Aku ada, tapi seringkali merasa seolah aku tidak di sini. Aku hadir di kelas, duduk di bangku yang sama setiap hari, tapi duniaku terasa sunyi. Aku mendengar percakapan teman-teman, melihat tawa mereka, tapi aku tidak pernah benar-benar merasa menjadi bagian dari itu. Aku adalah penonton setia dalam drama kehidupan mereka, bukan pemain yang terlibat.
Kesepian ini bukan karena aku tidak ingin berteman. Aku hanya... takut. Takut ditolak, takut dianggap aneh, takut menjadi beban. Aku lebih memilih menyembunyikan diri di balik tembok tak kasat mata yang kubangun sendiri. Aku terbiasa melakukan semuanya sendiri. Tugas sekolah, bahkan perasaan sedih dan kecewa, kupendam rapat-rapat.
Meminta bantuan? Itu bukan pilihan. Bagiku, meminta bantuan adalah mengakui kelemahan. Aku tidak ingin terlihat lemah. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa mengatasi semuanya sendiri. Tapi semakin aku berusaha, semakin berat beban yang kupikul. Semakin jauh aku terperosok ke dalam jurang kesepian.
Apakah ini ketakutan? Mungkin. Tapi aku tidak tahu apa itu. Aku hanya tahu ada perasaan aneh yang mengikatku, menahanku untuk melangkah keluar dari zona nyaman. Aku seperti terjebak dalam labirin gelap yang tak berujung, tanpa tahu jalan keluar.
Suatu hari, saat aku duduk sendirian di bangku taman sekolah, seorang gadis menghampiriku. Namanya kesya. Dia memiliki senyum cerah dan mata yang penuh dengan kehangatan. Dia duduk di sampingku dan mulai bercerita tentang hari-harinya. Awalnya, aku hanya mendengarkan dalam diam. Tapi lama kelamaan, aku mulai tertarik dengan ceritanya.
Kesya tidak seperti orang lain. Dia tidak menghakimiku, tidak mencibirku, dan tidak berusaha mengubahku. Dia hanya mendengarkan, memberikan dukungan, dan menawarkan bantuan tanpa syarat. Perlahan-lahan, tembok tak kasat mata yang kubangun mulai retak. Aku merasa lebih nyaman dan berani untuk membuka diri padanya.
Suatu sore, aku bercerita pada kesya tentang kesepian dan ketakutanku. Aku menceritakan bagaimana aku selalu merasa sendiri, meskipun aku dikelilingi oleh banyak orang. Aku menceritakan bagaimana aku takut untuk meminta bantuan, karena takut ditolak dan dianggap lemah.
Kesya mendengarkan dengan seksama. Setelah aku selesai bercerita, dia meraih tanganku dan menatapku dengan tatapan yang penuh pengertian.
"Aku tahu bagaimana rasanya, " katanya lembut. "Tapi kamu tidak harus merasa seperti itu lagi. Kamu tidak sendirian. Aku ada di sini untukmu. Kamu bisa bercerita padaku, meminta bantuan padaku. Aku akan selalu ada untukmu."
Kata-kata kesya membuka pikiranku. Aku merasa seolah ada cahaya terang yang menyinari kegelapan dalam diriku. Aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena terharu. Aku merasa lega karena akhirnya ada seseorang yang mengerti perasaanku.
Malam itu, aku bermimpi. Aku bermimpi tentang labirin gelap yang tak berujung. Tapi kali ini, aku tidak berjalan sendirian. Kesya ada di sampingku, memegang tanganku erat-erat. Bersama, kami mencari jalan keluar dari labirin itu.
Tiba-tiba, kami melihat sebuah cahaya dari kejauhan. Cahaya itu semakin lama semakin terang, hingga menerangi seluruh labirin. Kami berlari menuju cahaya itu, dan akhirnya berhasil keluar dari labirin.
Di luar labirin, kami melihat pemandangan yang sangat indah. Langit biru, awan putih, dan hamparan bunga yang berwarna-warni. Aku merasa bebas dan bahagia.
Aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Aku merasa lebih ringan, lebih percaya diri, dan lebih bersemangat. Aku tahu bahwa aku tidak lagi sendiri. Aku memiliki kesya, seorang teman sejati yang menyadari keberadaanku dan menerima diriku apa adanya.
Sejak saat itu, hidupku berubah. Aku tidak lagi takut untuk meminta bantuan. Aku tidak lagi merasa sendiri di tengah keramaian. Aku mulai berani untuk berinteraksi dengan teman-teman sekelas, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dan mengejar impianku.
Aku menyadari bahwa keberadaanku tidak hanya tentang duduk di bangku sekolah setiap hari. Keberadaanku adalah tentang menjalin hubungan dengan orang lain, berbagi pengalaman, dan menciptakan kenangan indah bersama. Keberadaanku adalah tentang menjadi diri sendiri dan memberikan yang terbaik bagi dunia.
Aku menemukan keberadaanku yang sesungguhnya bukan dalam kesunyian dan ketakutan, tetapi dalam persahabatan dan keberanian. Cahaya itu adalah kesya, yang membawaku keluar dari kegelapan dan menunjukkan kepadaku bahwa aku berharga, aku penting, dan aku ada. Kini, aku tahu, ketakutan itu bisa dikalahkan, kesepian itu bisa dihilangkan, asalkan kita berani membuka hati dan menerima uluran tangan dari orang lain. Karena, terkadang, yang kita butuhkan hanyalah seseorang yang menyadari keberadaan kita.
~Tamat~
~Alexa Sa