Hujan
Entah sejak kapan hobi memandangi hujan ini mulai muncul dalam diriku.
Mungkin, sejak beberapa tahun yang lalu, saat dia pergi meninggalkanku.
Bukan pergi meninggalkanku dengan yang lain,
tapi benar-benar pergi meninggalkan dunia ini,
dan akhirnya, kami benar-benar berada di dua dunia yang berbeda.
Hujan.
Entah sejak kapan ini menjadi kenangan satu-satunya yang aku miliki setelah dia pergi.
Seolah-olah ini seperti jembatan penghubung yang dapat mengingatkan aku akan sosoknya,
yang selalu tersenyum lembut dan mengusap wajahku dengan penuh kasih sayang.
Kanaya Amelia Putri.
Sosok dengan rambut panjang sebahu, wajah manis dengan bibir tipis yang menghiasi,
matanya sangat indah dan bulat, sangat khas.
Bukan hanya itu, namun matanya juga sangat jernih, seperti embun yang begitu murni tanpa cela.
Aku sangat bersyukur bisa memilikinya,
dan sangat tinggi harapanku untuk bisa berdua bersamanya.
Bukan hanya sekadar berpacaran seperti kebanyakan remaja pada umumnya,
akan tetapi harapanku jauh lebih tinggi.
Aku berharap bisa selamanya hidup dengannya dalam sebuah ikatan suci,
dalam sebuah pernikahan yang sah.
Melihatnya bersenyum setiap pagi saat aku bangun tidur.
Melihatnya menyiapkan sarapan.
Aku berharap, saat aku membuka mata dan terbangun dari tidurku,
Aku Melihatnya tersenyum menyapaku dengan ucapan,
"Selamat pagi, sayang."
Akan tetapi, angan hanyalah sebuah angan.
Segalanya tak berjalan sesuai dengan apa yang aku bayangkan.
Rencana manusia tak lebih dari sekadar rencana yang tak bisa melanggar garis ketentuan dari Tuhan.
Gadis yang begitu bersemangat, lemah lembut, dan selalu ceria.
Senyumnya, kehadirannya, bahkan membawa aura positif bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
Namun gadisku itu memiliki ujian berat yang harus membawanya pada batas antara kehidupan dan kematian.
Di usianya yang baru 17 tahun, dia harus mengidap leukemia,
penyakit yang semakin menggerogoti tubuhnya.
Semakin lama, wajahnya semakin pucat.
Namun, tidak ada keluhan sedikit pun. Yang ada hanyalah senyuman teduh yang menenangkan.
Seolah gadis itu memiliki kesabaran yang tak terbatas.
Hati ku hancur. Jiwaku terguncang.
Dengan perasaan tidak rela bergemuruh di dadaku,
namun apalah daya, tidak ada yang bisa kulakukan.
Yang bisa kulakukan hanyalah berharap ada keajaiban.
Yang bisa kulakukan hanyalah merangkai doa.
Semoga diberi kesembuhan.
Semoga diberi ketabahan.
Semoga diberi kesabaran.
Semoga diberi umur panjang.
Semoga dicabut semua rasa sakit.
Kata-kata itu selalu kulantunkan dalam doaku di setiap lima waktu dalam sujudku,
setelah aku berdoa untuk kedua orang tuaku dan juga keluargaku.
Bicara soal keluarga, ya. Aku sangat ingin menjadikannya bagian dari doa itu.
Menjadi bagian dari sumber kebahagiaan.
Keluarga kecil yang ingin aku bangun bersamanya.
Akan tetapi, semua angan itu runtuh oleh kenyataan yang menghantamku dengan keras.
Aku seolah-olah terjebak dalam kehampaan,
dalam pusaran badai bergejolak yang membuat pikiranku linglung.
Seringkali tetapanku kosong, mataku nanar pada setiap tetes hujan yang turun.
Kanaya Amelia Putri.
Dia selalu mengatakan, hujan ini sangat istimewa, sangat spesial.
Dalam hujan, aku bisa meluapkan segalanya yang aku mau.
Seolah segalanya yang ada di dalam benakku terlepas begitu saja.
Dan hujan ini seperti pendengar setia yang meredam suaraku agar tidak didengarkan oleh yang lainnya.
Seperti pendengar setia yang tidak akan menghakimiku jika aku berbuat salah.
Bahkan saat aku berada dalam situasi terburuk pun, hujan tetap mendengarnya
dan meredam semua keluh kesahku.
Seolah hujan itu sendiri seperti sebuah tangan yang memelukku erat.
Setelah mengatakan itu, dia menatapku dan berkata,
"Mulai sekarang, cobalah untuk menyukai hujan.
Cobalah berbicara dengannya. Sampaikan semua keluh kesahmu.
Biarkan bunyi derasnya meredam semua hal yang ada di dalam pikiranmu,
dan aku jamin kamu pasti akan menyukainya," ucapnya sambil tersenyum manis.
Kini, senyuman itu hanya tinggal kenangan,
yang hanya terekam di dalam memoriku.
Bukan hanya senyumnya, bahkan sosoknya juga hanya bisa hidup di dalam ingatanku.
Jam dinding menunjukkan pukul 3 sore, dan aku masih di sini.
Duduk dengan tenang, di balik jendela kamarku,
menatap hujan yang terus meneteskan airnya tanpa henti,
menyimpan segala misteri, dan mendengarkan setiap keluh kesahku
seperti seorang teman yang setia.