Drrrtttt...
Getaran handphone diatas meja makan membuat Feby mengernyit dahi. Pasalnya ada nomor tak dikenal yang menelponnya. Buru-buru saja Feby mengangkatnya.
"Hallo?" Tanya Feby namun tidak ada suara yang menjawab. "Siapa ya?" Masih tidak ada jawaban.
"Hiks.. hiks.. Ini bunda sayang..."
"BUNDA!" Feby bangkit dari duduknya saking ia sangat terkejut.
"Bunda apa kabar? Aku kangen bunda banget. Aku nungguin kabar dari bunda terus tau." Feby mulai meneteskan air mata. Bahkan rasa laparnya tidak lagi terasa dan makanannya tidak lagi terlihat selera ketika mendengar suara bundanya.
"Bunda juga kangen kamu banget sayang.. Bunda baik-baik aja kok. Kamu gimana? Kamu baik-baik aja kan?"
Feby mengangguk. Tanpa basa-basi ia menekan tombol vc untuk mengalihkan dari telepon ke videocall. Namun videocall darinya ditolak oleh bunda.
"Bunda ko ditolak? Aku pengen ngeliat bunda. Aku kangen banget." Pintanya memohon.
"Nanti ya sayang.. Bunda juga pengen ngeliat kamu. Tapi sekarang bunda mau kerja dulu. Uang yang bunda transfer ke kamu udah sampe kan?"
Feby mengangguk. "Iya bun, uang yang bunda kirim ke aku setiap 6 bulan sekali itu lebih dari cukup bun. Tapi jangan sampai bunda ngabarin aku juga setiap 6 bulan sekali dan dengan nomor yang ganti-ganti. Aku pengennya bunda ngabarin aku setiap hari bun."
"Bunda juga pengennya gitu sayang.. tapi nanti ya, kerjaan bunda banyak banget. Bunda cuman bisa ngabarin kamu dengan cara kayak gini."
Hembusan nafas panjang keluar dari bibir Feby. Alasannya itu lagi. Padahal alasannya sangat tidak masuk akal baginya. Lantas kenapa nomor bunda selalu ganti-ganti dan setiap kali dihubungi lagi nomornya sudah tidak aktif?
"Yaudah, jangan lupa bayaran sekolah ya nak, belanja dan jajan apapun yang kamu mau. Bunda tutup telponnya."
"Tapi bun.."
Telepon ditutup sepihak. Dan dengan cepat Feby menelpon kembali nomor itu tetapi sudah tidak aktif.
"Bunda..." Lirihnya.
Sudah dua tahun ia tidak pernah melihat bundanya karena bundanya bekerja. Ia hanya mendapat uang dan telpon dari bundanya setiap 6 bulan sekali. Sejak itu pula ia mulai hidup mandiri sendiri. Awalnya ia dititipkan kepada tetangga selama beberapa bulan, namun karena ia tidak betah akhirnya ia memutuskan untuk tinggal sendiri saja.
*****
"Lo mau coba lagi?" Tanya Abid pada Feby.
Feby lagi-lagi memberikan nomor telepon untuk dilacak keberadaan lokasi nomor ini.
"Gue bakal terus cari tau kemana bunda gue pergi. Gue pengen tinggal sama dia Bid."
Abid menghembuskan nafas pelan. Setengah tahun lalu Abid telah mencobanya namun nihil, lokasi nomor itu tidak ditemukan. Dan kali ini ia harus mencobanya lagi.
"Oke, gue coba." Ujar Abid. Ia menyalakan komputernya kemudian mengetik sesuatu yang tidak dimengerti oleh Feby.
Kemudian laki-laki berambut hitam legam itu memasukkan nomor telepon yang diberikan Feby.
"DAPAT!" Seru Abid ketika tidak percaya bahwa kali ini ia berhasil menemukan lokasi bundanya Feby.
Feby langsung menongok ke monitor. Kepalanya sampai menghalangi pandangan Abid.
"Ish nanti dulu dong!" Abid menggeser pelan kepala Feby.
Feby kemudian berbalik dan menatap Abid. "Serius ini dapet?" Tanyanya.
Abid gugup karena merasa jarak diantara mereka begitu dekat. "Iya tar dulu geh, lo awas dulu nih gue belum selesai."
Feby kembali pada posisi semula yaitu berdiri di belakang laki-laki itu dan memperhatikan setiap kata yang laki-laki itu masukan ke monitor.
Tak lama monitor menampilkan sebuah maps. Jujur Feby sama sekali tidak mengerti maps, ia lalu memperhatikan ekspresi wajah Abid yang begitu serius.
"Lo yakin mau nyamperin bunda lo?" Tanya laki-laki itu sambil melirik Feby.
"Yaiyalah, ngapain gue minta bantuan lo segininya kan? Emangnya kenapa sih?" Geram Feby.
"Sorry, maksud gue lokasi nomornya jauh banget Feb. Bunda lo ada di kota." Tutur Abid menunjuk arah panah di maps.
"Gapapa, kirim lokasinya ke hp gue!"
"Gue bakal kirim, tapi gue harus ikut." Ucap Abid serius.
"Udah cukup gue ngerepotin elu, sekarang gue mau berusaha sendiri."
"Oke, kalo gak mau gue gak bakal kirim."
"Dih?"
"Gimana?"
"Yaudah lo boleh ikut gue, lagian gue gak tau maps juga."
"Oke, udah gue kirim. Mau berangkat kapan?"
"Sekarang!"
*****
Motor Vario milik Abid melaju cepat, mengikuti petunjuk arah maps.
Diperjalanan mereka sesekali mampir ke tempat makan atau mushola untuk sekedar beristirahat dan beribadah.
"Feb, lo tau gak fungsinya gue nganterin lo apaan?"
Feby meminum wedang jahe miliknya. Kini mereka sedang berada di angkringan untuk sekedar menghangatkan tubuh untuk menghadapi perjalanan malam. "Buat ngejagain gue kan?"
Abid mengangguk. "Itu salah satunya."
gadis mungil itu mengernyitkan dahinya. "Gue juga gak bisa baca maps sih, tapi gue bisa naik grab. Terus selain itu apaan?" Tanya Feby penasaran.
"Nanti juga lo tau. Yuk otw! Bentar lagi sampe."
Feby memejamkan matanya sejenak. "Bunda, bentar lagi kita ketemu. Aku kangen banget sama bunda."
Mereka melaju kembali. Satu jam kurang kemudian mereka sampai di sebuah.....
"Ini tempatnya?" Tanya Feby.
"Dari maps sih lokasi nomor telepon itu disini." Jawab Abid memperhatikan raut wajah sahabatnya ini yang mulai cemas.
"Gak mungkin kan bunda gue... pel*cur?"
Abid menggelengkan kepalanya pertanda bahwa ia tidak tau. "Kalau mau cari tau, kita harus masuk."
Dengan ragu Feby menggenggam erat tangan Abid dan mereka melangkah masuk ke tempat itu.
Dentuman musik DJ yang memekakkan telinga menyambut mereka. Berbagai macam manusia yang tengah mabuk memenuhi tempat itu.
Mata Feby memanas kala melihat sosok yang ia rindukan berada dengan jarak beberapa meter darinya. Hanya saja, itu bukan seperti bundanya.
Wanita itu tengah mabuk dengan tiga orang om-om. Pakaiannya terbuka sekali, hanya mengenakan dress mini diatas lutut warna marun.
"BUNDA!" Teriak Feby sambil menghampiri bunda.
Wanita itu terkejut bukan main, membuat ketiga laki-laki yang ia hibur keheranan. Wanita itu langsung bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Feby.
"Kamu ngapain disini?" Tanya bunda.
"Bunda aku kangen. Bunda ayo pulang, bunda gak inget sama almarhum papa? Kenapa bunda kerja kayak gini?" Feby menangis sesegukan.
"Ayo ikut bunda." Bunda menarik tangan anaknya kearah luar bar.
Sesampainya diluar gedung itu...
"Ini kerjaan buda Feby. Bunda biayain kamu dari hasil jerih payah bunda! Kamu gak boleh protes apapun pekerjaan bunda. Kamu hidup karena bunda kerja seperti ini nak!"
"Tapi bunda, ini semua haram!"
"Tau apa kamu soal haram hah? Kamu gak bisa hidup seperti sekarang kalau bunda gak kayak gini."
Perdebatan terjadi antara anak dan ibu. Abid hanya bisa memperhatikan dari jarak jauh. Ia tidak mau ikut campur urusan keluarga orang lain. Ia hanya akan menunggu apakah Feby akan pulang bersama bundanya, atau berdua saja dengannya. Hanya itu. Ia tau sekarang, betapa hancurnya Feby ketika mengetahui pekerjaan bundanya. Tapi lebih sakit lagi kalau ia tidak pernah tau sama sekali keadaan bundanya saat ini kan?
"Bun.. Aku udah besar bun, sebentar lagi aku lulus sekolah. Kita bisa cari pekerjaan bareng-bareng. Bunda gak harus kayak gini."
Bunda meneteskan air mata.
"Apa papa bakalan seneng di alam sana kalau liat bunda kayak gini?" Feby menggeleng. "Engga bun!"
"Uangku dari hasil menang lomba Olimpiade udah cukup bun buat biayain sekolah aku. Aku juga buka konter kecil-kecilan bareng Abid. Bunda gak perlu kayak gini ya bun... tinggalin kerjaan haram ini. Ayo pulang sama aku! Kita masih bisa buka usaha bareng dirumah."
Bunda memegangi kedua pundak Feby. "Bunda udah kotor banget Feb. Bunda udah kotor." Lirihnya.
"Engga bunda. Bunda tetep jadi bunda aku yang terbaik!"
Bunda terharu mendengar perkataan anaknya. Meskipun anaknya sudah tau pekerjaan kotornya, tetapi anaknya masih mau menerimanya dengan baik.
"Pulang yah bun.. tinggalin semua ini."
Bunda kemudian mengangguk. "Bunda urus semuanya sebentar. Kamu bisa tunggu sama Abid dulu."
Feby tersenyum senang dan mengangguk. "Makasih bun udah mau dengerin aku."
*****
Dua jam menunggu akhirnya bunda keluar tempat itu dengan sebuah koper besar di tangannya dan menghampiri anaknya.
"Feby sama bunda naik grab aja, udah aku pesenin. Aku biar sendiri naik motor." Ujar Abid.
"Makasih banyak ya Bid, lo sahabat terbaik gue." Feby memeluk Abid.
Abid menepuk-nepuk pelan punggung gadis itu. "Chill aja Feb."
"Makasih ya Abid udah anter Feby jemput bunda." Bunda berterimakasih.
Abid membalas dengan senyuman. "Sama-sama. Aku duluan ya! 10 menit lagi grabnya sampai."
"Hati-hati.." Jawab Feby dan Bunda.
Akhirnya Feby berhasil mencari dan membawa bundanya pulang meskipun ada sedikit perdebatan diantara mereka.
*****
TAMAT..