Langit sore itu berwarna jingga, berpadu dengan angin yang berhembus pelan. Di bangku taman sekolah, seorang gadis duduk sendiri, menatap ponselnya dengan senyum yang hampir selalu muncul setiap kali nama itu muncul di layar.
Namanya Aira. Seorang gadis yang begitu dalam mencintai seseorang yang bahkan mungkin tak pernah memandangnya dengan cara yang sama.
Aira jatuh cinta pada Fadly sejak kelas sebelas. Ia bukan sekadar kagum, bukan sekadar tertarik. Perasaannya dalam, nyaris membutakan segalanya. Fadly adalah sosok yang dingin, sulit ditebak, tapi entah mengapa justru itu yang membuat Aira semakin tenggelam dalam rasa yang ia sendiri tak bisa kendalikan.
Ia selalu ada setiap kali Fadly membutuhkan sesuatu. Jika pria itu lupa membawa buku, Aira yang meminjamkan. Jika ia kelelahan setelah latihan basket, Aira yang diam-diam meninggalkan sebotol air di mejanya. Jika ia terlihat murung, Aira yang selalu mencari cara untuk membuatnya tersenyum.
Tapi Fadly tidak pernah benar-benar melihatnya.
Dan Aira terlalu sibuk mencintai, hingga tak menyadari sesuatu yang lain.
Di kelas yang sama, duduk di deretan bangku dekat jendela, ada seorang pemuda yang sejak dulu diam-diam memperhatikannya.
Namanya Radit.
Berbeda dengan Fadly yang populer, Radit hanyalah siswa biasa yang lebih sering menghabiskan waktu dengan buku-bukunya. Ia tak pernah menonjol, tak pernah terlihat mencolok, dan mungkin karena itu juga, Aira tak pernah melihatnya lebih dari sekadar teman.
Tapi Radit melihat Aira. Melihat bagaimana gadis itu selalu tersenyum saat menatap ponselnya, bagaimana matanya berbinar setiap kali melihat Fadly. Dan bagaimana sorot itu perlahan-lahan meredup saat harapannya tak pernah benar-benar terbalas.
Radit ingin mengatakan sesuatu. Tapi ia tahu, seseorang yang sedang mencintai, sering kali terlalu buta untuk melihat cinta yang ada di dekatnya.
Hari itu, Aira melihat sesuatu yang menghancurkan dunianya.
Di depan gerbang sekolah, Fadly berdiri dengan seorang gadis. Bukan sekadar berdiri—ia menggenggam tangan gadis itu, menatapnya dengan cara yang selama ini Aira harapkan ditujukan untuknya.
Aira merasa seperti tenggelam.
Sore itu, untuk pertama kalinya, ia menyadari satu hal yang sebenarnya sudah lama ada di depan matanya: cintanya memang hanya ada dalam angannya sendiri.
Ia pulang dengan hati kosong, duduk di taman dekat rumahnya, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara.
Kemudian, seseorang datang.
"Boleh aku duduk di sini?" suara itu familiar. Aira mengangkat wajahnya. Radit berdiri di sana, membawa dua gelas cokelat hangat.
Aira mengangguk.
Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan saat itu. Tapi saat Radit menyerahkan satu gelas padanya, tangan mereka bersentuhan. Dan untuk pertama kalinya, Aira melihat sesuatu yang berbeda dalam mata Radit—sesuatu yang tulus, sesuatu yang selama ini ia abaikan.
Dan mungkin, hanya mungkin, cinta yang sesungguhnya adalah yang selama ini tak ia sadari.
apa yg bisa disimpulkan disini?