, dia kembali di ruang tamu apartemennya. Cermin itu masih berdiri tegak, tetapi sekarang terlihat biasa saja, seperti cermin pada umumnya. Dia merasa lega, tetapi juga ada perasaan kosong di dalam hatinya.
Dia mendekati cermin itu, menatap bayangannya sendiri. Tapi kali ini, bayangan itu terlihat berbeda. Wajahnya lebih tenang, lebih damai.
"Apakah aku berhasil?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, dia mendengar suara Rudi dari belakang. "Ayaka! Kau baik-baik saja?"
Ayaka berbalik dan melihat Rudi berdiri di pintu, wajahnya penuh dengan kekhawatiran. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun dia tidak yakin.
Rudi mendekat dan memeluknya. "Aku khawatir sekali. Kau tiba-tiba hilang, dan aku tidak tahu harus berbuat apa."
Ayaka merasa lega dengan pelukan Rudi, tetapi dia juga merasa ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya. Dia tahu, dia telah meninggalkan sebagian dari dirinya di dunia balik cermin.
---
**Ayaka dan Orang Tuanya**:
**Ibu**: "Kau harus membuat pilihan sekarang. Kau bisa kembali ke dunia nyata, tetapi kau harus meninggalkan sesuatu di sini."
**Ayah**: "Trauma dan ketakutanmu. Tapi ingat, jika kau meninggalkannya di sini, kau juga harus meninggalkan sebagian dari dirimu."
**Ayaka**: "Aku tahu kau adalah bagian dariku. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan."
**Ayaka dan Bayangan**:
**Bayangan**: "Jika kau meninggalkanku, kau akan kehilangan dirimu sendiri!"
**Ayaka**: "Tidak. Aku akan menemukan diriku yang sebenarnya, tanpa ketakutan dan trauma."
Tak lama kemudian....
Rudi : "Ayaka! Kau baik-baik saja?"
Ayaka : "Aku... aku baik-baik saja."
------
Ayaka menatap cermin itu sekali lagi, kali ini dengan perasaan campur aduk. Bayangan itu sudah tidak terlihat, tapi dia bisa merasakan kehadirannya—seperti angin dingin yang menyelinap di antara tulang-tulangnya. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya sudah berakhir, bahwa dia telah mengalahkan bayangan itu. Tapi di sudut hatinya, dia tahu: beberapa hal tidak pernah benar-benar pergi.
Rudi memegang bahunya dengan erat. "Ayaka, mari kita pergi dari sini. Kau tidak perlu kembali ke tempat ini lagi."
Ayaka mengangguk, tapi matanya masih tertuju pada cermin itu. "Aku hanya... aku hanya ingin memastikan," bisiknya.
Dia mengambil langkah mundur, menjauhi cermin itu, tapi sebelum dia sempat berpaling, sesuatu menarik perhatiannya. Di sudut cermin, di balik bayangannya sendiri, dia melihat sesuatu bergerak. Itu hanya sekejap, seperti kilasan cahaya atau ilusi mata, tapi itu cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang.
"Ayaka, ayo," desis Rudi, menarik tangannya dengan lembut.
Tapi Ayaka tidak bisa bergerak. Matanya tertuju pada cermin itu, dan kali ini, dia melihatnya dengan jelas. Bayangannya sendiri tersenyum padanya—senyuman yang bukan miliknya. Senyuman itu dingin, penuh dengan kepuasan, seolah-olah tahu sesuatu yang tidak dia ketahui.
"Rudi..." bisik Ayaka, suaranya hampir tidak terdengar. "Apa kau melihat itu?"
Rudi menatap cermin itu, tapi dia hanya menggeleng. "Tidak ada apa-apa, Ayaka. Ayo, kita pergi."
Ayaka mengangguk lagi, tapi dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari cermin itu. Saat Rudi menariknya keluar dari gudang, dia masih bisa merasakan tatapan itu—tatapan bayangan yang tersenyum, menunggu.
Ketika pintu gudang tertutup, Ayaka merasa seperti ada yang mengikutinya. Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan dan kesunyian. Tapi dia tahu, bayangan itu masih ada. Selalu ada.
Dan di dalam gudang yang terkunci, cermin itu berdiri tegak, menunggu. Permukaannya berkilau lembut, seolah-olah menyimpan rahasia yang tidak akan pernah terungkap. Di balik kaca itu, dalam dunia yang gelap dan terdistorsi, sosok bayangan itu tersenyum. Senyuman yang penuh dengan janji—janji bahwa ini belum berakhir.
---
Ayaka bisa merasakan kehadiran bayangan itu meskipun tidak melihatnya secara langsung, menciptakan perasaan tidak nyaman dan waspada.
Gudang yang gelap dan cermin yang terkunci menambah atmosfer horor, seolah-olah ada sesuatu yang menunggu untuk muncul.
------
Bayangan Ayaka di cermin tersenyum padanya, menunjukkan bahwa bayangan itu masih ada dan mungkin telah mengambil alih sebagian dari dirinya.
Rudi tidak melihat apa yang Ayaka lihat, menegaskan bahwa bayangan itu hanya terlihat oleh Ayaka—atau bahwa bayangan itu adalah bagian dari dirinya sendiri.
Cermin itu tetap berdiri di gudang, seolah-olah menyimpan rahasia dan kekuatan yang belum sepenuhnya terungkap.
---
✨Dan di dalam gudang yang terkunci, cermin itu berdiri tegak, menunggu. Permukaannya berkilau lembut, seolah-olah menyimpan rahasia yang tidak akan pernah terungkap. Di balik kaca itu, dalam dunia yang gelap dan terdistorsi, sosok bayangan itu tersenyum. Senyuman yang penuh dengan janji—janji bahwa ini belum berakhir."
---
----------- T A M A T -----------
Mohon dukungannya atas karyaku. Jika ad kesamaan nama,tempat,kejadian,itu hanya kebetulan. Cerita ini hanyalah fiksi dan murni untuk hiburan semata. Pembaca diharap bijak dalam menyikapinya. Apresiasilah Author dengan positive support. Jangan lupa tinggalkan jejak,like,komen, subscribe, review,agar Author semakin semangat menulisnya. Terima kasih sebelumnya dan terima kasih atas waktunya.
.
.
.
Follow Instagram Author :
@poembyselly
@psychicselly
Luv yuh 🌹
~ Selly AWP ~
------ 🌹🌹🌹 Happy Reading 🌹🌹🌹 ------