Hujan baru saja reda ketika Aurel melangkah keluar dari gerbang kampusnya. Langit masih kelabu, menyisakan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Ia menarik napas dalam, menikmati udara yang terasa lebih segar setelah diguyur hujan. Di seberang jalan, sebuah mobil hitam mengklakson pelan. Aurel tersenyum kecil sebelum berlari mendekat dan membuka pintu penumpang.
"Maaf lama, Om," ujarnya sambil masuk dan memasang sabuk pengaman.
Pria di balik kemudi menoleh sekilas, bibirnya melengkung samar. "Gak apa-apa. Udah makan?"
Aurel menggeleng. "Nanti aja di rumah."
Mobil melaju pelan meninggalkan area kampus. Di dalam, suasana terasa nyaman meskipun sunyi. Aurel melirik ke samping, memperhatikan pria yang kini fokus pada jalanan. Namanya Arfan. Pria berusia 34 tahun itu adalah teman dekat kakaknya, sering datang ke rumahnya sejak dulu. Sejak perceraiannya setahun lalu, Arfan semakin sering main ke rumahnya, entah untuk berbincang dengan ayahnya atau sekadar menikmati kopi di teras.
Bagi Aurel, Arfan bukan sekadar ‘om duda’ seperti yang sering diledekkan teman-temannya. Ia adalah sosok yang tenang, dewasa, dan selalu tahu bagaimana menenangkan hati Aurel ketika sedang kacau.
"Ada tugas banyak?" Arfan bertanya, memecah keheningan.
Aurel mengangguk. "Seperti biasa. Tapi gak seberat yang kemarin."
Arfan tersenyum tipis. "Jangan begadang lagi. Kamu sering sakit kalau kurang tidur."
Aurel mengerucutkan bibirnya. "Om kayak bapak aja."
"Memang harus ada yang ngawasin kamu," jawab Arfan ringan.
Aurel menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang muncul di wajahnya. Hatinya bergetar setiap kali pria itu menunjukkan perhatian. Ia tahu, perasaannya sudah melampaui batas yang seharusnya. Tapi bagaimana bisa ia menghentikan hatinya yang jatuh cinta?
---
Setibanya di rumah, Aurel turun dengan enggan. "Makasih, Om," ucapnya pelan.
Arfan mengangguk, tapi tak langsung pergi. Matanya menatap Aurel dengan ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aurel..."
"Hm?"
Pria itu menghela napas, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting. Namun akhirnya hanya tersenyum samar. "Jangan lupa makan."
Aurel mengangguk lalu masuk ke dalam rumah dengan hati yang masih berdebar.
Malamnya, saat ia sedang mengerjakan tugas, sebuah pesan masuk di ponselnya. Dari Arfan.
"Jangan tidur larut. Good night."
Aurel tersenyum sendiri. Jari-jarinya mengetik balasan cepat.
"Iya, Om juga jangan begadang."
Namun, sebelum ia sempat mengirimnya, ia menghapus kalimat itu dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih sederhana.
"Good night."
Ia menarik napas dalam, lalu merebahkan diri di kasur, menatap layar ponsel yang masih menyala.
"Om, aku suka sama Om…" gumamnya pelan, tanpa suara.
---
Hari-hari berlalu seperti biasa. Arfan masih sering menjemputnya sepulang kuliah. Mereka mengobrol tentang banyak hal, dari hal sepele hingga obrolan serius. Kadang-kadang, Arfan bercerita tentang masa lalunya, tentang pernikahan yang gagal, tentang putranya yang kini tinggal bersama mantan istrinya.
Setiap kali mendengar cerita itu, Aurel merasa ada sesak yang tak bisa dijelaskan.
"Aurel," panggil Arfan suatu sore saat mereka duduk di teras rumah Aurel.
"Hm?" Aurel menoleh.
"Ada seseorang yang kamu suka?"
Jantung Aurel seakan berhenti berdetak sejenak. Ia menggigit bibirnya, berpura-pura santai. "Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"
Arfan tersenyum kecil. "Penasaran aja. Kamu sering senyum-senyum sendiri akhir-akhir ini."
Aurel meremas jemarinya di atas paha. Seandainya saja ia cukup berani untuk mengatakan yang sebenarnya. Bahwa orang yang ia suka… sedang duduk di sebelahnya sekarang.
"Tidak ada," jawabnya pelan. "Mungkin cuma kebanyakan baca novel romantis."
Arfan tertawa kecil, lalu mengacak rambut Aurel seperti biasa. "Jangan terlalu larut dalam cerita fiksi. Nanti susah move on kalau jatuh cinta beneran."
Aurel tersenyum miris. Om, aku gak perlu jatuh cinta di dunia fiksi, karena aku sudah jatuh cinta di dunia nyata. Dengan Om.
---
Hari itu, hujan turun lagi. Lebih deras dari biasanya. Arfan menepikan mobil di depan rumah Aurel seperti biasa.
"Besok Om ke luar kota beberapa hari," katanya pelan.
Aurel terdiam, menatap tangan yang ia kepalkan di atas paha.
"Lama?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Mungkin seminggu," jawab Arfan. "Ada urusan kerja."
Aurel menggigit bibir. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
"Om," panggilnya akhirnya.
"Hm?"
"Aku…"
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, Arfan menoleh dengan senyum yang begitu lembut, hingga membuat Aurel kehilangan kata-kata.
"Apa?" tanya Arfan lagi.
Aurel menelan ludah. Ia menggeleng. "Gak jadi. Hati-hati di perjalanan, ya."
Arfan menatapnya sesaat, lalu mengangguk. "Kamu juga jaga diri."
Aurel turun dari mobil, membiarkan hujan membasahi ujung bajunya. Ia tidak berlari ke dalam rumah. Ia berdiri di situ, menatap mobil Arfan yang perlahan menjauh, membawa pergi sebagian hatinya bersamanya.
Seandainya saja ia berani mengatakan perasaannya.
Seandainya saja ia bisa berkata, "I love you, Om Duda."