Di sebuah sekolah menengah atas di kota Surabaya, kisah cinta remaja antara Tiara dan Arya sedang dalam masa yang indah. Mereka berdua adalah pasangan yang terlihat sempurna di mata teman-teman mereka. Tiara, gadis ceria dengan senyum yang manis, selalu menjadi pusat perhatian. Sementara Arya, pemuda tampan, pintar, dan memiliki bakat di bidang musik, membuatnya digemari banyak gadis. Meskipun begitu, hubungan mereka diuji saat rumor perselingkuhan mulai menyebar.
Suatu sore, di taman sekolah yang sepi, Tiara dan Arya duduk berdampingan di atas bangku. Langit mulai kelabu, seakan menggambarkan suasana hati Tiara yang sedang gelisah.
“Tiara, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Arya, suaranya terputus-putus.
“Apa, Arya? Kenapa kamu terlihat tegang?” Tiara menatap Arya dengan ekspresi penasaran.
“Aku dengar... ada yang bilang kamu dekat dengan Rian,” Arya menatap Tiara dengan mempertanyakan.
“Rian? Siapa bilang seperti itu? Kamu tahu aku hanya teman dengan Rian! Dia tidak lebih dari sekadar teman olahragaku!” balas Tiara, merasa tersinggung.
“Teman? Teman tidak akan menghabiskan waktu berdua di luar sekolah seharian! Bahkan, mereka bilang kalian terlihat akrab sekali!” Arya mengangkat suara, nada cemburu mulai terlihat.
Tiara berdiri dan memandang Arya dengan penuh kekecewaan, “Jadi, kamu percaya rumor itu? Kamu lebih memilih percaya pada omongan orang lain daripada aku?”
“Aku... hanya merasa curiga. Kamu tahu bagaimana orang-orang di sekolah ini, mereka suka bergosip. Aku cuma ingin memastikan,” jawab Arya, berusaha menjelaskan disertai rasa sesal.
“Apakah kamu tidak percaya padaku? Semua ini hanya kesalahpahaman! Kenapa kamu harus mendengarkan orang lain?” Tiara mulai merasa kemarahan membara dalam hatinya.
“Aku ingin percaya padamu, Tiara! Tapi semua bukti mengarah ke sana. Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang Rian?” Arya berdiri, mencoba menahan emosinya.
“Karena tidak ada yang perlu diberitahu! Rian hanya temanku! Di mana kepercayaan kamu? Apa yang terjadi dengan kita?” Tiara merasa air matanya mulai mengalir, hatinya sakit.
“Tiara, aku merasa terancam. Aku tidak ingin kehilangan kamu,” Arya menghela nafas panjang, “Tapi, kamu juga harus memahami perasaanku.”
“Memahami? Bagaimana bisa aku memahami saat kamu mendengarkan orang lain ketimbang mendengarkan aku? Kamu tahu, aku sudah berusaha keras untuk menjaga hubungan ini,” Tiara berbalik dan berusaha menahan tangisnya.
“Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku hanya ingin melindungi kita. Aku mencintaimu, Tiara,” Arya mendekat, berusaha menggenggam tangan Tiara.
“Cinta? Cinta tidak seharusnya penuh dengan keraguan dan kecurigaan! Apa kamu bertanya padaku sebelum yakin dengan pikiranmu?” Tiara menjauhkan tangannya dan membuang muka.
“Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi itu sulit, Tiara! Aku ingin kita bisa membicarakannya dengan baik,” Arya mencari jalan keluar, menginginkan kedamaian.
“Baiklah, kita bicarakan. Tapi, kamu harus jujur sama aku. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Apakah kamu pernah berpikir untuk mencari tahu lebih dulu sebelum marah?” Tiara menatap Arya, mencoba meneliti isi hatinya.
Arya terdiam sejenak, “Aku seharusnya tidak terbawa emosi. Aku harusnya bertanya padamu terlebih dahulu.”
“Jadi, apa selanjutnya? Kami akan melanjutkan hubungan ini atau berpisah? Apakah kamu sudah memutuskan?” Tiara menegaskan, takut mendengar jawaban Arya.
“Aku tidak ingin kita berpisah. Aku masih mencintaimu. Aku bersedia memberi ruang untuk kita untuk saling mendengarkan,” jawab Arya dengan nada lembut.
“Zaman sudah berubah, Arya. Jika kamu tidak bisa percaya padaku, bagaimana kita bisa bertahan?” Tiara merasa hatinya hancur.
“Kita bisa buktikan bahwa semua ini hanya kesalahpahaman. Aku akan berusaha untuk tidak meragukanmu lagi,” Arya mengulurkan tangan.
Tiara melihat tangan Arya dengan keraguan. “Tapi, jika kamu mulai meragukanku lagi, apa gunanya hubungan ini? Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang kecurigaan.”
“Berikan aku kesempatan, Tiara. Kita mulai dari nol. Kita belajar saling percaya,” pinta Arya, dengan harapan di matanya.
Tiara menghela napas, mengambil waktu sejenak. Ia tahu cinta tidak selalu mudah, tapi dia merasa letih dengan ketidakpastian. “Baiklah, Arya. Kita coba. Tapi ingat, kepercayaan itu harus dibangun, bukan hanya diucapkan.”
Mereka berdua saling pandang, sebuah perjanjian tak terucap terbentuk di antara mereka. Saat itu, badai perasaan belum sepenuhnya reda, tapi komitmen untuk memperbaiki hubungan dihadapkan pada tantangan yang lebih besar—dan itu adalah langkah awal untuk memahami arti cinta sejati.
**Akhir Cerita**