Malam itu, kafe kecil di sudut kota menjadi saksi kebersamaan mereka. Bima dan Dinda, pasangan yang selalu tampak sempurna di mata orang lain. Bima merangkul Dinda dengan erat, sesekali mengecup puncak kepalanya. Tawa mereka mengisi ruangan, seolah dunia hanya milik berdua.
"Sayang, kamu mau pesan apa lagi?" tanya Bima dengan suara lembut.
Dinda tersenyum, tapi matanya tidak berbinar. "Aku sudah cukup, kamu saja."
Dari luar, mereka pasangan ideal—saling menyayangi, saling melengkapi. Namun, hanya Dinda yang tahu, di dalam hatinya ada luka yang ia pendam sendiri.
Saat orang-orang memuji Bima sebagai kekasih yang sempurna, Dinda hanya bisa mengangguk, menahan perih di dadanya. Tidak ada yang tahu bahwa saat jauh dari keramaian, Bima berubah menjadi sosok yang berbeda. Kata-kata manis berganti dengan kalimat tajam yang menusuk. Sentuhan lembut menjadi genggaman yang menyakitkan.
Malam sebelumnya, Dinda baru saja menangis dalam diam. Perdebatan kecil berakhir dengan kemarahan Bima yang meledak. Ia tidak memukul, tapi kata-katanya cukup membuat Dinda merasa tidak berharga.
"Aku melakukan semua ini buat kamu, Din! Kenapa kamu masih saja begini?" bentaknya.
Dinda hanya menunduk, tak berani membalas. Ia takut. Ia lelah. Tapi ia juga terperangkap dalam rasa sayang yang membuatnya sulit pergi.
Di dalam, ia merana. Tapi di luar, ia harus tetap tersenyum.
Di kafe itu, ketika orang-orang melihat mereka sebagai pasangan yang bahagia, Dinda menatap keluar jendela, berharap ada jalan keluar dari kepura-puraan ini.
Namun, sampai kapan?