Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela, menciptakan pola samar yang terus berubah. Di dalam rumah mungil itu, Nadine duduk di sofa dengan wajah lesu. Tangannya sibuk meremas ujung bantal, sementara pikirannya berkelana jauh.
"Aku capek, Dan. Aku beneran capek," ucapnya dengan suara lirih.
Daniel, suaminya, menghela napas berat. Ia baru saja pulang kerja, masih mengenakan kemeja yang sedikit kusut. Matanya sayu, lelah bercampur kesal.
"Kita sudah sering bahas ini, Nadine. Aku kerja dari pagi sampai malam buat kita, buat rumah ini. Apa aku masih kurang?"
Nadine mendongak, menatap suaminya dengan mata penuh luka. "Kurang? Bukan soal uang, Dan. Aku cuma butuh kamu di sini, sama aku. Bukan cuma badannya, tapi juga hatinya."
Daniel terdiam. Selalu seperti ini. Setiap kali mereka berbicara, semuanya berujung pada perdebatan.
"Jadi menurutmu aku nggak cukup perhatian?" Daniel akhirnya bersuara, nada suaranya naik sedikit.
Nadine menelan ludah. "Perhatian yang kayak gimana? Pulang malam, langsung tidur? Bangun pagi, langsung kerja lagi? Aku kayak tinggal sama orang asing di rumah ini, Dan."
Daniel mengusap wajahnya dengan kasar. Ia ingin membantah, tapi sebagian dalam dirinya tahu, Nadine tidak sepenuhnya salah. Dulu, sebelum menikah, ia selalu berjanji akan menjadi suami yang hadir, yang mendengarkan, yang ada di setiap suka dan duka. Tapi kenyataannya? Rutinitas dan tuntutan hidup telah menggerus semuanya.
Hening merayap di antara mereka. Hanya suara hujan di luar yang terdengar.
"Apa kamu masih mencintaiku?" tanya Nadine akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Daniel menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia tidak bisa langsung menjawab. Ada sesuatu dalam pertanyaan itu yang membuat dadanya terasa sesak.
Nadine mengangguk pelan. "Aku mengerti."
Ia bangkit dari sofa, berjalan menuju kamar, meninggalkan Daniel yang masih terpaku. Ia tidak menangis, tidak berteriak, tapi ada sesuatu dalam langkahnya yang terasa begitu menyakitkan.
Daniel ingin menghentikannya, tapi entah kenapa, kakinya tidak bergerak. Hanya ada perasaan hampa yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.
Di luar, hujan semakin deras. Seakan ikut menangisi sesuatu yang diam-diam mulai hancur di antara mereka.