Walau hanya sedetik saja, selalu ku rasakan kebahagiaan, saat aku bisa bersama denganmu,”
“Dua atau tiga tahun saja? Itu bukan waktu yang lama bagiku untuk menunggumu,”
Aku masih terus menatap sebuah foto berukuran sedang yang berada di meja kamarku. Sepasang anak manusia yang terlihat begitu bahagia berdiri di tengah-tengah kebun teh yang tampak begitu indah. Puncak, 28 Juni 2012, itulah kalimat yang ku dapati di sudut bawah foto itu. Kini tatapanku hanya terfokus pada sang Adam di sana, ia tampak begitu menawan, dan ialah yang selalu membuat hati ini membengkak setiap harinya menahan beban kerinduan.
Deri, pria yang mampu membuatku jatuh cinta, dan menjatuhkan hati pertamaku untuknya. Kami menjalin hubungan sudah cukup lama. Hanya saja terkadang waktu dan jaraklah yang sering terlibat dalam sebuah hubungan. Sejak awal aku tahu bahwa ia benar-benar ingin melanjutkan S2 ke luar negeri, sebenarnya aku sangat menyukai semangatnya yang tinggi terhadap pendidikan, hanya saja itu membuatku sedikit takut dan ragu. Bisa ku bayangkan jika ia harus kuliah ke luar, bagaimana dengan hubunganku dengannya, lalu apakah aku sanggup? Bayangan-bayangan itu setiap saat berkecamuk di hatiku.
Malam itu, Deri datang ke rumahku seperti biasanya, ku lihat rona-rona kebahagiaan terlihat begitu jelas dari wajahnya. “Kamu kelihatannya bahagia banget? Ada apa?” Tanyaku semangat.
“Iya, aku bahagia, bahagia banget! Kamu tahu Kay, aku dapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri, cita-cita aku bakal tercapai,” katanya begitu semangat pula.
Seketika aku jadi terdiam, senang, sedih, takut semua berkecamuk di jiwaku. Lama tak menanggapinya, Deri kembali membuka pembicaraan.
“Kenapa Kay, kamu gak suka?” Tanya Deri tampak sedikit murung.
Aku hanya menggelengkan kepala, hingga akhirnya aku pun membuka pembicaraan.
“Aku senang banget kok, aku bangga sama kamu! Tapi…” kembali aku terdiam.
“Gimana hubungan kita?” Ucapku terdengar begitu pelan. Deri seolah mengerti bagaimana perasaanku, kemudian ia meraih kedua lenganku.
“Kay, aku cuma pergi sebentar, dan gak akan ada yang berubah sama hubungan kita, jarak bukan penghalang!” Ucapnya meyakinkanku.
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu, bahkan waktu sudah semakin dekat membawa Deri pergi dan menjauhkannya dariku. Satu hari sebelum keberangkatannya, Deri mengajakku untuk pergi. Awalnya aku tak bisa bersikap biasa, karena kesedihan benar-benar sedang bersemayam di hatiku, tapi aku tak ingin memberatkan hati Deri dan menghambat perjalanannya besok. “Aku mau ngajak kamu ke Puncak!” Kata Deri membuyarkan lamunanku.
“Puncak?” Aku seolah tak percaya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.
“Tempat favorit kamu, dan tempat di mana aku dipertemukan dengan seorang bidadari pujaan hati aku, yaitu kamu,” Ucapnya kembali.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Kemudian kami sama-sama terdiam hanyut dalam perasaan masing-masing. Tanpa terasa mobil terasa melaju begitu cepat membawa kami tiba di Puncak. Suasana yang tenang, nyaman, udara segar semuanya selalu bisa ku dapatkan di sana. Lalu kami mulai berjalan-jalan mengelilingi kebun teh, sambil sekali-kali berfoto-foto. Canda tawa selalu mengisi setiap waktunya. Hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon yang rindang. Kini kembali kami sama-sama terdiam.
“Aku bahagia banget hari ini,” ucapku menatapnya.
“Aku juga,” jawabnya.
“Walau hanya sedetik, saat bersama kamu, aku selalu merasa bahagia, selalu! Tapi, sedetik saja tanpa kamu, aku tak tahu!” Kataku sambil memejamkan mata, mencoba mencerna inilah hari terakhir aku bersamanya, hingga nanti beberapa tahun ke depan aku baru bisa melakukan hal ini kembali, bahkan jika dia masih bersamaku.
“Kau ragu padaku?” Ucapnya terdengar serius. Aku hanya menggelengkan kepala. Jika bisa aku menyalahkan waktu ingin aku melakukan itu saat ini juga, tega sekali dia membawa matahari pergi secepat ini dan segera akan mengubah siang menjadi malam.
“Sunset ya?” ucap Deri membuatku tertawa kecil. “Kay?” kini ia menatapku dalam, jari-jemarinya mulai menyentuh jari-jemariku. “Mmm… aku mohon jangan jadikan jarak halangan, dan jangan ragu padaku. Aku sangat mencintaimu, dan bagiku sejauh apa pun, kau yang selalu dekat dan selalu ada. Aku paham bagaimana ketakutan dan keraguanmu, tapi ku harap dengan ini, ketakutan dan keraguanmu akan hilang!” Ia menyodorkan sebuah kotak merah berisi cincin di dalamnya. Aku sungguh tak percaya, air mata perlahan jatuh dari sudut mataku.
ADVERTISEMENT
“Sepulangnya aku nanti, aku ingin kamu jadi pendamping hidupku selamanya, dan aku harap kamu juga mau aku jadi pendamping kamu, cincin ini tanda keseriusan aku, sepulangnya aku dari sana apa kamu mau jadi istriku?” Katanya membuatku benar-benar terharu dan bahagia. Aku hanya mengangguk dan langsung memeluknya.
“Aku mau jadi pendamping kamu, karena yang aku mau jadi pendamping aku cuma kamu. Berapa tahun, dua atau tiga tahun? Aku bakal tunggu kamu jemput aku! Hari ini, seharian sama kamu, cukup bagi aku untuk menunggu kamu beberapa tahun ke depan!”
“Aku menunggumu, calon imamku.” bisikku sambil terus menatap foto sang Adam pujaan hati itu.
Jangan lupa, like, komen dan follow akun aku.
Dan mampir yah ke novel ku.
Novel pertama: Beautiful, Previously Injured (Berlian di Pelukan CEO MAFIA)
Novel ke 2: Romansa, Novel gabut.
Novels like it or not.