Coretan Kisah Cinta
Matahari siang menyorot tajam ke halaman SMA Harapan Bangsa, membuat lapangan basket tampak berkilauan. Ratna duduk di bangku taman, jari-jarinya menari-nari di atas layar ponsel, namun matanya tak fokus pada gambar-gambar di dalamnya. Pikirannya melayang, terjebak dalam pusaran kekacauan yang baru saja dihadapinya.
“Ratna! Kamu kenapa?” suara Sarah, sahabat karib Ratna, membuyarkan lamunannya. Ratna menoleh, seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
“Enggak apa-apa, kok. Cuma lagi ngantuk,” sahutnya, pura-pura menguap lebar.
Sarah, yang mengenalnya begitu dekat, menatap Ratna dengan curiga. "Bohong! Kamu lagi galau, kan? Coba ceritakan, aku bisa jadi pendengar yang baik," kata Sarah, menyeringai.
Ratna menghela napas. Tak mungkin ia menyembunyikan kesedihannya dari Sarah, sahabat yang selalu ada untuknya. Ia menceritakan kejadian di kantin tadi siang. Saat dirinya menyelinap ke kantin untuk membeli minuman, ia melihat Arya, cowok yang diam-diam ia cintai, berbincang mesra dengan Laras, sekretaris OSIS.
“Mereka berdua, Sarah. Berpegangan tangan, saling tertawa. Arya bahkan menyuapi Laras dengan puding,” kata Ratna, suaranya bergetar menahan tangis.
Sarah memeluk Ratna erat. "Sabar, Ratna. Kenapa kamu harus sedih? Kamu terlalu baik untuk dia. Toh, selama ini kamu juga nggak pernah ngungkapin perasaan kamu ke dia."
Ratna terdiam. Ya, memang. Selama ini ia hanya diam-diam mengagumi Arya dari kejauhan. Ia terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya. Khawatir ditolak.
“Aku tahu dia baik, tapi dia bukan orang yang tepat untuk kamu. Cowok seperti Arya, yang banyak disukai cewek, pasti punya banyak pilihan. Kamu terlalu berharga untuk patah hati karena dia,” tambah Sarah.
Ratna mengangguk pelan. Sarah memang selalu benar. Ia terlalu fokus pada Arya, yang ternyata sudah memiliki tambatan hati.
“Lagipula, di dunia ini masih banyak cowok lain yang lebih baik dari dia. Kamu harus move on!” Sarah menyemangati.
Ratna tersenyum kecil. "Iya, aku harus move on. Terima kasih, Sarah, kamu selalu tahu cara menghiburku."
Sore itu, Ratna kembali ke rumahnya dengan hati yang masih berbekas luka. Ia mencoba untuk berdamai dengan kenyataan pahit yang baru saja dihadapinya. Ia harus melupakan Arya, cowok yang sudah menghancurkan hatinya.
"Ma, aku pulang."
"Sayang, kamu kok tumben pulang sore gini?" Ibu Ratna bertanya, sedikit heran.
Ratna hanya menjawab dengan senyum tipis, "Aku ada urusan, Ma."
Saat itu, Ratna memutuskan untuk mengubah dirinya. Ia mulai rajin mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, bergaul dengan teman-teman baru, dan menyibukkan dirinya dengan hobi-hobi baru. Ia mencoba untuk membuka hatinya untuk orang lain.
Dan suatu hari, ia bertemu dengan seorang cowok yang berbeda dari Arya. Namanya Bagas. Bagas sederhana, penyayang, dan pengertian. Ia bukan tipikal cowok populer di sekolah, tapi ia punya kharisma yang mampu mencuri perhatian Ratna.
Ratna dan Bagas semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, saling berbagi cerita, dan saling mendukung satu sama lain.
"Ratna, aku suka kamu. Maukah kamu jadi sahabat aku?" Bagas menatap Ratna dengan mata berbinar.
Ratna tersenyum. Ia merasakan getaran bahagia di dalam hatinya. Ia telah melupakan Arya, dan kini hatinya telah tertambat pada pria di hadapannya.
"Iya, Bagas. Aku mau jadi sahabat kamu."
Ratna bersyukur atas luka yang pernah ia rasakan. Luka itu membuat ia belajar untuk lebih menghargai diri sendiri dan membuka hatinya untuk cinta yang lebih tulus. Ia telah bangkit dari keterpurukan dan menemukan kebahagiaan baru bersama Bagas.
"Kandas," gumam Ratna, sambil tersenyum. Kisah cintanya dengan Arya memang kandas, tapi ia telah menemukan pelabuhan baru yang lebih indah.
Matahari sore mulai meredup, langit berganti warna menjadi jingga keemasan. Sebuah sepeda ontel berwarna biru tua melaju pelan di jalanan aspal, membelah kerumunan anak-anak sekolah yang pulang. Di boncengan belakang, Ratna duduk dengan senyuman merekah, rambutnya tertiup angin lembut.
"Bagas, aku suka banget naik sepeda ontel sama kamu. Rasanya sederhana, tapi menyenangkan," ujar Ratna, suara lembutnya bercampur dengan desiran angin.
Bagas yang mengayuh sepeda dengan tangan kiri, menoleh sebentar ke Ratna. "Aku juga suka, Ratna. Kamu yang bikin naik sepeda ontel jadi spesial," jawabnya, senyum terukir di bibirnya.
Sepeda ontel tua itu memang bukan kendaraan mewah, tapi bagi Ratna, itu adalah simbol kebahagiaan. Sejak berpacaran dengan Bagas, ia menemukan kembali arti kebahagiaan sederhana.
Mereka berdua memang berbeda. Ratna anak orang kaya, sedangkan Bagas, anak seorang tukang becak, sederhana dan tak punya harta benda. Tapi, justru kesederhanaan Bagas lah yang membuat Ratna jatuh cinta.
Bagas selalu memperhatikan Ratna. Setiap kali Ratna naik sepeda, Bagas selalu memegang erat pinggangnya, seolah ingin memastikan kalau Ratna aman. Ratna pun selalu berpegangan pada pinggang Bagas, merasakan kehangatan tubuh Bagas menempel di punggungnya.
"Bagas, kamu udah makan siang belum?" tanya Ratna, memecah kesunyian.
"Udah. Kamu?," jawab Bagas.
"Aku belum. Nanti kita makan bareng di warung bakso Pak Ijo, ya?" ajak Ratna.
"Oke. Tapi, jangan lupa bayar bakso nya. Hehehe," canda Bagas, membuat Ratna tertawa.
"Pelit banget sih kamu!," protes Ratna sambil memukul pelan lengan Bagas.
Mereka pun terus bersepeda, menikmati sore hari yang semakin meredup.
Sesampainya di warung bakso Pak Ijo, mereka langsung memesan dua mangkok bakso spesial. Ratna pun mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar.
"Ratna, aku bisa bayar kok. Nggak usah pakai uang kamu," kata Bagas, menolak dengan halus.
"Aku mau bayarin, lagipula, kamu kan udah traktir aku naik sepeda. Gantian aku traktir makan," jawab Ratna.
"Oke, tapi besok kamu traktir lagi ya?," canda Bagas.
Ratna tertawa. Ia senang melihat Bagas yang tak sungkan untuk menerima kebaikannya. Bagas memang bukan tipikal cowok yang suka memanfaatkan orang lain. Ia selalu menghormati Ratna, meskipun Ratna jauh lebih kaya darinya.
Setelah makan bakso, mereka kembali bersepeda pulang. Angin sepoi-sepoi menyapa wajah mereka, membuat suasana semakin romantis.
"Ratna, aku bahagia bisa bersama kamu," kata Bagas, tiba-tiba.
"Aku juga, Bagas. Kamu yang selalu membuatku bahagia," jawab Ratna, matanya menatap Bagas dengan penuh kasih sayang.
Bagas pun menghentikan sepedanya di pinggir jalan, tepat di bawah pohon rindang. Ia menatap Ratna dengan mata yang berkilauan.
"Ratna, mau nggak kamu jadi pacar aku?" tanyanya.
Ratna tersenyum. Jantungnya berdebar kencang. Ia sudah merasakan hal yang sama, tapi ia ingin mendengar Bagas mengatakannya sendiri.
"Iya, Bagas. Aku mau," jawab Ratna, suaranya bergetar karena haru.
Bagas langsung tersenyum lebar. Ia memeluk Ratna erat-erat. Ratna pun membalas pelukan Bagas dengan penuh kasih sayang.
Di bawah pohon rindang, dengan sepeda ontel tua sebagai saksi bisu, Ratna dan Bagas menyatukan hati mereka. Kebahagiaan sederhana mereka, yang terukir dalam sebuah perjalanan pulang bersama, menjadi kisah cinta yang indah dan tak terlupakan.
Tamat