Di sudut kota yang ramai, di sebuah apartemen kecil yang tak pernah benar-benar melihat cahaya matahari secara penuh, tinggal seorang pria bernama Bara. Ia bukan seseorang yang mudah diajak bicara, apalagi bergaul. Baginya, dunia luar adalah kebisingan yang tak perlu, hiruk-pikuk yang melelahkan, dan manusia lain hanyalah gangguan dalam ketenangan yang ia ciptakan sendiri.
Sejak dulu, Bara lebih memilih dunia yang ia bentuk dalam kepalanya—dunia yang tenang, tanpa percakapan sia-sia, tanpa tawa yang mengganggu. Pekerjaannya sebagai desainer grafis lepas membuatnya nyaris tak perlu berinteraksi dengan siapa pun. Ia memesan makanan secara daring, membayar semua tagihannya melalui internet, dan hanya keluar ketika benar-benar terpaksa.
Namun, dunia ternyata tidak semudah itu dihindari.
Suatu pagi, ketika ia sedang asyik mendesain sebuah proyek untuk kliennya, suara ketukan di pintu mengganggunya. Bara mendengus kesal. Ia tak menunggu siapa pun, dan ia benci saat rutinitasnya terganggu. Dengan enggan, ia membuka pintu dan mendapati seorang anak kecil berdiri di sana.
"Mas, mau beli kue nggak? Ini buatan Ibu," kata bocah itu dengan senyum lebar.
Bara mengerutkan kening. "Aku nggak butuh kue."
Anak itu tidak langsung pergi. "Tapi enak, lho. Ibu bilang kue buatan kami bisa bikin hati lebih hangat."
"Aku nggak butuh hati yang hangat," jawab Bara dingin sebelum menutup pintu.
Hari itu berlalu seperti biasa. Namun, keesokan harinya, bocah itu datang lagi. Dan keesokan harinya lagi. Sampai pada hari keempat, Bara menyerah dan membeli sekotak kecil kue.
Saat ia mencicipinya di dalam apartemennya, ada sesuatu yang aneh—bukan karena rasanya yang luar biasa, tapi karena Bara menyadari sesuatu: sudah berapa lama sejak ia benar-benar berbicara dengan seseorang?
Beberapa hari kemudian, Bara mulai menyadari keberadaan dunia luar sedikit demi sedikit. Di sebuah kafe tempat ia membeli kopi untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia bertemu dengan Nadira—pemilik kafe yang entah bagaimana selalu tersenyum pada setiap pelanggan.
"Kamu pelanggan baru?" tanya Nadira saat menyerahkan kopi pesanan Bara.
Bara hanya mengangguk singkat.
"Aku belum pernah lihat kamu di sini sebelumnya. Biasanya pelanggan baru pasti tersesat dulu sebelum akhirnya datang ke kafe ini," katanya sambil tertawa kecil.
Bara tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia bukan tipe orang yang terbiasa mengobrol dengan orang asing. Namun, ada sesuatu dalam cara Nadira berbicara—seolah dunia ini bukan tempat yang buruk.
Hari-hari berlalu, dan Bara mulai sering mampir ke kafe itu. Ia masih tidak banyak bicara, tetapi ia mulai mendengarkan. Ia mulai memperhatikan. Ia mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, dunia tidak seburuk yang selama ini ia pikirkan.
Suatu sore, ketika hujan turun, Bara duduk di sudut kafe, memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Mereka berbicara, tertawa, menangis, dan berbagi cerita. Dulu, ia akan merasa terganggu oleh semua ini. Tapi sekarang, ia justru merasa... nyaman.
Ia mengeluarkan ponselnya dan menulis sesuatu di catatan pribadinya:
"Dunia ini tidak seburuk yang kupikirkan. Mungkin aku hanya terlalu takut untuk mengenalnya lebih dulu."
Saat ia menatap ke luar jendela, melihat hujan yang membasahi jalanan, Bara tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa ingin mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Hai, dunia."
Lihatlah.. dunia tidak seburuk itu;)