Aku tidak ingat kapan terakhir kali jatuh cinta. Rasanya begitu datar, membosankan dan tanpa warna. Aku hanya bisa menjalani hari-hari membosankan ini dengan akting yang tampak sempurna. Aku pura-pura tertawa agar mereka merasa dihargai, aku pura-pura baik-baik saja agar bisa menjadi pendengar yang baik bagi mereka yang butuh sandaran.
Disini aku seperti orang bodoh, biarlah mereka menganggapku begitu. Terkadang kita membutuhkan kebodohan untuk merasa bahagia dan baik-baik saja. Aku cukup menikmati saat-saat mereka membutuhkanku, itu artinya aku masih berguna, aku bukanlah produk cacat yang tidak dibutuhkan lagi seperti sampah.
Aku menyadari, tiap kali aku menjelajahi tempat lain akan selalu ada pertemuan dengan orang baru yang akan begitu melekat diingatanku. Pertemuan singkat namun begitu berkesan. Tidak sampai satu tahun aku mengenalmu, namun perasaan nyaman ini selalu mengikutiku kemanapun aku pergi hingga berkembang menjadi perasaan rindu yang tak jelas penyebabnya.
Sangat jelas bahwa kau tidak memiliki perasaan apapun padaku, kita berinteraksi hanya berdasarkan pada "bercanda" semata tanpa melibatkan perasaan. Mungkin itu yang kau pikir. Namun, seorang perempuan sepertiku pasti secara tidak sadar akan membawa perasaannya ketika berinteraksi dengan lawan jenis sepertimu, ramah, baik, dan selalu menegurku ketika aku melakukan kesalahan.
Kau juga pekerja keras, perempuan mana yang tidak jatuh hati pada seorang laki-laki yang pekerja keras? Begitupun aku. Namun, tak terasa waktu berlalu begitu cepat, pertemuan kita telah berakhir dengan aku yang meninggalkanmu. Lalu satu bulan kemudian kau juga pergi dari tempat itu.
Kau tau? Meninggalkan seseorang juga bisa terasa sangat menyakitkan. Ketika kamu masih ingin bersamanya namun waktu memaksamu pergi, itu lebih menyakitkan daripada ditinggal pergi. Jika ditinggal, maka masih bisa mencari penggantinya, namun jika meninggalkan belum tentu bisa mencari penggantinya.
Dulu aku berpikir demikian.
Namun kini akhirnya aku mengalami "ditinggal" juga. Dia meninggalkanku disaat aku membutuhkannya, disaat aku masih benar-benar mencintainya. Tiga tahun aku lalui tanpa bisa aku cari penggantinya. Dan akhirnya, aku kembali menjadi manusia yang hampa seperti aku sebelum mengenalmu.
Kini aku tau, pertemuan itu selalu berujung perpisahan, entah aku atau kamu yang akan meninggalkan. Semesta begitu suka dan mahir mempermainkan perasaan seseorang dengan takdir-takdirnya. Terkadang aku membenci itu, namun begitu hasil akhirnya membuatku begitu bahagia, aku tersipu malu dan berpikir, "jadi ini maksud dari takdir-Nya."
Seperti hari ini, awalnya aku begitu malas menghadiri acara reuni bersama teman-teman saat SMA, karena kupikir semua ini hanya membuang-buang waktu berhargaku, katanya waktu itu lebih berharga dari uang. Maka dari itu, aku pasti menyesal begitu besar ketika aku tidak datang saat itu.
Rencana tuhan memang selalu lebih baik dari rencana makhluknya. Atas izin dari-Nya, kau dan aku dipertemukan lagi di tempat yang tidak terduga. Kerinduanku terhapus dan digantikan rasa nyeri dihati ketika aku melihatmu telah bersama perempuan lain. Akhirnya aku merubah rencanaku, aku pura-pura tidak mengenalmu.
"Dewi?" Pangilmu, namun itu lebih terdengar seperti pertanyaan untuk memastikan bahwa itu benar-benar aku.
"Ya? Apa kau memanggilku?"
Aku cukup percaya diri dengan kemampuan aktingku. Meski bukan aktor, namun aku pandai berakting seperti ini. Aku memutuskan menyerah padamu, aku tak akan lagi berharap kau akan memiliki perasaan yang sama denganku.
Kamu hanya diam setelah mendengar pertanyaanku. Sedikit ekspresi terkejut dapat aku baca diraut wajah dan pancaran matamu. Ketahuilah, aku lebih terkejut saat melihatmu telah bersama perempuan lain disisimu.
Aku sering berdoa agar kita kembali dipertemukan, tetapi aku lupa berdoa agar kau hanya diciptakan untukku seorang. Pada akhirnya kita kembali asing, kita mengulang perkenalan kita, tanpa sedikitpun rasa yang akan aku libatkan kali ini.
Cukup sekali, jangan terulang lagi.