Malam begitu sunyi. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Dalam remang kamar yang hanya diterangi lampu meja, tangan lelaki itu gemetar saat membuka lembaran buku tua berdebu di depannya.
Namanya Rahman. Usianya hampir menginjak empat puluh, tapi wajahnya lebih tua dari umur sebenarnya. Garis-garis kelelahan dan beban hidup terpahat jelas di wajahnya. Ia menarik napas panjang, lalu mulai menulis di halaman pertama buku itu.
"Ini catatan terakhirku. Aku tidak tahu apakah aku pantas diampuni, tapi aku ingin menuliskannya sebelum ajal menjemput."
Rahman menatap langit-langit kamar. Ingatan masa lalu berkelebat di benaknya—masa muda yang ia habiskan dalam gelimang dosa.
Ia ingat bagaimana pertama kali terjerumus ke dunia hitam, awalnya hanya ikut-ikutan teman, mencoba hal-hal yang dilarang, hingga akhirnya menjadi bagian dari hidupnya. Minuman keras, perjudian, dan kehidupan malam membuatnya merasa berkuasa, tetapi juga membunuh nuraninya sedikit demi sedikit.
Ia pernah punya keluarga. Seorang istri yang setia dan seorang anak perempuan yang dulu selalu memeluknya setiap kali ia pulang. Namun, itu semua sudah hilang. Istrinya meninggal karena sakit, sementara anaknya pergi meninggalkannya, kecewa pada pria yang seharusnya melindunginya tapi malah menghancurkan rumah tangga mereka.
Rahman menutup mata, menahan perih yang semakin menusuk di dadanya. Hatinya kini penuh penyesalan. Ia rindu pada keluarganya, rindu pada kehidupan yang lebih baik.
Namun, apakah penyesalan cukup? Dapatkah dosa-dosa sebesar ini terhapus begitu saja?
Ia kembali menulis.
"Aku ingin bertobat, tetapi apakah Tuhan masih mau menerimaku? Aku takut, tetapi aku lebih takut mati tanpa kesempatan meminta maaf kepada-Nya."
Rahman bangkit dari kursinya. Tubuhnya ringkih, lemah akibat penyakit yang telah lama bersarang di tubuhnya. Ia melangkah ke sudut kamar, di mana sebuah sajadah tergelar. Sudah bertahun-tahun ia tidak bersujud, namun malam ini, ia merasa harus melakukannya.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia takluk di hadapan Sang Pencipta. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi sajadah tua itu.
"Ya Allah, jika masih ada kesempatan, ampuni aku. Aku ingin kembali. Aku ingin pulang."
Tak ada suara selain isakan tangisnya. Tapi dalam hatinya, Rahman merasa kehangatan yang telah lama ia lupakan. Seolah Tuhan berbisik lembut di telinganya:
"Pintu taubat selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin kembali."
Malam itu, dalam sujudnya yang pertama setelah sekian lama, Rahman menangis tanpa suara. Air matanya jatuh, menyerap dalam serat-serat sajadah yang telah lama terabaikan. Dulu, tangannya gemetar karena dosa, tapi kini ia gemetar karena ketakutan—takut jika Tuhan tak lagi menginginkannya, takut jika pintu ampunan sudah tertutup.
Namun, di tengah keheningan, ada sesuatu yang mengalir ke dalam hatinya—sebuah ketenangan yang asing, tapi begitu nyata. Seakan-akan ada tangan lembut yang menepuk punggungnya, membisikkan sesuatu yang sederhana namun menggetarkan jiwa:
"Aku masih di sini."
Rahman terisak. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar kecil. Dan dalam kesadaran itu, ia tahu bahwa Tuhan belum meninggalkannya.
Ia bukan lagi seorang pendosa yang hanya mencatat penyesalan. Malam ini, ia adalah seorang hamba yang berusaha kembali pulang.