Matahari sore menyinari kamar kecil Don, menerangi debu-debu yang menari-nari di antara sinar yang masuk melalui jendela. Di ranjang, Dea terbaring lemah, wajahnya pucat seperti kertas. Rambutnya yang dulu hitam pekat kini hanya tersisa sedikit, tipis dan rapuh. Don menggenggam tangan Dea, jari-jarinya yang kurus terasa dingin.
"Don," Dea berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Don menunduk, mendekatkan telinganya.
"Aku... aku sudah tahu," Dea melanjutkan, matanya berkaca-kaca. "Leukemia-ku... tak akan sembuh. Semua pengobatan ini... hanya untuk memperpanjang waktuku sedikit."
Don terisak. Ia tak mampu berkata apa pun. Ia tahu, ia sudah curiga sejak Dea semakin sering masuk rumah sakit, semakin sering terlihat lemah dan lesu. Tapi, ia selalu berharap ada keajaiban. Harapan yang kini hancur berkeping-keping.
"Jangan sedih, Don," Dea meraih tangan Don, menggenggamnya erat. "Aku bahagia... karena aku punya kamu." Setetes air mata jatuh dari pipi Dea, membasahi tangan Don.
"Aku nggak mau kehilangan kamu, Dea," lirih Don, suaranya bergetar.
Dea tersenyum lemah. "Kamu nggak akan kehilangan aku, Don. Aku akan selalu ada di hatimu." Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari bawah bantalnya. Kotak yang terbuat dari kayu itu tampak usang, tetapi terawat dengan baik. Ia membukanya, memperlihatkan sebuah cincin perak sederhana dengan batu putih kecil di tengahnya.
"Ini... cincin nenekku," Dea berkata, suaranya semakin lemah. "Dia bilang, cincin ini akan membawa keberuntungan dan cinta abadi. Aku mau kamu menyimpannya... sebagai kenang-kenangan dariku."
Don menerima cincin itu dengan tangan gemetar. Batu putih kecil itu tampak berkilau redup dalam cahaya senja. Ia mengenakan cincin itu di jari manisnya. Rasanya dingin, tetapi juga terasa hangat, seperti sentuhan terakhir Dea.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Don menemani Dea setiap saat, membacakan buku, bercerita, dan hanya duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. Hingga suatu malam, Dea memejamkan matanya untuk selamanya dalam pelukan Don.
Don memeluk tubuh Dea erat-erat, air mata membanjiri wajahnya. Cincin putih di jarinya terasa semakin dingin, tetapi hatinya tetap hangat, dipenuhi kenangan akan Dea, cinta pertamanya, yang akan selalu ia kenang. Cincin putih itu menjadi bukti abadi cinta mereka, sebuah cinta yang tak lekang oleh waktu, meskipun Dea telah pergi untuk selamanya. Ia berjanji akan selalu mengingat Dea dan menyimpan cincin itu selamanya.
***
Embun pagi masih membasahi rerumputan hijau di sekitar pusara Dea. Don berdiri di depan nisan putih yang sederhana, ukiran nama Dea tampak begitu mencolok. Di sampingnya, Laras, sahabat Dea, berdiri dengan wajah sendu, matanya sembab. Di tangan Don, seikat bunga mawar merah merekah, harumnya semerbak di udara pagi yang dingin.
Don meletakkan bunga mawar itu perlahan di atas nisan, air matanya menetes membasahi batu dingin itu. Ia teringat senyum Dea, tawanya, dan semua kenangan indah yang mereka ukir bersama. Kenangan yang kini hanya tinggal kenangan.
"Dea..." Don berbisik, suaranya tercekat. "Aku merindukanmu."
Laras mendekat, meletakkan tangannya di bahu Don. Ia juga tak kuasa menahan air mata. "Aku tahu, Don," katanya, suaranya bergetar. "Aku juga merindukannya."
Keduanya terdiam sejenak, hanya suara tangis pelan yang memecah kesunyian pagi. Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga mawar dan tanah basah.
"Dia... dia selalu cerita tentang kamu," Laras berkata, suaranya masih bergetar. "Tentang betapa bahagianya dia bersamamu. Tentang cincin putih itu..."
Don meraih cincin perak di jari manisnya, batu putih kecil itu tampak redup dalam cahaya pagi. Ia mengusapnya perlahan, seolah ingin merasakan sentuhan Dea kembali.
"Dia bilang, cincin ini adalah bukti cinta kita yang abadi," Don berkata, suaranya terisak. "Tapi... kenapa dia harus pergi?"
Laras memeluk Don erat-erat. "Aku tahu ini sulit, Don. Tapi Dea ingin kamu kuat. Dia ingin kamu bahagia, meskipun dia sudah tidak ada."
Don menangis tersedu-sedu di pelukan Laras. Ia merasa begitu kehilangan, begitu kosong. Dunia terasa begitu sunyi tanpa Dea di sisinya. Tapi, ia tahu, Dea selalu ada di hatinya, di dalam cincin putih yang selalu ia kenakan. Ia harus tetap kuat, untuk Dea. Untuk kenangan indah yang telah mereka ukir bersama. Ia harus menjalani hidup, melanjutkan mimpi-mimpi mereka, meskipun tanpa Dea di sisinya. Ia akan selalu mengingat Dea, kekasihnya yang telah pergi, tetapi tetap hidup di dalam hatinya selamanya. Dan cincin putih itu akan selalu menjadi pengingat akan cinta mereka yang abadi.
Tamat