Satya Rajendra Diningrat, anak seorang pengusaha kaya ,Namun siapa sangka...
"Kamu anak tak tau diuntung,mati saja sana!!!"
Teriakan keras itu menggelegar di seluruh ruangan rumah,di susul dengan suara tebasan yang memecah keheningan sore hari itu.
Lengan,kaki,paha.....tidak ada yang luput dari sentuhan rotan panjang itu.
Satya lahir prematur karena ibunya meninggal dunia akibat kecelakaan.
Takut pada ayahnya menyebabkan mentalnya terusik sehingga ketakutan melekat di jiwanya.
Perekonomian keluarga baik,namun karena terlalu fokus menyebabkan ayahnya stres dan akhirnya sering pulang mabuk-mabukan, sehingga melampiaskan kekesalannya pada tubuh anak berusia 14 tahun itu.
Ayahnya mendapat telpon dan langsung melangkah keluar dan pergi entah kemana.
Dengan tertatih-tatih Satya berjalan keluar rumah tanpa minat memandang sekitar.
Dibawah pohon rimbun itu seorang anak perempuan tengah duduk menatap langit,menikmati angon sepoi-sepoi yang menerpanya,sejenak saat cipratan darah membasahi rumput depannya.
"Aku datang Mira"
Satya berdiri lemas didepan anak perempuan itu.
"Di pukul lagi?"
"Emmm,gitu lah" Satya duduk di sebelah Mira.
"Natap langit lagi"
"Ahhh...,menurutmu dunia indah?" Tanya Mira.
"Ntahlah,rasanya seperti baring di atas duri" Ujar Satya.
Satya menatap wajah polos Mira,menatap matanya yang diselimuti selaput putih.
"Apa kamu mau liat dunia Mir?"
"Mau nya sih gitu"
Satya mengelap darah dari ujung bibirnya.
"Seminggu lagi kamu ultah kan,samaan sama ayah ku" Ucap Satya di sela usapannya.
"Masih pantas dia di sebut ayah?" Tanya Mira.
"Gimana pun dia tetap ayah ku Mir"
"Heeh,mana ada ayah tega pukul anaknya?,bahkan hanya pemuas emosi" Celetuk Mira.
Satya hanya tertawa melihat sahabat nya itu marah-marah tak jelas.
Malam suntuk itu Satya mengantar Mira pulang,nenek semata wayang Mira sedang menunggunya didepan pintu.
"Larut amat den" Ujar Mbok Aminah,nenek Mira.
"Mira nya pengen jalan-jalan tadi mbok"
"Oalah,makasih den udah jaga Mira"
"Pamit mbok,nanti di cariin ayah" Ucap Satya.
"Olaha, nggeh hati-hati di jalan"
"Pamit Mir"
"Oke lah"
Tubuh Satya membiru, rasa sakit menyelimutinya malam itu, namun ia paksakan tidur agar besok dapat bersekolah lagi.
Keesokannya ujian dilaksanakan dan selanjutnya seragam biru akan berganti ke seragam abu-abu, seperti biasa Satya lulus dengan nilai terbaik seangkatan.Namun takdir telah menunjukkan ketidakadilannya, di hari yang mendung ia berlari menuju rumah sakit kota setelah mendapat kabar ayahnya mengalami kecelakaan tragis.
"Jantung pasien lemah, kalau tidak ditindak lanjuti bisa membahayakan nyawa". Ujar dokter
Air mata nya mengalir begitu deras, Satya meringkuk
"Pak dokter, apa yang bisa Saya lakukan biar ayah selamat?"
Dengan iba, lelaki berjas putih itu duduk bersimpuh menghadap anak kecil di hadapannya.
"Ibu kamu mana?"
"Nggak ada,cuman ada ayah"
"Paman tau bibi?" Suara dokter itu tertekan saat Satya hanya menggeleng pelan.
"Ayah kamu butuh jantung lain, dokter akan usaha Carikan, tapi butuh banyak uang.."
"Cuma jantung dok,Saya punya.Tolong ambil jantung Saya aja,sembuhkan ayah"
Kini suster dan dokter yang ada disitu terbawa emosi.
"T-tau apa yang barusan kamu bilang?,tanpa jantung orang ga bisa hidup!"
Satya menggenggam tangan dokter tersebut.
"Ambil jantung saya dok,tolong sembuhkan ayah. Saya cuman punya ayah".
Seorang suster keluar..
"Pasien koma dok"
Suasana berubah menjadi mencekam,baik Satya maupun dokter tersebut pucat pasai
"Siapkan prosedur transplantasi jantung"
Malam itu Satya merenungkan segalanya, mencoba mencerna tiap perkataannya dan mencoba yakin akan keputusannya,Bagaimana dengan Mira?,itu mengganggu pikirannya,dengan langkah ragu ia melangkah menuju rumah Mira,sedikit berbicara dengan mbok Aminah dan sepanjang malam berbicara dengan Mira sepanjang malam.
"Besok ultah kamu kan,aku udah siapin hadiah.Besok mbok antar kamu ambil hadiahnya,maaf nggak bisa kasi langsung,Mir" Ujar Satya.
Nada bicara Satya berat, sahabat semasa kecil didepannya itu paham betul ada sesuatu yang salah namun tak mau diceritakan padanya.
"Tya, semuanya nanti akan baik-baik saja kok,ayahmu pasti akan paham suatu hari nanti".
Esoknya..
"Kamu yakin nak?" Tanya dokter
Ahhh... pertanyaan itu mengusik tekad Satya.
"Hari ini ulang tahun ayah, semoga ayah senang dengan hadiah terakhir ini"
Tidak ada yang dapat dilakukan lagi, alat-alat bedah mulai menggores tubuh mungil itu hingga semua prosedur terlaksana dan Satya hanya tinggal jasad tak bernyawa.
Hati mungil itu bak tertusuk duri abadi, sakitnya masih terasa. Luka lebam yang menyelimuti tubuh anak itu meninggalkan bekas sangat jelas.
Namun apakah akan mendapat akhir yang bahagia nantinya? Sayang ini bukan fiksi yang penuh dengan senyum atau novel romantis yang sering kalian baca.Beberapa Minggu berlalu,cahaya menembus perban di mata gadis itu.
"Operasi pasien berhasil"
Air mata Mira mengalis deras.
"Hadiahmu menyakitkan Tya"