Ketimpangan, sebuah kekosongan yang lahir dari hasrat yang tak pernah padam. Manusia, sebagai makhluk beremosi, sering terjebak dalam ilusi: mengejar apa yang tidak mereka miliki, sembari lupa menghargai apa yang sudah ada di genggaman. Kehidupan, seperti aliran sungai, mengubah segalanya.
Dulu, manusia hidup dalam siklus perburuan. Mereka berpindah, mengikuti jejak makanan. Namun, dengan hadirnya pemikiran, segala sesuatu berubah. Dari berpindah-pindah ke bertani, dari bertani ke industri, hingga kini, era modern yang penuh inovasi. Hidup terus melaju tanpa jeda, waktu yang dulu terasa lambat kini semakin cepat. Sewaktu kecil, bermain dan belajar membuat kita merasa waktu begitu panjang. Tapi kini? Segalanya menjadi rutinitas. Kita tahu lebih banyak, tetapi kehilangan rasa takjub.
Manusia terperangkap dalam ambisi: mendamba sesuatu yang belum tentu menjadi kebutuhan. Dunia tidak bekerja dengan logika hitam putih. Apa yang dianggap baik, belum tentu benar-benar baik. Kita lupa bagaimana menikmati hidup; sebagian besar hanya melihat hidup sebagai daftar keinginan tanpa akhir.
Dari sudut pandang lain, seseorang mungkin berpikir, "Bagaimana menikmati hidup jika tak bisa mendapatkan apa yang diinginkan?" Namun, tidak ada yang salah. Hidup adalah kumpulan pilihan, perspektif, dan pengalaman. Setiap orang punya jalan, cerita, dan alasan masing-masing.
Membaca buku, menelusuri kata demi kata, menyadarkan kita bahwa hidup tidaklah sederhana. Kita berjalan dengan kenangan, emosi, dan cobaan masing-masing. Dari masa lalu hingga kini, satu hal yang tidak berubah adalah emosi manusia. Sedih, bahagia, gairah, hasrat—semuanya menggerakkan dunia.
Peter Thiel menulis, "Yang membuat dunia berjalan bukanlah keserakahan, melainkan rasa ingin bersaing." Persaingan, seperti tarian tanpa akhir, membawa manusia menciptakan hal-hal menakjubkan. Di era modern, inovasi lahir dari keinginan untuk lebih baik, lebih cepat, lebih unggul.
Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, kita lupa untuk bertanya: *Apa yang benar-benar ingin kita cari?*
Antara Suka dan Ingin
Kebiasaan lahir dari banyak hal—keinginan, gairah, bahkan pelarian. Seringkali, apa yang kita lakukan bukan karena cinta, tetapi karena ingin mencoba, lalu terjebak. Saya pernah berada di situasi itu: hampir menjadi pecandu rokok di usia 13 tahun. Saat itu, saya tidak menikmatinya, tetapi rasa ingin mencoba menguasai segalanya. Ada sensasi, seperti dilantik menjadi perwira yang dielu-elukan.
Namun, saya berhenti. Bukan karena kekuatan diri, melainkan karena teman, tujuan bersama, dan keinginan untuk menjadi lebih baik.
Hidup adalah perjalanan menemukan sesuatu—entah itu kebahagiaan, makna, atau bahkan sekadar jeda. Di setiap persimpangan, kita memutuskan: akan menjadi apa?
Sesuatu itu bukan tujuan, tetapi perjalanan itu sendiri.