Pukul 23.00 Kanina akhirnya melepaskan apron yang dia pakai. Senyumnya terkembang. Rasa lelah yang sedari tadi hadir kini menghilang ketika membayangkan bahwa setelah ini dia bisa bersantai di kosan dan berbaring nyaman sebelum kembali pada rutinitas besok.
Sekilas tatapannya berpendar ke sekeliling ruangan. Masih cukup ramai diisi pelanggan, terutama para pria.
Lalu dia menoleh pada salah satu pelayan kafe yang ada bersamanya. Senyumnya menyungging. "Mbak Rani, aku pulang ya! Shift ku udah selesai," Pamitnya pada rekan kerjanya itu.
Mbak Rani, wanita berusia 2 tahun diatasnya itu mengangguk. "Iya, Kanin," ujarnya. Tatapannya terus tertuju pada Kanina yang mulai membereskan barang-barangnya. "Padahal kamu ini cantik banget loh, Nin, masa belum ada pacar sih?" Ujarnya tiba-tiba.
Kanina menoleh dengan ekspresi heran. Tidak menyangka dia tiba-tiba membahas hal itu. Tapi akhirnya dia tertawa pelan dengan perkataan Rani. "Udah bukan waktuku untuk pacaran lagi mbak, Mbak aja udah mau nikah, aku juga udah mau 27 loh mbak, bukan lagi anak SMA yang pacar-pacaran, kalo emang ada yang mau serius ya langsung nikah," balas Kanina santai.
Rani mengangguk-angguk. "Oh, berarti kalo ada yang ngajak nikah langsung kamu terima dong?" Katanya. Lalu secepatnya suara Rani berubah ramah pada pelanggannya.
"Mau pesen apa, mas?"
"Saya mau...," balas seorang pria.
Kanina menoleh pada Rani yang sibuk membuat pesanan. Dia reflek tertawa. "Mungkin?" ucapnya bercanda. "Udah ya, mbak, aku pulang duluan."
"Iyaa, yaudah hati-hati kamu, Nin."
"Santai, mbak. Rumah ku deket sini kok," lantas Kanina keluar dari balik konter dan berjalan menuju pintu kafe.
Dia tidak gentar sekalipun ditatap terang-terangan. Karena ini merupakan hal biasa bagi seorang kasir kafe sepertinya yang langsung bertatap muka dengan banyak orang. Gerak-geriknya selalu diperhatikan. Dan Kanina tidak ada masalah apapun selagi mereka tidak mengganggunya dengan kontak fisik.
Kanina kebal dengan segala rayuan buaya. Ada sekitar sepuluh orang pelayan di kafe tempatnya bekerja, enam diantaranya adalah perempuan. Dan mereka semua mendapatkan hal yang sama. Mereka sering dilontarkan gombalan seperti "Mbaknya cantik banget, boleh kenalan nggak?" atau "Mbak, boleh minta kontaknya? Saya tertarik sama mbak," yang untungnya selalu berhasil Kanina berikan penolakan dengan halus.
Saat Kanina hendak membuka pintu kafe, dia lebih dulu dibuat terkejut dengan tangan seseorang yang mendahului pergerakannya. Kanina menoleh dan menemukan senyum dari seorang pria asing yang tidak pernah dia lihat. Atau mungkin pernah dan Kanina hanya lupa?
"Silahkan, mbak," ucapnya.
Pria itu memakai kaos hitam dengan celana jeans panjang. Tangannya memegang satu cup minuman. Kanina hanya mengangguk dan memberikan senyum tipis. Bersikap sopan. "Terimakasih, Mas," ucapnya lalu berjalan melewati pria itu.
"Rumah mbaknya dimana? Mau saya antar?" Kata pria itu ketika Kanina melewatinya.
Kanina diam saja. "Saya gak keberatan kalo mbaknya mau dianterin," kata pria itu lagi masih mempertahankan senyumnya.
Kanina akhirnya menoleh dengan senyum yang dipaksakan. "Gak usah, Mas. Rumah saya didekat sini,"
"Ya gapapa mbak, biar saya anterin. Bahaya loh cewek cantik jalan malem malem sendirian," ujarnya yang tak dihiraukan oleh Kanina.
"Mbak, boleh kita kenalan dulu?" Dia menghadang langkah Kanina yang terus menghiraukannya.
Kanina menghela nafas pelan. "Saya Kanina, Mas," tapi dia tetap memperkenalkan diri. Sejujurnya Kanina lelah.
"Hallo, mbak Kanin," sapa pria itu dengan senyum lebar karena berhasil membuat Kanina bicara. Dia tampan. "Saya Arthur," ucapnya dan Kanina hanya mengangguk.
"Saya boleh minta kontak mbak Kanin?"
"Buat apa, Mas?" Kanina menatap pria dihadapannya.
"Saya suka sama mbak Kanin," ujarnya to the point.
Mata Kanina membulat. Cukup terkejut dengan hal itu. Tapi sebisa mungkin dia bersikap santai. Tapi eskpresinya itu sempat tertangkap mata Arthur yang seketika menahan gemas. Sedari tadi dia memang tidak bisa mengalihkan pandanganya dari wajah perempuan dihadapannya.
"Lalu?" Balasan Kanina terlampau cuek.
"Mbak gak mau coba sama saya?" Godanya. "Saya ganteng loh, mbak,"
"Ganteng doang percuma mas," kata Kanina.
Pria itu menaikkan alisnya. Tampak tertantang. "Lalu kamu butuh apalagi, mbak?" Ujarnya dengan suara lembut.
Dengan tegas Kanina menggeleng. Dia mendekat. "Kamu tau berapa umur saya, Mas?" Tanya Kanina
Arthur menunduk untuk menatap wanita didepannya dengan menggoda. "Yang jelas udah legal kan mbak?" Katanya. Dia jelas terang-terangan menatap tubuh Kanina dari atas kebawah. Cantik juga sangat menggoda.
Kanina lebih pendek darinya, wajahnya terlihat jutek, tapi justru hal itu membuatnya tampak sangat mempesona dimata Arthur. Dan tidak munafik, Kanina memang sangat menarik.
Sedangkan Kanina menghela nafas. Sikap pria didepannya masih tampak senang bermain-main. "Saya pasti lebih tua dari kamu, Mas. Saya udah 27 tahun, gak ada waktu buat main-main sama Masnya," kata Kanina hendak kembali melangkah tapi suara Arthur kembali menahannya.
"Loh, yang mau main-main siapa, mbak Kanin?" Tanyanya dengan senyum lebar. Suaranya ketika menyebut nama Kanina terdengar sangat manis. "Meskipun kamu lebih tua dari saya, itu gak masalah. Saya serius sama kamu, saya juga sudah sangat mampu ngasih nafkah untuk kamu," ujarnya
Kanina memejamkan mata sebentar. Lantas tersenyum tipis. "Bicara memang mudah, Mas. Tapi aksi lebih penting. Selamat malam," kata Kanina dan tidak mau lagi menghiraukan perkataan pria itu.
"Saya serius, Kanin. Kamu menunggu aksi kan? Maka jangan kabur kalo dalam waktu dekat saya datang untuk melamar kamu!" Ujarnya lantang
Kanina tidak menoleh sama sekali. Dari belakang wanita itu, tatapan Arthur terlihat intens. Dia menyeringai.
"Saya tidak pernah main-main, Kanina,"
****
Dua Minggu telah berlalu setelah pertemuan Kanina dengan Arthur. Memang Kanina sempat kepikiran dan takut dengan perkataan pria itu, tapi akhirnya tidak terbukti kan? Jadi dia kembali bekerja dengan santai.
Seperti itulah seorang laki-laki, dia hanya berani berucap. Tapi aksi? Nol. Karena itu Kanina tidak pernah mudah dirayu.
Tapi memang cukup diakui, bahwa Arthur menjadi salah satu laki-laki berkesan yang pernah mendekatinya. Kalian tau? Dia memasukkan sebuah kartu Atm pada tas Kanina. Kanina bahkan tidak sadar kapan dia melakukannya.
Hal yang membuat Kanina masih terus kepikiran pria itu untuk mengembalikan kartunya. Ya tentu, siapa yang tidak pusing jika dititipi sebuah kartu yang mungkin isinya tidak pernah bisa Kanina bayangkan.
"Permisi mbak," sapaan itu membuat Kanina yang sedang menunduk menatap kartu ditangannya seketika kaget dan reflek memasukkan kartu tersebut ke dalam tas.
Saat mendongak dia akhirnya menghembuskan nafas lega. Senang karena penantiannya berakhir. "Mas," panggilnya.
"Kenapa, mbak?" Arthur tampak sangat senang menatap Kanina.
Arthur tidak keberatan dipanggil mas, tapi kalau boleh request dia mau memanggil Kanina dengan sebutan sayang? Itu lebih terdengar cocok.
"Kamu meninggalkan kartu atm di tas saya?" Tanya Kanina
Arthur menahan senyum. Kanina benar-benar lucu. "Kalau saya jawab bukan?"
Kanina menghela nafasnya. "Saya serius, Mas,"
"Kamu tau nama saya kan, mbak Kanin?" Tanya Arthur
"Mas, saya mau kembaliin kartu kamu," balas Kanina
"Kenapa kamu yakin itu kartu saya kalo kamu aja gatau nama saya?" Tatapan Arthur menantang untuk membuat Kanina ikut menatapnya.
"Mas Arthur," panggil Kanina akhirnya
"Ya, saya---," Arthur hampir keceplosan. Dia hanya tertawa pada eskpresi Kanina yang masih tampak datar. "Ya, Kanin?"
"Ini kartu kamu," Kanina menyodorkan kartu tersebut.
Arthur menggeleng. "Kamu bisa pegang itu mulai sekarang,"
Kanina mengernyit. "Mas?"
"Kamu butuh aksi kan, mbak Kanin? Itu aksi dari saya. Kartu itu sebagai salah satu tanda serius saya, pin nya adalah *****," ucap Arthur
Kanina menggeleng cepat. "Gak mau, Mas,"
"Loh, kenapa?" Arthur tidak bisa menahan tawanya melihat wajah panik Kanina.
"Saya waktu itu dengar seseorang yang bilang kalo ada yang mau melamar bakal langsung dia terima," kata Arthur
Kanina tidak senang. "Kamu menguping?"
"Tidak sengaja dengar," balas Arthur menyebalkan.
"Saya kira kamu bercanda," kata Kanina berusaha santai padahal jantungn sudah berdebar.
"Saya gak pernah bercanda tentang kamu, Kanin," kata Arthur
Kanina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu hilang dua Minggu," kata Kanina memberikan alasan yang membuatnya berpikir jika Arthur hanya main-main.
"Jadi kamu mencari saya?"
"Enggak! Saat cuma gak nyaman pegang kartu kamu," kata Kanina
"Artinya kamu mikirin saya, kan?" Goda Arthur
Kanina tampak kesal. "Kamu---,"
"Mbak, saya mau pesan...," potong Arthur lebih dulu. Dia kembali menahan tawanya melihat wajah bingung Kanina.
"Hah? Oh iya tunggu sebentar Mas," dan disela waktu itu Arthur sibuk memperhatikan wanita dibalik konter itu. Dia yakin untuk menjadikan Kanina miliknya.
Arthur menoleh ke belakang, menatap orang-orang dibelakangnya yang sudah standby.
"Saya udah dapat restu dari orang tua kamu," kata Arthur tiba-tiba.
Kanina terkejut, dia bahkan hampir menjatuhkan cangkir yang dipegangnya. Tapi dia berusaha abai.
"Kalo saya melamar kamu sekarang gimana, Kanin?"
Kali ini Kanina meletakkan pesanan pria itu dengan sedikit kasar. "Saya gak main-main Arthur,"
"Kamu tau kan? Usia saya---,"
"Saya tau. Kamu sudah 27 tahun, kamu udah bilang itu dua Minggu lalu. Dan saya juga sudah 26 tahun, Kanin. Tidak masalah kamu lebih tua, yang penting saya yakin bahwa kamu gak akan rugi sama saya. Saya bisa memenuhi semua kebutuhan kamu," kata Arthur serius.
"Will you marry me, Kanina?" Tanya Arthur tiba-tiba
Kanina tidak bisa menjawab. Suaranya tercekat. Apalagi Arthur sambil menyodorkan cincin ke hadapannya.
"Kamu... serius?"
"Saya udah bilang tadi, saya bahkan udah dapet restu orang tua kamu," suara Arthur terdengar sangat santai menikmati wajah Kanina yang ekspresinya kebingungan.
Lantas disela-sela diamnya Kanina, Arthur mengajak Kanina keluar dari balik konter. Kanina masih tampak kebingungan sampai tubuhnya dibawa Arthur ke tengah-tengah orang disana. Pria itu berjongkok.
"Saya mungkin baru mengenal kamu selama dua Minggu, tapi saya serius Kanina. Saya menyukai kamu, seperti kata kamu, kita berdua bukan anak SMA lagi yang harus pacar-pacaran dan main-main dalam hubungan. Saya mau kamu menjadi istri saya,"
"So, will you marry me, Kanina?"
Dan Kanina tidak bisa menolak saat menatap ayah dan ibunya yang tersenyum melambaikan tangan dengan ekspresi bahagia melihat anaknya dilamar.
"Yes, i will!" Ujarnya senang. Untuk pertama kalinya ada orang yang berani menunjukkan aksi padanya, setelah Kanina mendapatkan semua godaan dan rayuan pria yang hanya omong kosong.
Arthur justru menunjukkan pada Kanina bahwa tidak semua pria hanya bisa berbicara. Arthur telah membuktikan bahwa ada yang benar-benar berani mengambil langkah nyata. Mungkin, inilah saatnya Kanina percaya dan menerima cinta.
Dengan reflek Arthur berdiri dan memeluk wanita itu. Dia sudah memperhatikan Kanina selama beberapa Minggu. Berawal dari ajakan temannya yang nongkrong disebuah Kafe lantas Arthur tertarik sejak melihat Kanina.
"Good job, man!" Seruan teman-temannya yang selama ini mendukung Arthur untuk mengawasi Kanina.
Arthur senang karena akhirnya dia berhasil melamar seorang perempuan yang sudah dia perhatian dan kagumi sejak setahun terakhir. Kanina salah, dia bukan lakilk. Dia seorang pria. Dan pria tidak hanya mampu berbicara. Tapi dia mampu mempertanggung jawabkan perkataannya.