Adrian terbangun dengan cepat, napasnya terasa sesak. Wajahnya basah oleh keringat dingin. Ketika ia membuka mata, suara-suara yang berisik di luar kamar seolah menjadi kabut yang semakin mengaburkan pikirannya. Ia baru saja bermimpi—lagi—tentang ibunya. Kematian ibunya yang masih menghantui, meski telah bertahun-tahun berlalu. Ibunya ditemukan tewas di sebuah tempat yang jauh, tempat yang tak pernah jelas mengapa. Polisi hanya memberitahunya bahwa itu adalah kecelakaan. Namun, Adrian tahu lebih dari itu. Dan dia tidak pernah bisa melupakan wajah ibunya yang terakhir kali dilihat sebelum semuanya menjadi gelap.
Sejak itu, serangkaian pembunuhan berantai mulai terjadi. Setiap korban ditemukan dengan cara yang sama: tewas dengan luka yang mengerikan, disertai dengan tanda yang seolah mengolok-olokkan mereka yang mencoba menyelidiki. Adrian tahu ini bukan kebetulan. Ini adalah permainan. Permainan yang dimulai sejak ibunya tewas.
Bersama tiga temannya—Victor, Kate, dan Damien—Adrian memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Mereka akan mengungkap pembunuh ini, siapa pun dia. Mereka yakin, bahwa jika mereka berhasil menemukan pelaku, semua teka-teki tentang kematian ibunya akan terpecahkan.
---
Penyelidikan mereka dimulai dengan seorang pria bernama Gregor. Seorang pria dengan perilaku yang mencurigakan dan informasi yang hampir mirip dengan pola pembunuhan yang mereka cari. Adrian dan timnya merencanakan penangkapannya dengan hati-hati. Setelah beberapa hari, mereka menemukan Gregor sedang bersembunyi di sebuah gudang tua.
"Berikan kami jawaban!" teriak Adrian, suaranya penuh kebencian yang tak terkatakan.
Gregor hanya tertawa. Tertawa dengan cara yang mengerikan, hampir seperti ingin mengejek mereka. "Apa yang kalian inginkan? Aku hanya menikmati hidupku, menikmati setiap detik membunuh mereka... Membunuh yang layak mati."
Adrian merasa amarahnya memuncak. "Kau tahu siapa yang telah membunuh ibuku, bukan?" tanyanya dengan suara bergetar. "Jawab aku!"
Gregor tertawa lebih keras lagi, "Kau? Kau begitu naif. Ibumu hanya bagian dari permainan ini, sama seperti kalian semua."
Adrian tak bisa menahan emosinya. Tangan kanannya menekan benda tajam, dan tanpa sadar dia menghujamkan pisau itu ke tubuh Gregor. Suasana di ruang itu sunyi, kecuali suara napas mereka yang terengah-engah. Gregor jatuh ke lantai dengan darah yang membasahi karpet.
"Selesai," kata Adrian, suara penuh kemenangan. Tetapi dalam hatinya, ada kekosongan yang semakin dalam.
Namun, beberapa hari kemudian, mereka mendapat kabar lebih banyak korban berjatuhan—dan semua korban itu memiliki ciri khas yang sama. Pembunuh itu masih ada di luar sana. Adrian merasa dipermainkan.
---
Hari berikutnya, mereka menemukan pria lain yang sangat mirip dengan profil pembunuh yang dicari. Bernard. Pria ini ternyata lebih cerdik. Mereka berhasil menangkapnya di sebuah gudang yang jauh lebih tersembunyi, dan dengan cepat mereka mengurungnya dalam ruangan yang gelap.
"Siapa kau?" tanya Adrian, kali ini suaranya lebih rendah. "Apa yang kau tahu tentang pembunuh itu? Tentang aku?"
Bernard hanya tersenyum sinis, "Aku tahu lebih banyak dari yang kau kira. Tapi jangan harap aku memberi tahu siapa dia. Semua ini adalah takdir. Apakah kau merasa itu bukan takdirmu juga?"
Adrian merasa pusing, tak tahu apa yang sebenarnya Bernard katakan. "Jangan main-main dengan aku!" teriaknya, wajahnya memerah. "Aku tahu kau tahu sesuatu tentang ibuku. Kau pasti tahu siapa yang bertanggung jawab."
Namun, Bernard tak menjawab dengan jelas. Alih-alih, dia terus berbicara tentang keluarganya yang mati, dan betapa pembunuhan itu adalah bagian dari rutinitas hidupnya. Tentu saja, kata-katanya semakin membuat Adrian marah. Dia mengingat ibunya yang juga tewas dengan cara yang sangat mengerikan.
"Berkata apa lagi tentang ibuku, dan aku akan membunuhmu," ujar Adrian dengan suara serak. Dan begitu saja, seperti kilat yang menyambar, pisau kembali menembus tubuh Bernard. Hening. Keheningan yang tak tertahankan.
Tapi itu tak cukup. Pembunuhan berlanjut. Pembunuh itu, atau mungkin lebih tepatnya, permainan ini, masih belum selesai.
---
Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Meskipun dua orang sudah dibunuh, perasaan itu tetap ada—bahwa pembunuh asli masih berada di luar sana, tertawa, menyaksikan mereka berusaha tanpa henti.
Kemudian, mereka menemukan seseorang yang lebih mirip dari sebelumnya. Seorang pria bernama Daniel, yang memiliki fisik dan perilaku yang hampir identik dengan profil pembunuh yang mereka cari. Ini adalah peluang terakhir mereka. Mereka mengepungnya, dan akhirnya menangkapnya setelah perjuangan yang sangat sulit.
Adrian menatap Daniel dengan penuh kebencian. "Kau pasti tahu siapa yang membunuh ibuku," kata Adrian, hampir berbisik. "Kau tahu."
Daniel hanya tertawa. "Membunuh adalah bagian dari diriku. Aku bahkan tak peduli dengan siapa yang mati, selama itu membuat dunia ini lebih menarik."
Setiap kata Daniel memancing lebih banyak kemarahan dari Adrian. Tanpa pikir panjang, Adrian melompat dan menyerangnya. Pisau berkilat menggores tubuh Daniel, dan dalam beberapa detik, darah memenuhi lantai.
---
Namun, sesuatu terasa aneh. Pembunuhan ini seharusnya menyelesaikan semua ini. Seharusnya Adrian merasa lega, namun tidak. Beberapa hari setelah kejadian itu, lebih banyak pembunuhan terjadi, dan kali ini lebih brutal dari sebelumnya.
Teman-teman Adrian mulai merasakan ketegangan. Ada yang berubah dari diri Adrian. Mereka mulai berbisik di belakangnya, mulai curiga bahwa ia mungkin memiliki lebih banyak keterlibatan dalam semua ini. Tapi mereka tetap mengikuti Adrian. Teman sejati tak akan meninggalkan temannya, bukan?
Akhirnya, dalam kekacauan yang semakin mendalam, Adrian merasa jika dia telah dipermainkan oleh seseorang yang memiliki kaki tangan. Dia merasa seperti tengah bermain dalam labirin yang tak berujung, satu per satu korban dibunuh, dan setiap langkahnya semakin membawanya ke dalam kegelapan.
Adrian merasa jika ia hanya berusaha membalas dendam, namun ada sesuatu yang lebih gelap dari itu yang mulai merasukinya. Dia merasa kehilangan kendali.
Keesokan harinya, Adrian mendekati teman-temannya, wajahnya pucat. "Aku tak terima dengan semua ini... aku tidak bisa melupakan ibu, aku harus mengakhirinya."
Teman-temannya menatapnya dengan cemas. Tiba-tiba, satu dari mereka, Victor, terjatuh ke lantai, darah mengalir deras dari lehernya. Adrian terkejut. "Victor!" teriaknya. Namun, sebelum dia bisa bergerak, Kate dan Damien juga jatuh, darah memenuhi seluruh ruangan.
Adrian berdiri terpaku, matanya terbelalak. Keheningan menyelimuti ruangan itu. Dan saat Adrian menoleh ke cermin, dia hanya melihat bayangannya sendiri, memegang pisau berlumuran darah. Wajahnya tercermin—wajah yang tidak dia kenali.
Misteri ini berlanjut. Dan mungkin, tidak ada yang akan pernah tahu siapa pembunuh sejatinya.