Mentari senja menyapa SMA Harapan Bangsa, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Maria, gadis cantik dengan rambut sebahu yang selalu tergerai, berjalan cepat meninggalkan lapangan basket. Di sana, Bram, kekasihnya, masih duduk termenung, bola basket tergeletak tak berdaya di sampingnya. Mata Bram mengikuti setiap langkah Maria, sebuah pertanyaan besar terukir di wajahnya.
Hubungan Maria dan Bram sudah berjalan dua tahun. Mereka adalah pasangan yang serasi, setidaknya begitulah yang dipikirkan teman-teman mereka. Bram, anak sederhana dari keluarga yang hidup pas-pasan, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Maria. Ia rela menabung uang jajannya untuk membelikan Maria cokelat kesukaannya, atau berjalan kaki berjam-jam hanya untuk mengantar Maria pulang.
Cinta Bram tulus, namun Maria, dengan segala kecantikannya, memiliki ambisi yang besar. Ia ingin hidup berkecukupan, bahkan lebih dari itu. Ia iri melihat teman-temannya yang selalu tampil dengan barang-barang branded, yang bisa makan di restoran mewah, yang memiliki mobil pribadi. Dan semua itu, Bram tak mampu memberikannya.
Di sinilah Deni masuk. Deni, anak konglomerat pemilik perusahaan properti terbesar di kota itu, memiliki segalanya yang Maria inginkan. Mobil mewah, rumah megah, dan tentu saja, uang yang berlimpah. Deni mendekati Maria dengan bujukan rayuan mautnya, menawarkan dunia yang selama ini Maria impikan.
Maria tergoda. Ia mulai membandingkan Bram dengan Deni. Bram, dengan segala keterbatasannya, terlihat semakin kecil di matanya. Sedangkan Deni, dengan segala kemewahannya, tampak semakin sempurna. Perlahan tapi pasti, hati Maria mulai bergeser. Ia mulai membalas perhatian Deni, menikmati segala fasilitas yang diberikan Deni.
Pertemuan rahasia mereka semakin sering. Maria menyembunyikan hubungannya dengan Deni dari Bram. Ia merasa bersalah, tapi ambisinya lebih besar daripada rasa bersalahnya. Hingga suatu sore, Bram memergoki Maria dan Deni berpelukan di sebuah kafe. Dunia Bram seakan runtuh. Rasa sakit yang menusuk hatinya tak tertahankan.
"Maria," Bram memanggil dengan suara bergetar, "Apa ini semua?"
Maria terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tahu, ia telah menyakiti Bram. Tapi, ia tak mampu mengatakan yang sebenarnya. Ia hanya bisa menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh.
"Aku… aku minta maaf, Bram," lirih Maria.
"Maaf? Maaf untuk apa? Untuk telah mengkhianati cintaku?" suara Bram meninggi, kecewa dan sakit hati terpancar dari setiap kata yang diucapkannya.
Maria tak menjawab. Ia tahu, tak ada kata maaf yang bisa menghapus luka yang telah ia berikan kepada Bram. Ia tahu, hubungan mereka telah berakhir. Tapi, apakah ia menyesal? Mungkin… atau mungkin tidak. Ia masih harus memikirkan itu semua.
Langkah Bram gontai. Ia berjalan tanpa tujuan, rasa sakit yang menggerogoti hatinya membuatnya tak mampu berpikir jernih. Kakinya membawanya menuju tepi Sungai Ciliwung, tempat favoritnya untuk menyendiri. Angin malam berhembus sepoi-sepoi, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Namun, aroma itu tak mampu menenangkan hatinya yang sedang berduka.
Ia duduk di tepi sungai, menatap aliran air yang mengalir deras. Air sungai itu seakan mencerminkan air mata yang hampir jatuh dari matanya. Ia memeluk lututnya, kepala tertunduk. Bayangan wajah Maria terus berputar di kepalanya, mencampur adukkan rasa sakit, kecewa, dan kehilangan.
“Kenapa, Maria? Kenapa kau lakukan ini padaku?” gumam Bram lirih, suaranya nyaris tak terdengar di antara desiran angin dan gemericik air sungai. Ia merasa bodoh, telah menaruh seluruh cintanya pada seorang gadis yang ternyata tak menghargai kesetiaannya.
Tiba-tiba, sebuah kenangan muncul di benaknya. Kenangan tentang Maria yang tertawa lepas saat ia berhasil memenangkan pertandingan basket, Maria yang memeluknya erat saat ia jatuh sakit, Maria yang selalu ada untuknya dalam suka dan duka. Kenangan-kenangan indah itu kini berubah menjadi pedih, menambah luka di hatinya.
“Aku… aku telah memberikan segalanya untukmu, Maria,” isak Bram, air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya. “Aku rela melakukan apa saja untukmu, tapi kau… kau malah mengkhianatiku.”
Ia menatap aliran sungai yang terus mengalir, mengingatkannya pada perjalanan hidup yang masih panjang di depannya. Perjalanan yang harus ia lalui seorang diri, tanpa Maria. Perjalanan yang terasa berat dan hampa.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanya Bram pada dirinya sendiri, suaranya terdengar putus asa. “Bagaimana aku bisa melupakanmu, Maria?”
Ia terduduk lemas, merasa seluruh dunianya runtuh. Cinta yang ia jaga selama dua tahun, kini hancur berkeping-keping. Ia merasa kehilangan arah, kehilangan tujuan. Hanya kesunyian dan aliran sungai yang menjadi saksi bisu atas keputusasaannya. Ia tak tahu kapan luka ini akan sembuh, kapan ia bisa bangkit dari keterpurukan ini. Yang ia tahu, malam ini, ia hanya bisa meratapi kepergian cinta yang telah terluka parah.
Angin malam semakin dingin menusuk tulang. Bram masih terduduk di tepi sungai, bayangan wajah Maria masih menghantuinya. Ia tak mampu membayangkan bagaimana bisa gadis yang dicintainya begitu tega. Cinta memang butuh pengorbanan, perjuangan, tapi apa arti perjuangan jika cinta itu sendiri telah mati?
Ponselnya berdering, menariknya dari lamunan. Nomor yang tak dikenal. Ia ragu untuk mengangkatnya, tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya.
“Halo?”
“Bram? Ini Ranti.”
Suara Ranti, sahabat Maria, membuat Bram terkejut. Ia tak menyangka Ranti akan menghubunginya.
“Ranti? Ada apa?”
“Aku… aku ingin bicara tentang Maria,” suara Ranti terdengar ragu-ragu. “Aku tahu ini mungkin akan menyakitkan, tapi aku merasa harus memberitahumu.”
Bram terdiam, menunggu Ranti melanjutkan ceritanya. Ia sudah menduga ada sesuatu yang disembunyikan Maria.
“Maria… ia putus denganmu bukan karena ia tak lagi mencintaimu,” kata Ranti pelan, “Tapi… karena kau… kau tak punya apa-apa.”
Kalimat Ranti menusuk hati Bram bagai sebilah pisau. Ia sudah menduga ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketidakcocokan, tapi mendengarnya langsung dari sahabat Maria membuat hatinya semakin hancur.
“Maksudmu…?” Bram bertanya, suaranya bergetar.
“Maria… ia ambisius, Bram. Ia ingin hidup mewah, ia ingin memiliki segalanya. Ia iri melihat teman-temannya yang punya mobil, yang bisa makan di restoran mahal. Dan kau… kau tak mampu memberinya itu semua.”
Air mata Bram kembali mengalir. Ia tak menyangka cinta Maria semurah itu. Cinta yang selama ini ia jaga dengan sepenuh hati, ternyata hanya didasarkan pada materi.
“Dia… dia memilih Deni, kan?” tanya Bram, suaranya hampir tak terdengar.
Ranti menghela napas panjang. “Ya, Deni. Anak orang kaya itu. Maria tergoda dengan kekayaan Deni. Ia tak pernah benar-benar mencintaimu, Bram. Maaf.”
Bram terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan Ranti. Rasa sakit yang luar biasa memenuhi dadanya. Ia merasa telah dipermainkan, dibohongi, dan dikhianati. Semua pengorbanan, semua perjuangannya, ternyata sia-sia.
“Terima kasih, Ranti,” kata Bram akhirnya, suaranya terdengar datar. “Aku… aku mengerti.”
Ia menutup telepon, rasa hampa memenuhi jiwanya. Ia menatap aliran sungai yang terus mengalir, mengingatkannya pada perjalanan hidup yang masih panjang. Perjalanan yang harus ia lalui seorang diri, tanpa Maria. Perjalanan yang terasa berat dan hampa.
Ia bangkit dari duduknya, langkahnya gontai. Ia tak tahu harus ke mana, harus berbuat apa. Yang ia tahu, hatinya telah terluka parah. Cinta yang ia jaga selama dua tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Ia telah kehilangan segalanya.
“Cinta memang butuh pengorbanan,” gumam Bram lirih, “Tapi cintaku… telah terbuang sia-sia.”
Ia berjalan menjauh dari tepi sungai, meninggalkan kesunyian dan aliran air yang menjadi saksi bisu atas hancurnya cintanya. Ia harus merajut kembali hari-harinya, dengan benang asmara yang kusut dan penuh luka. Ia harus belajar untuk bangkit, untuk melupakan Maria, dan untuk menemukan cinta yang sebenarnya. Cinta yang tulus, bukan cinta yang didasarkan pada materi. Perjalanan itu akan panjang dan sulit, tapi ia harus tetap melangkah. Ia harus kuat. Ia harus bisa.
*****