Dina menatap dua garis merah di test pack di tangannya. Jantungnya berdegup kencang.
“Masa iya aku hamil?!” gumamnya, hampir tak percaya.
Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengingat-ingat. Siklusnya memang telat, tapi ia mengira hanya stres karena kerjaan. Lagi pula, ia dan Bayu selalu berhati-hati.
Dina buru-buru mengambil ponselnya dan menelepon sahabatnya, Rina.
“Rin, gue… hamil.”
Di ujung telepon, terdengar tawa kecil. “Lah, bukannya itu kabar baik?”
Dina menghela napas. “Tapi gue belum siap! Karier gue baru naik, proyek impian gue baru aja mau jalan. Gimana kalau ini malah ngerusak semuanya?”
“Terus, lo udah bilang ke Bayu?”
Dina terdiam. Ia bahkan belum tahu harus mulai dari mana.
Malamnya, saat Bayu pulang kerja, Dina sudah menyiapkan makan malam. Tangannya gemetar saat menyodorkan test pack itu kepadanya.
Bayu menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Serius? Kita bakal punya anak?”
Dina menelan ludah. “Kamu… nggak kaget?”
“Kaget sih, tapi lebih ke senang.” Bayu menggenggam tangan Dina. “Aku tahu kamu khawatir, tapi kita hadapi bareng, ya?”
Dina menatap wajah suaminya. Perlahan, hatinya mulai tenang. Mungkin ini memang bukan rencana yang ia buat, tapi bukan berarti tidak bisa menjadi cerita yang indah.