Aku selalu percaya bahwa pertemuan adalah suatu kebetulan. Namun, ketika aku bertemu denganmu, aku mulai meragukan keyakinan itu. Semua terasa begitu terencana, seolah alam semesta telah menyiapkan kita untuk berjumpa.
Kita bertemu di sebuah kafe kecil yang ramai, di antara suara cangkir yang beradu dan tawa orang-orang yang sibuk dengan dunia mereka. Aku sedang duduk di sudut, menatap secangkir kopi yang hampir habis, ketika kamu datang. Tanpa sengaja, langkahmu menyentuh langkahku, dan tanpa sengaja pula, matamu bertemu dengan mataku. Semua seakan berhenti sejenak, dan aku tahu, ada sesuatu yang berbeda.
“Aku minta maaf,” katamu sambil tersenyum malu.
Aku hanya mengangguk, meskipun di dalam hatiku ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu di antara kita yang muncul begitu saja, seolah waktu berhenti sejenak hanya untuk memperkenalkan kita.
Kamu duduk di meja sebelah, namun ada jarak yang tak terlihat di antara kita. Kamu dan aku, dua dunia yang mungkin sangat berbeda, namun entah kenapa, aku merasa kita bisa saling mengerti.
Hari demi hari, kita mulai berbicara. Tentang kehidupan, tentang impian, dan juga tentang luka yang masing-masing kita sembunyikan. Aku tahu kamu bukan orang sempurna, dan begitu juga aku. Ada banyak hal yang belum pernah aku ceritakan, banyak perasaan yang aku simpan jauh di dalam hati. Namun, di hadapanmu, aku merasa lebih mudah untuk berbagi. Seperti ada ruang aman di antara kita, sebuah ruang yang membebaskan aku untuk menjadi diri sendiri.
Namun, meskipun kita semakin dekat, ada satu hal yang mengganggu pikiran kita. "Di antara kita," kata itu seperti garis tipis yang membatasi kita. Kita belum pernah benar-benar menyeberanginya. Ada rasa takut yang tidak terucapkan, takut jika kita terlalu dekat, kita akan kehilangan sesuatu. Mungkin kebebasan kita. Mungkin kenyamanan kita sebagai dua orang yang saling mengenal, tapi tidak terikat.
“Aku tidak tahu, tapi aku merasa... ada yang berubah,” katamu suatu hari, saat kita duduk berdua di taman, menikmati angin sore yang sejuk.
Aku menatapmu, mencari jawaban dalam matamu yang penuh teka-teki. Kamu terus melanjutkan, “Ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi entah kenapa aku takut.”
Aku tersenyum, meski di dalam hati aku merasakan hal yang sama. “Aku juga merasa begitu,” jawabku pelan. “Ada sesuatu yang tak terucapkan, tapi aku takut untuk melangkah lebih jauh.”
Kita berdua diam sejenak, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di antara kita ada sebuah jurang yang tidak bisa dijembatani dengan kata-kata. Kita tahu ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan. Namun, kita juga tahu bahwa melewati batas itu mungkin akan mengubah segalanya.
“Aku ingin kita tetap seperti ini,” kataku akhirnya, dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.
Kamu menatapku, seolah mencoba membaca pikiranku. Lalu kamu mengangguk. "Aku pun ingin begitu," jawabmu, meskipun aku tahu, dalam hatimu, ada keraguan yang sama.
Kita tetap berjalan dalam ketidakpastian, tidak sepenuhnya bersama, namun tidak juga jauh. Di antara kita ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, sebuah kedekatan yang meski tidak terucapkan, tetap terasa. Kita tahu bahwa apapun yang terjadi, kita telah menemukan satu sama lain dalam cara yang berbeda.
Dan meskipun ada jarak di antara kita, aku tahu, kita selalu akan saling mengingat. Karena dalam setiap percakapan, dalam setiap tawa dan senyum, kita telah menulis kisah yang tak akan pernah terlupakan. Kita, aku dan kamu, dan segala yang ada di antara kita, adalah sesuatu yang tak bisa dipahami, namun terasa begitu nyata.