Pagi itu, langit terlihat cerah dengan semburat jingga yang perlahan menyebar di ufuk timur. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu rumah kecil mereka, memandang sang matahari yang baru terbit. Ia mengenakan gaun sederhana, dengan rambut yang sudah banyak ditumbuhi uban. Di sampingnya, seorang anak perempuan berusia lima belas tahun, dengan rambut hitam panjang tergerai, berdiri mematung, menatap pemandangan yang sama.
“Ibu, apa yang membuat langit bisa secerah ini?” tanya Dira, anak perempuan itu.
Senyum ibu mengembang. “Langit selalu memberi harapan, sayang. Setiap pagi, ia berjanji untuk tetap bersinar meski dunia kadang terasa kelam.”
Dira menunduk, matanya meredup. “Tapi, kenapa kadang aku merasa lelah, Bu? Aku ingin seperti langit yang selalu cerah, tapi aku merasa tak bisa.”
Ibu mendekat, mengelus rambut Dira dengan lembut. “Tak ada yang sempurna, Dira. Langit pun tak selalu cerah. Kadang ia tertutup awan, kadang hujan turun. Tapi percayalah, setelah hujan ada pelangi. Hidup ini juga begitu, kadang kita perlu melewati badai untuk menemukan keindahannya.”
Dira menggigit bibirnya, merasa ada beban yang berat di dadanya. “Aku takut, Bu. Takut gagal, takut tak bisa membuatmu bangga.”
Ibu tersenyum, memandang mata Dira dengan penuh kasih sayang. “Dira, kamu sudah membuatku bangga sejak pertama kali aku menggendongmu. Setiap langkah yang kamu ambil, setiap usaha yang kamu lakukan, sudah cukup berarti. Jangan takut gagal, karena kegagalan bukanlah akhir. Itu adalah bagian dari proses untuk menjadi lebih kuat.”
Dira terdiam, menyerap setiap kata yang keluar dari bibir ibunya. Meskipun kata-kata itu terasa seperti angin sepoi-sepoi, mereka membawa ketenangan yang mendalam.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Bu,” ujar Dira pelan, hampir berbisik.
Ibu mengangguk dengan bijak. “Tak perlu tahu semuanya sekarang. Hidup ini adalah perjalanan, bukan tujuan. Dan dalam perjalanan itu, aku akan selalu ada di sini, menemanimu.”
Dira menatap ibunya dengan mata yang mulai berbinar. “Aku ingin menjadi seperti ibu, yang selalu kuat dan penuh harapan.”
Ibu tertawa lembut. “Kamu sudah seperti ibu, Dira. Kamu punya kekuatan yang sama, hanya saja kamu belum menyadarinya.”
Dira menggenggam tangan ibunya, merasakan kehangatannya yang memberi rasa aman. “Terima kasih, Bu. Aku akan berusaha lebih keras.”
Ibu menatapnya, mata mereka bertemu dengan penuh kasih sayang. “Tidak perlu berusaha lebih keras, Dira. Cukup berusaha dengan tulus. Itu yang akan membuatmu tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa.”
Langit semakin cerah, matahari kini memancarkan sinarnya yang hangat. Dira dan ibunya berdiri bersama, menyaksikan dunia yang terbangun dengan keindahan yang sederhana. Dalam hening, mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan saling mendukung. Karena cinta seorang ibu, seperti langit yang tak pernah berhenti memberi cahaya, akan selalu ada, memberi harapan meski dalam badai.
“Ibu, aku akan ingat kata-katamu. Setiap hari, aku akan mencoba melihat langit, dan ingat bahwa setiap langkahku, seperti matahari yang terus terbit.”
Ibu mengangguk, senyum tulus terukir di wajahnya. “Aku tahu kamu bisa, Dira. Aku percaya padamu.”
Dan di bawah langit yang semakin cerah itu, Dira merasa lebih ringan. Sebuah perjalanan baru akan dimulai, dan ia tahu, apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah sendirian.