Bulan suci Ramadhan selalu membawa suasana berbeda bagi banyak orang. Ada yang menyambutnya dengan penuh kebahagiaan, ada yang sekadar menjalani, dan ada pula yang menjadikannya momentum untuk memperbaiki diri. Namun, bagi seorang pemuda bernama Tio, Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah—ia adalah bulan penuh berkah yang selalu ia nantikan dengan semangat membara.
Tio bukanlah seorang ulama atau ustaz. Ia hanya seorang marbut, penjaga masjid yang bertugas memastikan segalanya berjalan dengan baik. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan suasana masjid, tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkannya untuk mencintai tempat suci itu lebih dari apa pun.
Setiap hari menjelang Ramadhan, kesibukannya semakin bertambah. Ia membersihkan karpet, memastikan lampu-lampu di masjid berfungsi dengan baik, mengatur jadwal adzan, dan menata tempat untuk shalat tarawih. Meskipun tugasnya berat, ia tak pernah mengeluh.
“Masjid ini rumah keduaku,” katanya suatu hari pada Pak Anwar, imam masjid yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri.
Pak Anwar hanya tersenyum, bangga melihat pemuda sebaik Tio.
Ketika hari pertama Ramadhan tiba, masjid mendadak penuh dengan jamaah. Anak-anak berlarian di halaman, ibu-ibu membawa sajadah mereka, dan para bapak berbincang di serambi.
Tio merasa hatinya menghangat.
Ia menyambut setiap orang dengan senyum, membantu orang tua yang kesulitan mencari tempat duduk, serta membagikan air mineral untuk jamaah yang berbuka puasa di masjid.
Namun, di antara semua orang yang datang, ada satu wajah yang menarik perhatiannya—seorang pria tua yang baru pertama kali ia lihat. Wajahnya dipenuhi kerutan, pakaiannya lusuh, dan matanya terlihat sendu.
Tio menghampirinya. “Pak, sudah berbuka?”
Pria itu menggeleng. Tio segera memberinya sebungkus kurma dan segelas teh hangat.
Lelaki tua itu terdiam sesaat sebelum tersenyum. “Terima kasih, Nak. Sudah lama aku tidak merasakan Ramadhan yang sehangat ini.”
Tio tak bertanya lebih jauh. Ia hanya tersenyum dan menemani pria itu berbuka.
Malam itu, setelah tarawih selesai, hujan turun dengan deras. Tio yang masih berada di masjid menyadari bahwa pria tua tadi masih duduk di serambi, kedinginan dan menggigil.
“Bapak tidak pulang?” tanyanya.
Pria itu menghela napas. “Aku tak punya rumah.”
Hati Tio terenyuh. Tanpa ragu, ia mengajak pria itu untuk bermalam di ruang kecil di belakang masjid—tempat di mana ia biasa beristirahat.
Malam itu, Tio mendengar kisah lelaki tua tersebut. Namanya Pak Salim. Ia kehilangan keluarganya bertahun-tahun lalu dan sejak itu hidup berpindah-pindah. Ramadhan ini, ia hanya ingin merasakan kembali suasana masjid, seperti dulu ketika masih bersama keluarganya.
Tio menatapnya dengan iba. “Mulai sekarang, anggap saja masjid ini rumah Bapak juga.”
Pak Salim meneteskan air mata.
Hari-hari berlalu, dan Tio semakin akrab dengan Pak Salim. Ia mengajaknya sahur bersama, berbagi tugas di masjid, dan bahkan membantunya mendapatkan pekerjaan kecil di warung dekat masjid.
Banyak orang mulai menyadari kebaikan Tio. Bahkan, beberapa jamaah ikut membantu Pak Salim, memberinya pakaian dan makanan.
Saat malam terakhir Ramadhan tiba, Pak Salim menatap Tio dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Nak. Kau sudah mengajariku bahwa Ramadhan bukan hanya soal menahan lapar, tapi juga tentang berbagi dan menghangatkan hati orang lain.”
Tio tersenyum. “Bukankah itu yang diajarkan oleh Ramadhan?”
Dan saat takbir bergema di seluruh penjuru kota, Tio merasa hatinya penuh dengan kebahagiaan. Bukan karena tugasnya selesai, tetapi karena ia tahu bahwa Ramadhan kali ini lebih berarti dari sebelumnya.
Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang lain.
Ramadhan yg indah:) semangat ya menjalani bulan Ramadhan ini. selamat menunaikan ibadah puasa bagi yg menunaikan:)🙏