Sranger Than Fiction
Author: Frozen Heart
Romantis
Di bawah langit mendung, sekolah itu seakan akan menjadi tempat yang penuh dengan bayang bayang kesepian, Farrel seorang pemuda berambut merah cerah dan selalu dianggap hanyalah cat, mata berwarna merah dan biru tengah berjalan pelan di lorong sekolah.
Di sekelilingnya banyak sekali murid sedang berdiri tapi entah kenapa dia merasa di sana sangat sepi, bahkan setiap langkah kaki Farrel seperti di bayangi oleh tatapan sinis oleh teman temannya, semua orang mengolok olok penampilannya karena memiliki warna mata berbeda dengan dua warna yang terasa seperti kontras.
Namun Farrel tak pernah memilih untuk di lahirkan seperti itu, walau dia ingin mengubahnya tapi seakan hal itu tak bisa di lakukan, warna rambut merahnya seakan menyala di tengah hari mendung itu seakan menjadi sangat mencolok serta mencuri perhatian orang walau bukan dalam hal baik.
Setelah beberapa langkah berjalan, Farrel akhirnya sampai di depan kelasnya yaitu 2-D, dia memandang sekeliling agar tidak bertemu dengan orang yang paling ingin dia hindari yaitu seorang pemuda berandalan bernama Reza, dia suka sekali memalak dan minta agar tugasnya di kerjakan.
Tapi semua rasa takutnya seakan menjadi kenyataan, karena di balik pintu Reza tengah duduk di atas meja sambil sesekali mengoyangkan kakinya dengan santai, merasa seperti sedang berada di rumah sendiri, dia terlihat mengintimidasi bahkan hanya dengan lirikan mata saja.
"Oi, kamu gak lupa kan pagi ini harus ngapain." suara Reza memecah keheningan kelas 2-D tersebut, tak ada yang berani menantang atau bahkan menatap wajahnya. "Pajak minggu ini 50 ribu."
Sontak Farrel terdiam karena uang jajan yang di berikan orang tuanya saja hanya 15 ribu sehari, dia melihat sakunya berharap agar uang tersebut dapat bersembunyi dengan sendirinya, meski dia tahu kalau orang yang dia hadapi saat itu bukan orang sembarangan dan akan menerima begitu saja kalau dia sampai menolak.
Dengan wajah tertunduk Farrel mengangkat suaranya. "A-aku akan membayarnya nan-ti." ucapnya dengan nada gemetaran seakan melihat sosok seperti hantu.
"Ho'oh, beraninya ya kamu menjawab pertanyaanku?" Reza melompat dari kursinya dan menatap ke arah Farrel sambil tersenyum tipis. "Kalau begitu aku mau kau selesaikan pr jam pelajaran ke lima nanti, apa pun itu."
Namun karena tak juga mendapatkan jawaban, membuat Reza menjadi kesal dan tanpa mengatakan apa apa, dia mengangkat salah satu tangannya yang sudah di kepalkan dan memukul wajah Farrel hingga mundur beberapa langkah, tangannya berdarah namun bukan darah miliknya.
"A-aku—" suara Farrel seakan tertahan di tenggorokannya, sambil memegang hidungnya yang sakit.
Semua orang di kelas hanya menatap seakan tak bisa melakukan apa-apa pada sosok Reza, seolah mereka takut kalau menantang hanya akan membuat mereka menjadi sasaran berikutnya, mereka hanya melihat dari jauh bahkan ketika Reza berdiri tak ada seorangpun ada di jarak dua meter darinya kecuali saat pelajaran berlangsung karena mereka harua berada di bangku masing masing.
Di tambah lagi semua murid di kelas itu sebenarnya sama seperti Reza yang setiap hari kerjaannya hanya untuk merundung Farrel, walau tak seburuk perlakuan Reza, hanya sebatas melemparkan kertas, menumpahkan air dan membakar buku sekolah.
Bel lonceng berbunyi dan itu berarti kalau pelajaran akan di mulai, Reza mengambil sebuah buku dari tasnya dan melemparkan pada tubuh Farrel, seakan tidak peduli dengan semua tindakannya. "Aku harap kau menjawab semuanya dengan benar atau—" dia menjongkok dan mendekatkan wajahnya. "Kau akan menerima akibatnya."
Meski merasa hidungnya sangat sakit, Farrel tetap berusaha untuk berdiri sambil duduk di bangku tempatnya, dia mengambil tisu dari dalam saku dan mengusap hidungnya yang dia pikir mungkin telah patah, dia mengambil pulpen dan mulai menjawab tugas dari Reza sebelumnya.
Seorang guru datang ke dalam ruangan dan semua murid memberi salam, matanya memandang sekeliling hingga melihat kalau Farrel sedang duduk santai, dia pun berdehem berusaha agar dia diperhatikan namun semua itu tak juga berhasil.
"Farrel, apa yang tengah kau lakukan di saat jam pelajaran?" suara pak guru seakan menggema di seluruh ruangan kelas. "Apa kau pikir kalau ini hanyalah tempat untuk bermain main saja? Kau tidak berpikir kalau orang tuamu akan merasa kecewa."
Mendengar hal itu membuat Farrel terdiam, dia tahu kalau kedua orang tuanya selalu memperhatikannya walau mereka tak pernah menyadari atau tak mau tahu saja kalau di sekolah dia selalu mengalami perundungan, bahkan ketika dia meminta untuk pindah sekolah orang tuanya selalu berkata kalau hanya di sekolah itu hidupnya akan lebih baik.
Guru itu menghentakkan kakinya dengan kesal, seakan menunggu waktu yang telah habis untuk mengurusi hal tak penting seperti Farrel. "Kau akan mendapatkan tugas menjawab di papan tulis sebagai hukumanmu."
Setelah mengatakannya, guru itu berbalik dan pergi kembali ke tempat duduk sembari menulis beberapa soal ujian dengan beberapa contoh agar para siswa bisa mengerjakannya, namun di sisi lain Reza yang biasanya acuh tak acuh berdiri dan menjawab soal nomor 1 dan 4, sebel akhirnya kembali ke tempat duduk.
Guru memperhatikan dan mengangguk. "Reza, kau pintar karena berhasil menyelesaikan dalam waktu singkat." dia mengangguk angguk seakan bangga, dia lalu memandang sekeliling dan menatap Farrel. "Kau jawab nomor 3."
Seketika Farrel terdiam dan menjadi gemetaran, dia meletakkan pulpen yang awalnya dia pegang erat lalu berjalan ke arah papan tulis, saking gemetaran membuat tulisannya seolah berada di tengah gelombang air laut, setelah selesai dia kembali ke tempat duduk.
Semua murid di kelas mulai menertawakannya, seolah hal itu lumrah dan sering di lakukan, namun anehnya sang guru hanya diam tanpa melakukan apa apa, di sisi lain Reza masih asyik duduk dengan kaki di atas meja sambil memejamkan mata.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat walau hal itu tak berlaku bagi Farrel karena dia selalu menjadi bahan olok olok atau sekedar candaan dan tawaan, dan seperti biasa Reza menghampiri mejanya dan mengulurkan tangan seolah meminta sesuatu.
"Mana tugas sekolahku?" tanya Reza dengan nada datar dan tajam.
Dengan cepat Farrel memberikan buku dengan sampul berwarna hitam dengan gambar seperti kilat bercahaya kepada Reza, dia berharap kalau semua jawabannya akan berhasil membuat Reza terima meski dia tak mengharapkan ucapan terima kasih.
"Hmm, boleh lah." Reza melemparkan bukunya sampai ke tempat duduknya tepat di atas meja dengan sempurnya, sebelum akhirnya dia menatap Farrel. "Kau ikut aku ke halaman belakang, sekarang!!."
Farrel tak menjawab hanya menganggukan kepala, dia melangkahkan kaki keluar kelas sambil menundukkan kepalanya, tubuhnya gemetaran walau dia berusaha agar tetap tenang dan membuat Reza mengetahuinya.
Beberapa saat berjalan dan akhirnya mereka sampai di halaman belakang. "Berikan uangmu padaku!! Ini bukan permintaan tapi perintah!" bentak Reza sambil menarik kerah Farrel.
Namun sebelum Farrel sempat mengambil uang dari sakunya, dari jauh terlihat seseorang dengan dua kantung sampah di tangannya berteriak sambil menghampiri mereka, rambut pemuda itu berwarna pirang cerah dengan mata hijau zamrud yang indah.
"BERHENTI!!"
Sontak hal itu membuta Farrel terkejut karena mendengar suara keras yang memecah keheningan, dia menoleh ke arah pemuda misterius dengan rambut pirang cerah dan mata hijau zamrud, berjalan cepat menuju ke arah mereka.
Pemuda itu tampaknya tidak takut sama sekali menghadapi Reza, yang terkenal karena sikap kasar dan berandal, bahkan guru sekolahnya saja takut untuk menegurnya, namun kilatan mata dalam pemuda itu tampak serius dan bukan hanya menggertak saja.
Dengan wajah sinis Reza menatap pemuda itu. "Kamu pikir sudah jadi pahlawan sekarang ya? Atau kau hanya menggertak? sebaiknya kau pergi dan jangan ikut campur!" teriaknya, suara penuh tantangan. "Kau pasti tak tahu siapa aku."
Namun, pemuda itu tetap maju tanpa gentar melemparkan kantung sampah yang ada di tangannya ke arah samping tanpa mempedulikan kalau isi sampahnya tumpah atau semacamnya, matanya tajam terlihat seperti elang ketika melihat mangsanya.
Angin berhembus pelan di halaman belakang sekolah, membawa aroma hujan yang seakan masih menunggu untuk turun, pemuda itu berdiri tegak, seolah olah memberi petunjuk bahwa dia bukanlah sosok biasa, kepercayaan diri terpancar jelas dari setiap gerak tubuhnya.
"Nathanael Alexander." ucapnya dengan suara lantang dan percara diri. "Ingat nama itu karena kau—" dia menunjuk ke arah Reza. "Akan menyesali semua perbuatanmu."
"Apa? Aku?" Reza tertawa terbahak bahak sebel akhirnya dia menurunkan tangan yang memegang kerah baju Farrel dan dengan kasar melemparkan ke samping seolah itu lebih ringan dari pada bulu. "Kita lihat saja siapa di antara kita berdua akan tumbang duluan."
Tanpa memberi aba aba, Reza menginjakkan kaki dengan keras membuat tanah di bawah kakinya bergetar sedikit, dia melompat dan melayangkan pukulan yang telah dia rencanakan matang matang, senyuman culas terlukis di wajahnya seolah kemenangan berada di tangannya.
Namun hal itu di luar dugaan, karena Nathan berhasil menghindar pukulan tersebut dan bahkan menendang perut Reza dan terlempar beberapa meter ke belakang, membentur tempat sampah dan terduduk ke lantai.
"Tch." Reza mengumpat dan berdiri meski tubuhnya sedikit merasa sakit.
Tapi perasaan seolah di permalukan itu lebih menyakitkan dari pada luka fisik yang dia derita, Reza tersenyum sambil mengusap kasar sudut bibirnya dengan punggung tangan sambil bertahan di tempat pembakaran sampah di belakangnya.
"Tidak buruk untuk seorang pemula." ucap Reza dangan langkah yang kini terlihat linglung. "Kau akan menyesali karena telah menantang orang sepertiku."
"Sedikit bicara dan lebih banyak beraksi." ucap Nathan, suaranya tenang namun dalam dan menusuk. "Ayo kita selesaikan sebelum istirahat berakhir."
Namun Reza tak menjawab hanya tersenyum mencurigakan. "Jangan marah kalau kau akhirnya kalah."
"Kalah? Kau bahkan terlalu percaya diri bahkan—" suara Nathan seakan tercekat di tenggorokannya ketika dia merasakan dua orang berada di belakangnya. "Pengecut! Beraninya keroyokan."
Sementara itu Farrel yang melihatnya hanya terdiam sambil meringkuk memeluk kakinya seolah dia telah di seret dalam dua pertemuan antara elang dan ular, dia ingin berterima kasih kepada Nathan serta pergi dari sana agar tak terluka tapi dia tidak punya waktu atau hanya sekedar keberanian.
"Keroyokan katamu?" Reza membuang liur ke sampingnya dan mengusap hidung dengan percaya diri. "Ini di sebut kerja sama tim, kau hanya takut kan kalah dari kita." ucapnya sambil meletakkan tangan di saku."
"Harusnya aku yang berkata itu." Nathan menggertakkan gigi tapi tak tampak keraguan di matanya. "Kau itu hanya—" dia memberikan acungan jempol ke bawah.
Reza memberikan isyarat kepada kedua temannya untuk menyerang bersamaan, dia mengepalkan tangan dan secara langsung menerjang ke arah Nathan yang terlihat sangat bersantai.
Dengan lihat dan cepat Nathan berhasil menghindari semua serangan tersebut, bahkan melemparkan beberapa tendangan dan pukulan membuat tiga orang itu terduduk di tanah sambil memegang perut.
Merasa bahwa sudah selesai, Nathan berjalan menghampiri Farrel sembari tersenyum dan bahkan mengulurkan tangan seakan mencoba membantu dengan membarikan setidaknya sedikit semangat.
"Matamu—indah." ucap Nathan, kali ini suaranya terdengar lembut dan halus. "Perpaduan antara api dan es, aku bisa menghabiskan waktu selamanya hanya—"
Sebelum selesai berbicara Reza menendang ke arah wajah Nathan dan dengan tijunya berhasil menghalau sedikit benturan walau hal itu tetap saja membuatnya terhempas ke dinding sangat keras.
"Ho'oh, ada apa tuan tampan? Apa kau suka dengan pemuda aneh ini?" Reza menarik rambut Farrel sambil tersenyum sinis. "Orang seperti ini tak pantas mendapatkan apa-apa, dia hanya beban dan hidup dalam bayang bayang, perwujudan dari kutukan itu sendiri."
"Le-lepaskan a-aku." ucap Farrel, suaranya sangat kecil hampir terhilang oleh suara angin yang berhembus.
"Apa? Kau bilang apa?" Reza mendekatkan telinganya pada wajah Farrel, seakan memberikan tekanan, sebelum akhrinya menatap Nathan. "Kau hanya berlagak saja, apa itu saja kemampuanmu? Berbaring di tanah? Aku yakin kau tengah menangis sekarang."
Reza tertawa seakan hal itu adalah lelucon paling bodoh dan konyol yang pernah dia dengar bahkan dari film komedi sekalipun. "Kalau kamu mau cium tanah gak apa-apa, tapi apa tanahnya suka di cium sama kamu."
Nathan mengepalkan tangan sambil mencoba berdiri, dia menatap tajam dengan raut wajah sinis. "Aku akan mengatakannya lagi, cepat singkirkan tanganmu darinya."
"Kalau aku gak mau, apa yang akan kau lakukan? Mengadukannya pada guru?" Reza berkata dengan nada mengejek sembari menjulurkan lidah. "Aku ingin lihat kau melepaskan tanganku dari si 'Farrel' manusia separuh, yang mungkin otaknya juga separuh."
Merasa di penuhi oleh emosi Nathan berdiri dan memandang sekeliling seakan sedang membuat rencana untuk bisa mengalahkan Reza tanpa melakukan sebuah kesalahan, dengan perlahan dia menatap sambil menyunggingkan senyuman.
Nathan menghela nafas panjang dan dengan perhitungan matang dia mendekat ke arah Reza dengan tinju mengarah langsung, tentu saja hal itu di anggap remeh oleh Reza yang bersiap untuk menghadang serangan apapun di hadapannya.
Tapi hal itu di luar dugaan karena Nathan merunduk dan berdiri menggunakan tangan dan menendang tangan Reza hingga terdengar bunyi retakan, dan dengan perlahan dia memegang pundak Farrel. "Apa kau baik baik saja?" matanya terlihat begitu tulus tidak seperti senyuman yang biasa dia perlihatkan pada semua orang.
Sementara itu Reza terduduk memegang pergelangan tangannya yang terasa sakit, dia bahkan mengerang pelan agar tak ada seorang pun mendengarnya.
"A-aku baik-baik saja." ucap Farrel dengan suara sedikit terbata bata. "A-apa, kau tidak...takut kepada mataku ini?"
"Kenapa harus takut? Matamu indah, bukankah aku pernah mengatakannya?" Nathan menatap ke dalam mata merah dan biru itu seakan ada sesuatu di balik keindahan tersebut. "Kau kuat bahkan lebih kuat dari yang kau pikirkan."
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama karena dari arah belakang, Nathan merasa ada sesuatu sedang mendekat dan itu bukan pertanda bagus.
Dengan cepat Nathan berbalik, namun terlambat, sebuah bayangan besar meluncur ke arahnya memaksa untuk melompat mundur sambil menarik Farrel agar tidak terkena serangan mendadak itu, benturan keras terdengar saat sebuah tongkat besi menghantam tanah tempatnya berdiri beberapa detik lalu meninggalkan retakan kecil.
"Harus aku akui kalau refleksmu bagus, seperti telinga kucing saat mendengar ada masalah." suara itu terdengar tenang namun terdapat nada mencekam dan mengintimidasi di dalamnya. "Tak aku sangka kau bisa—melukai Reza."
"Tch, siapa kau?!" Nathan bertanya dengan suara meninggi. "Jika kau berani maka tunjukkan wajahmu—atau kau hanya seperti—" dia menatap ke arah Reza sebentar. "Sama-sama pengecut yang beraninya main keroyokan."
"Terserah apa katamu, nak!" orang itu berkata sambil menurunkan hoodie di kepalanya. "Lain kali aku sarankan kau untuk berbicara lebih sopan pada orang yang lebih tua darimu."
Di lihat dari seragam yang di gunakan oleh orang itu sepertinya dia adalah senior di kelas tiga, dan di dadanya terlihat name tag bertuliskan 'Delon Sanjaya', dia dikenal dengan suka memalak dan menjadikan mereka pesuruh, salah satu rekan Reza.
Namun bagi Nathan, berapapun musuh di hadapannya itu tak masalah, selama dia masih berpegang teguh pada prinsip untuk tetap melindungi orang lain maka dia akan terus melakukannya, dia melayangkan sebuah senyuman menusuk seakan memberitahu kalau dia siap melawan siapa saja.
Dengan percaya diri Delon menyeret tongkat besi itu dengan satu tangannya membuat suara gesekan dengan tanah, dia berjalan perlahan lahan memberikan tekanan kepada musuhnya sebelum melancarkan serangan lainnya.
"Far, mundur dulu, biar aku saja yang mengurusi ini." ucap Nathan sambil menarik tubuh Farrel ke belakang. "Ini tidak seperti bayanganku, mungkin akan sulit untuk pergi dari sini."
"Ta—tapi." Farrel tampak gugup bahkan dia meletakkan tangannya di depan dada, tubuhnya seakan gemetaran.
"Serahkan saja semua padaku, aku berjanji padamu." Nathan berkata sembari tersenyum, sebuah senyuman tulus dan murni.
Melihat kesungguhan di mata hijau zamrud tersebut membuat wajah Farrel di penuhi oleh senyuman. "Jangan memaksakan diri." ucapnya.
Tapi sebelum Farrel akan beranjak pergi dari sana, terdengar dua langkah mendekat ke arah mereka, itu adalah dua teman Reza yang sudah di kalahkan oleh Nathan, dan sekarang mereka terlihat memiliki tenaga ekstra.
Di belakang mereka, Reza tersenyum menyeringai. "Sudah aku bilang padamu tuan tampan, kalau aku akan membuatmu menyesalinya."
"Apa kau bilang?" Nathan berbalik menatap wajah Reza. "Katakan sekali lagi."
"Untuk apa aku melakukannya? Kau bahkan bukan orang tuaku atau semacamnya." ucap Reza sambil mencoba berdiri, dia masih memegang pergelangan tangannya. "Ini akan menjadi hari terakhir kau melihat matahari dan bulan, tuan tampan."
Nathan menatap ke arah Reza, meski kata kata itu terasa menyebalkan bagi telinganya. "Kau selalu menyebut aku tuan tampan, apa maksud perkataanmu?"
"Bersiaplah untuk menuju ke bulan." Delon berteriak sembari mengayunkan tongkat besi di tangannya.
Sesaat sebelum tongkat itu mengenai kepalanya, Nathan menarik Farrel menjauh dan membawanya ke bawah pohon agar tetap aman, meski dia juga tak tahu apakah yang dia lakukan itu benar.
Setelah menarik nafas panjang Nathan berlari menghampiri Delon, dia menghindari semua serangan tongkat besil tersebut sembari melancarkan serangan yang mengenai wajah Delon.
Hal itu membuat Delon mundur beberapa langkah ke belakang sambil memegang hidungnya yang mengeluarkan sedikit darah, tapi bukannya merasa terancam dia justru semakin senang, meski serangannya acak tapi terlihat terarah bahkan Nathan kerepotan melawannya.
Ketika Delon mengangkat tongkat hendak memukul, Nathan menghindar dengan gaya gymnastic seakan tubuhnya begitu lincah dan terlatih, namun ketika tongkat besi itu berada di di atas kepala, dia menghindar ke belakang tanpa sadar kalau Delon melancarkan pukulan ke perutnya hingga membuat dirinya tersungkur karena sakit.
"Itu saja kemampuanmu?" Delon tertawa seakan dirinya memang pintar. "Melawan seseorang tidak hanya mengandalkan kecepatan atau kekuatan saja—" dia berhenti beberapa saat sebelum melanjutkan. "Tapi gunakan otak dan juga rencana."
Karena pukulan itu langsung mengarah ke perutnya, membuat Nathan sampai kesulitan untuk bernafas, bahkan pandangannya menjadi sedikit kabur hingga membuatnya kesulitan untuk mengatakan sesuatu, dengan perlahan dia menyeka darah dari sudut bibirnya.
Kali ini Delon mengangkat tangan dengan tongkat besi di tangannya, namun sebelum itu Reza berteriak. "Hentikan, kau bisa membunuhnya dengan itu—" ucapnya menarik nafas perlahan. "Kita di sini hanya untuk mengambil uangnya dan bukan untuk merengut nyawa seseorang."
"Tch, baiklah—" Delon meletakkan kembali tongkat besi itu di balik punggungnya. "Padahal tadi hampir menjadi hari terakhir dari bocah songong itu."
Waktu berlalu sangat lama bahkan setiap detiknya seakan seperti abad, hingga terdengar suara lonceng berbunyi, menandakan bahwa istirahat telah selesai dan dua orang yang di panggil oleh Reza berbalik lalu kembali ke kelas mereka tanpa mengatakan apa apa.
Dengan langkah perlahan sambil memegang pergelangan tangan, Reza berjalan melewati Nathan. "Tuan tampan, sepertinya kau di berkahi oleh dewi fortuna—" dia melangkah jauh hingga sedikit jauh. "Aku mengagumi keberanianmu karena kau adalah orang pertama yang pernah menantang aku dalam duel."
Sementara itu Nathan langsung berdiri dan menghampiri Farrel di bawah pohon, dia tersenyum sembari mengulurkan tangan, sambil mengagumi mata indah itu dengan dua warna berbeda merah dan biru, seakan selalu menariknya dalam suatu hal yang tak bisa dia jelaskan secara kata kata.
"Ayo, kita harus segera pergi ke kelas, atau guru akan memarahi kita." Nathan berkata sembari menunggu respon. "Jika bisa aku ingin—agar momen ini lebih lama lagi." ucapnya dengan suara kecil hampir di telan angin.
"Ke-kenapa?" tanya Farrel, suaranya serak seperti ingin menangis. "Kau memperlakukanku ber...beda, aku bahkan." ucapnya sambil menundukkan kepala. "Kau bahkan melindungiku padahal kita tidak saling—mengenal satu sama lain dengan baik."
"Bukankah aku sudah pernah mengatakan hal ini?" Nathan menghembuskan nafas secara pelan. "Sepertinya aku sudah berkata ini 3 kali, aku merasa tertarik pada matamu itu, baru kali ini aku melihat di dunia nyata seseorang dengan wajah begitu spesial."
Kata kata itu seakan menembus jantung Farrel karena selama ini dia tidak pernah merasa ada orang yang mengagumi matanya, bahkan dirinya sendiri mengutuki hari kelahirannya setelah membawa kesialan, air mata pun terjatuh tanpa dia sadari.
"Far, tolong jangan menangis ya." Nathan menarik tangannya dan mengelus lembut rambut merah bercahaya, yang menurutnya sebagai sebuah keajaiban. "Apa kata kataku itu menyakiti hatimu?"
"Kau, bahkan…menyukai hal yang aku pikir sebagai kutukan…" Farrel menggenggam bajunya dengan erat membiarkan air mata terjatuh begitu saja. "Terima kasih—aku sangat berterima kasih, padamu."
Senyuman kembali terlihat di wajah Nathan. "Kau adalah orang aneh yang aku temui, jangan nangis dong nanti aku salah paham karena berpikir kalau kau membenciku."
Suasana di belakang halaman sekolah menjadi lebih tenang sedikit, rintik hujan tak lagi terlihat di gantikan oleh cahaya mentari yang mulai menampakkan wajahnya di atas awan, namun Farrel dan Nathan tak sadar atau memang sengaja kalau sebenarnya waktu istirahat sudah selesai.
"Kayaknya aku lupa sesuatu, tapi apa ya?" gumam Nathan pada dirinya sendiri.
Suasana hening perlahan memudar saat langkah langkah cepat terdengar mendekat dari arah gedung sekolah, Nathan yang masih memandangi Farrel dengan senyuman segera mengangkat wajah dan memasang ekspresi waspada seolah dia siap menghadapi apapun di depan matanya meski harus gelud lagi.
"Nat, kamu gak apa-apa?" tanya Farrel, wajahnya tampak khawatir apalagi setelah sebelumnya dia yang selalu di lindungi.
"Aku masih bisa—"
"Nathan!" suara seorang gadis memecah keheningan, itu adalah Laras, teman sekelas dan juga ketua kelas X-B, dia berlari dengan nafas tersengal sengal. "Kamu ngapain di sini? Katanya cuma buang sampah doan? Guru udah mulai marah! Pelajaran udah mau di mulai—"
Seketika Laras berhenti dan menatap Farrel dan merasa bingung, karena sepanjang dia sekolah tak pernah melihat atau memperhatikan kalau ada orang seperti itu, dia pun menatap Nathan sembari menyipitkan mata.
"Kamu abis berantem ya?" tanya Laras, sambil memperhatikan dari dekat.
"Apa? Gak kok, aku cuma buang sampah kayak yang kamu suruh tadi, ingat kan?" Nathan menggaruk tengkuk leher sambil mencoba mengalihkan pandangannya. "aku juga masih lapar dan—"
Laras berdehem sebentar lalu berkata. "dan kenapa ada darah di sudut bibirmu? Dan kenapa kau bersama dengan—" pandangannya beralih pada Farrel yang tampak duduk di belakang Nathan. "dia?"
"Namanya Farrel dan aku tadi kepeleset kok, asli." ucap Nathan, dia berjalan menghampiri Farrel dan membantu untuk berdiri. "nanti aku nyusul setelah makan siang."
Meski Laras ingin berdebat tapi dia yakin kalau Nathan selalu punya kata ataupun cara untuk menghindari pertanyaannya tersebut, membuatnya bingung dan kadang tak mengerti sifat dari temannya namun dia sadar kalau mereka bertemu di sekolah saja jadi dia belum mengerti.
Setelah beberapa saat keheningan Laras mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan memberikan pada Nathan. "Ini, plester buat nutupin lukamu, nanti kalau di kelas dan orang bertanya bakal bermasalah."
"Terima kasih, La." ucap Nathan sembari mengambil plester itu dan menempelkan pada wajahnya.
"Aku akan kembali ke kelas, dan ingat aku melakukannya bukan karena aku peduli padamu melainkan sudah tugasku untuk memperhatikan seluruh siswa di kelas." ucap Laras, dia lalu berhenti sejenak melihat tumpukan sampah berserakan. "dan kenapa sampahnya—"
"Tunggu aku bisa jelaskan." Nathan berdiri dan dalam beberapa detik dia mengambil sampah yang berserakan lalu meletakkannya di tempat sampah.
"Kalau begitu antar dia ke kelasnya." ucap Laras, suaranya terdengar dingin, lalu dia pergi menuju ke kelas.
"Kamu bisa berdiri kan?" tanya Nathan, suaranya sedikit lembut hampir terdengar seperti bisikan.
"Aku bisa jalan sih, tapi bagaimana dengan lukamu?" tanya Farrel, wajahnya terlihat penuh kekhawatiran. "jika bukan karena—"
"Kamu gak perlu mikirin soal itu." ucap Nathan sembari mengacak acak rambut merah pemuda di depannya. "santai aja kali, aku gak gigit juga kan? Hehehe."
Entah kenapa Farrel bisa merasakan ketulusan bahkan kebaikan dari perkataan Nathan, biasanya dia tak pernah merasakan hal itu karena sejak masuk sekolah semuanya tampak seperti berada di dalam neraka, dia tak pernah sekalipun merasa seperti di hargai atau di butuhkan.
"Kamu kelas berapa?" tanya Nathan. "aku bisa mengantarmu ke sana, nanti kalau si Reza balik bakal aku kirim ke bulan."
"Bulan? Memangnya bisa?" Farrel tertawa karena dia tahu kalau itu hanyalah sebuah lelucon untuk mencairkan suasanya. "tapi kita kan—belum makan ya?"
Nathan terdiam sebentar sambil menggaruk pipi. "kalau gitu—" Nathan tersenyum sambil mengulurkan tangan. "ayo kita ke kantin, dari pada pingsan di kelas, ya kan?"
"Nat." panggil Farrel.
"Ada apa?" tanya Nathan.
"Makasih ya, udah mau melakukan ini sama aku, padahal kita kan—baru ketemu hari ini." ucap Farrel sambil tertunduk, seakan tengah menyembunyikan sesuatu.
"Angkat kepala dong, nanti mata kamu gak keliatan." kata Nathan sambil menyentuh lembut wajah Farrel. "kamu kelihatan cantik—eh maksudku tampan, sorry, maaf ya."
Waktu terasa berjalan dengan lambat, ketika Nathan dan Farrel berjalan ke arah kantin bahkan tak peduli kalau saat itu pelajaran sudah akan di mulai, mereka berjalan melewati lorong lorong sambil tertawa bahkan membicarakan hal yang mungkin tak ada hubungannya.
Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai di kantin sekolah, di sana tampak sunyi mungkin karena hampir seluruh siswa telah berada di dalam kelas untuk belajar, mereka lalu menghampiri konter dan duduk tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Bi, buatkan 2 nasi goreng dong, jangan lupa dengan teh—" Nathan terdiam dan hampir saja memesankan sesuatu yang hanya dia inginkan, dia pun menatap pemuda berambut merah di sampingnya. "Far, kamu mau pesan apa?"
"Apa aja deh—maksudku nasi kare aja dengan air mineral." ucap Farrel denga kepala seperti mau makan meja.
"Ok siap." Nathan berkata dengan senyum lebar di wajahnya.
"Jadi mau pesan apa? Buruan karena kalau pihak sekolah tahu kalian malah keluyuran dan gak belajar bukan cuma kalian yang kena masalah." ucap wanita itu sambil memegang sebuah catatan seolah menulis pesanan mereka.
"Satu nasi goreng dengan telur ceplok, dan satu lagi nasi kari, dan dua air mineral." ucap Natan.
"Tunggu 30 menit, itupun kalau mau enak." ucap wanita itu lalu berbalik dan menuju ke dapur.
"Nunggu 30 menit lama banget gak sih?" Nathan membenamkan wajah di meja dengan kedua tangan di rentangkan. "mungkin kita bisa membicarakan sesuatu?"
"Aku gak pintar dalam percakapan dengan seseorang." ucap Farrel tanpa mengubah posisi duduknya. "bagaimana kalau aku membuat hatimu sakit karena perkataanku, lalu membenciku."
Tapi Nathan menanggapi itu dengan tertawa lalu mengangkat wajahnya. "bukankah aku berkata kalau matamu itu indah seperti perpaduan antara api dan es, aku menyukaimu."
Seketika Farrel terdiam dan merasa wajahnya menjadi merah, walau dia terus menyakinkan kalau itu bukan berarti suka sebagai pacar melainkan teman dan sahabat, namun jantungnya seakan tak bisa berhenti bahkan terasa berlari maraton.
Farrel ingin membuka percakapan tapi tak ada apapun menyangkut dalam tenggorokannya, bahkan kepalanya kosong seakan berada di dalam ruang hampa di kelilingi oleh cahaya putih tak berujung, bibirnya bahkan gemetaran setiap kali mencoba mengatakan sesuatu.
"Jadi, mau aku antar pulang ke rumah nanti." suara Nathan seolah memecah keheningan dan suasana canggung.
Namun Farrel hanya menggangguk seakan menerima tawaran tersebut, dia tampak sesekali mencuri pandang ke arah Nathan yang terlihat santai, sebuah senyuman tersungging di sudut wajahnya meski dia tahu kalau hubungan mereka sebatas teman saja.
"Lama banget ya gak sih?" Nathan mengetuk meja menandakan betapa laparnya dia saat itu, hingga tak bisa bersabar. "padahal aku dah lapar banget, tapi berada di sini sekarang aku sedikit bahagia sih."
"Kenapa?" tanya Farrel mencoba menenangkan detak jantung yang terasa seperti tak bisa di kendalikan.
Nathan memutar tubuhnya sedikit, menatap Farrel dengan pandangan penuh kehangatan, namun juga terselip sesuatu yang sulit di tebak, dia menyentuh rambut merah itu seakan tengah melihat sebuah mahakarya luar biasa.
"Karena, aku gak sendirian, biasanya aku makan sendirian di kantin, atau bahkan buru buru karena takut di marahi guru, tapi kali ini berbeda, kau ada di sini bersamaku, semuanya—" Nathan tersenyum menatap mata merah dan biru itu. "rasanya beda."
Farrel terdiam, perkataan Nathan barusan meski sederhana tapi memiliki dampak besat di hatinya, selama ini dia terbiasa merasa seperti bayangan—tidak terlihat dan tak di anggap, namun kini di hadapannya dia merasa ada seseorang yang benar benar menghargainya bahkan hanya karena keberadaannya di meja makan itu.
Wajah Farrel tertunduk menahan perasaannya, dia merasa kalau wajahnya panas, bahkan hanya untuk menatap Nathan, dalam hati dia selalu mengingatkan dirinya kalau maksud perkataan tersebut sebagai teman dan tidak lebih dari itu, namun ternyata hal itu sulit untuk dilakukan.
"Far, kamu gak merasa kalau makanannya lama banget ya?" Nathan berkata sambil menghela nafas panjang seolah waktu telah berjalan sangat lamban. "tapi—mungkin itu lebih baik karena aku bisa bersama deganmu."
"Aku juga senang berteman denganmu, Nat." ucap Farrel, walau sebenarnya itu untuk mengingatkan pada dirinya sendiri. "aku harap—"
Dari arah belakang mereka terdengar suara langkah kaki, kali ini terdengar begitu elegan dan teratur. "Nathan, sudah berapa kali kau bolos pelajaran? Dan bahkan malah duduk santai di kantin." suara itu tenang namun entah kenapa terasa mengintimidasi.
Mendengar suara yang tak asing, Nathan berbalik melihat sosok itu sambil menyipitkan matanya. "Kirain siapa, ternyata ketua osis Jeanne orang paling berpengaruh, walau menurut aku Johan lebih pantas berada di posisi kamu saat ini."
"Tch, kau berkata begitu namun sebenarnya kau hanya iri padaku kan?" Jeanne berjalan dan berhenti tepat di depan kaki Nathan. "kau harus pergi ke ruang kepala sekolah setelah ini."
"Maaf, tapi aku punya urusan dengan kedua orang tuaku." ucap Nathan, dia berbalik dan menatap ke arah meja yang belum ada makanan.
"Orang tua—bukannya mereka tak pernah terlihat sejak kau berusia 5—" seketika Jeanne menghentikan perkataannya dan langsung menutup dengan kedua tangannya, "aku akan menunggu di ruang kepala sekolah."
Setelah mengatakannya Jeanne tampak memukul kepalanya sendiri tak paham bagaimana kata itu bisa keluar dari mulutnya, padahal dia telah berusaha agar tidak sampai mengeluarkan kata yang mungkin akan dia sesali seumur hidup, sebelum meninggalkan kantin dia menoleh ke arah belakang berharap kalau Nathan tak mendengarkan hal tersebut.
"Aku minta maaf, itu tak seperti dengan yang aku ingin—katakan." gumam Jeanne, meski dia tahu kalau perkataannya tak bisa di dengarkan.
Di sisi lain Nathan tampak tak mempedulikan hal tersebut bahkan dia terlihat seperti biasanya, hanya kebosanan karena pesanan yang dia minta belum juga sampai, walau dia juga tak terlalu mempedulikan tentang sekolah namun dia tahu kalau pendidikan di perlukan untuk mencari kerja.
Beberapa saat berlalu dan akhirnya penjaga kantin keluar membawa nampan berisi dua piring makanan, satunya di berikan kepada Nathan dan lainnya pada Farrel, tak lupa dua botol air mineral.
"Jangan lupa, setelah makan langsung ke kelas." ucap penjaga kantin lalu pergi ke dapur untuk berberes.
"Aku gak tahu kalau—"
"Maksudnya perkataan ketua osis tadi? Ya elah—gak usah di pikirkan tahu." Nathan berkata sambil menepuk pelan pundak Farrel. "yang terpenting sekarang bukan itu melainkan cara mengisi perut kita, benar kan?"
"Iya, kau benar." ucap Farrel, sebuah senyuman tersungging di sudut bibirnya, namun wajahnya yanh merona sulit untuk di hilangkan.
Selama mereka makan tak ada suara percakapan hanya dentingan logam yang memenuhi ruangan, seolah saat itu mereka tengah menikmati kenyamanan saat itu, walau tahu kalau pelajaran mungkin saja sudah hampir selesai.
"Kalau, Reza menganggumu lagi, jangan ragu memanggilku ya?" Nathan berkata sambil mengedipkan mata. "panggil saja namaku dan aku akan datang dalam waktu 5 menit."
"Terima kasih banyak." ucap Farrel.
"Omong omong kalau lagi galau bisa curhat sama aku kok." ucap Nathan dengan nada santai yang khas. "tapi sebenarnya aku hanya mau melihat wajahmu dan—"
"Aku—" perlahan Farrel mengangkat wajahnya meski dia merasa ingin segera menghilang dari muka bumi.
"Kamu keren." ucap Nathan.
"Aku juga senang berteman denganmu—"
"Kenapa kalian berbincang seakan tak ada masalah?" penjaga kantin kembali sembari melipat tangan di dada. "makanannya sudah habis tapi kenapa masih di sini? Balik kelas sana."
"E-eh? Waduh kelupaan aku." ucap Nathan, dia buru buru berdiri dan mengulurkan tangan oada Farrel. "skuy ke kelas, soalnya nanti harus ke ruang kepala sekolah, bikin ribet aja."
"Baik." Farrel menatap tangan itu lalu meraihnya sembari tersenyum.
Mereka lalu berjalan ke luar kantin sambil terkadang bercanda tawa, seakan dunia hanya milik mereka berdua, bahkan lingkungan sekitar tidak lagi berarti, kerika berada di depan kantin, Nathan berhenti dan menatap ke arah Farrel kali ini dia terlihat sedikit serius.
Perlahan tangan Nathan menyentuh wajah Farrel dengan lembut sambil mendekatkan wajahnya hingga berjarak hanya beberapa centi saja, dia bahkan bisa merasakan nafas dan detak jantungnya yang berpacu dengan waktu.
"Far, aku—"
"Jadi kalian di sini ya?" ejek seorang pemuda yang adalah anak buah Reza. "apa aku gangguin acara kalian? Woi, ngotak lah goblok masa mau ciuman di sekolah."
Nathan menarik tangannya dari wajah Farrel lalu berbalik dan menatap tajam pemuda di belakangnya. "aku tidak akan memaafkanmu atas semua yang kau lakukan."
Seketika wajah lembut Nathan berubah menjadi serius, bahkan dia mengepalkan tangannya sambil berjalan menghampiri pemuda itu, dan dalam sekejap dia berhasil memukul orang itu dan bahkan sampai terduduk di lantai.
"Aku sarankan agar kau segera pergi." Nathan berkata dengan penuh amarah.
"Aku bahkan tak mengatakan sesuatu yang salah." ucap pemuda itu sembari memegang wajahnya yang sakit. "aku akan mengadukan ini pada ketua osis, dan itu berarti kau akan menerima akibatnya."
"Tch, sepertinya kau mau ke bulan ya?" Nathan berkata sambil menarik kerah baju pemuda itu dengan keras. "aku peringatkan kalau kau berani mengganggu Farrel lagi maka, tak ada lagi kesempatan kedua."
"Tolong aku—hanya ingin mengatakan kebenaran, lagi pula apa salahku?" ucap pemuda itu sambil mengangkat tangan menandakan dia tak mau mencari masalah lagi.
Sementara itu di belakang mereka terdengar langkah kaki anggun, seakan telah memperhatikan dari tadi. "Apa masalah di sini? Nathan—" suara itu seakan menggema di udara. "bukan saja bolos tapi kau berniat melukai siswa lain kah?"
Perasaan kesal Nathan tak bisa hilang begitu saja, dia pun berbalik, wajahnya masih dipenuhi oleh kemarahan, namun kali ini ada sedikit keraguan tampak di matanya, suara itu, suara yang sudah di kenali sejak lama, terdengae seperti gema masa lalu dan tak pernah benar benar pergi
Jeanne berdiri di sana, menatap mereka dengan tatapan tajam dan serius, keanggunannya yang selama ini selalu menenangkan sepertinya mengandung ancaman tak terucapkan.
"Jangan ikut campur." Nathan mendesis, matanya tajam menatap Jeanne. "aku akan menyelesaikan ini dengan cara-ku sendiri."
"Kau meninggalkanku tanpa pilihan lain, Nat." Jeanne berkata, suaranya tenang namun terdengar mengintimidasi, dia berjalan dengan melipat tangan di dada dan menghampiri Nathan hingga jarak mereka hanya beberapa langkah. "dan berkelahi di sekolah, apa yang sebenarnya menyambarmu, ini bukan dirimu."
Nathan tersenyum seolah sedang menyembunyikan sesuatu. "dan apa yang membuatmu berpikir mengetahui semua hal tentang diriku, apakah hanya karena aku dan kau adalah tunangan?" ucapnya tanpa ada rasa getir di dalamnya. "semua itu hanya topeng, dan jangan salah paham tentangnya."
"Kau—" Jeanne ingin berkata sesuatu tapi perkataannya seperti tercekat dalam tenggorokannya.
"Kenapa? Ketua osis? Bukankah kau seharusnya—"
Namun sebelum menyelesaikan sesuatu, Jeanne menampar wajah Nathan, ekspresi wajahnya datar seakan sulit untuk di baca, tatapannya tetap tajam menanggapi perkataan tersebut, tapi kilatan di matanya terlihat samar dan hanya bisa dilihat oleh orang yang memperhatikan dengan seksama.
Walau sudah tahu reaksi tersebut, Nathan tetap menyunggingkan senyuman di bibirnya, seakan dia menikmati membuat Jeanne menjadi kesal, dia memegang pipinya yang menjadi merah, namun senyumannya seakan tak pernah hilang.
"Farrel." suara Jeanne terdengar tegas dan dingin. "ikut aku ke kelasmu, cepat!"
Beberapa saat berlalu dan Farrel menatap ke arah Nathan dan Jeanne secara bergantian, hingga akhirnya dia berjalan ke kelasnya, meski matanya kadang tak pernah lepas dari Nathan yang entah kenapa terlihat lebih seperti sebuah boneka.
Sementara itu, Nathan berdiri menatap dalam kekosongan hingga hanya terlihat punggung Farrel yang semakin menjauh, tapi dia harus pergi ke kantor kepala sekolah entah dia menyukainya atau tidak.
Dan dengan langkah perlahan Nathan berjalan dengan tangan di dalam sakunya menuju ke ruang kepala sekolah, bukannya dia ingin ke sana segera tapi akan lebih baik jika menyelesaikannya sebelum jam sekolah berakhir.
Di belakangnya Rizky, salah satu anggota dari gang Reza mengikuti Nathan hingga sampai ke tempat tujuan, yaitu kantor kepala sekolah, mereka berdiri tepat di depan pintu.
"Ini semua salahmu." gumam Nathan sembari membuka pintu ruangan itu.
Di tengah ruangan, pak Ahmad, kepala sekolah duduk seolah telah menunggu kedatangan mereka. "jadi, kenapa kalian bisa—berkelahi? Jelaskan masalah kalian sekarang."
"Itu—karena aku dan—Doni sedang pergi—" Rizky tampak gugup, tak mungkin dia akan berkata kalau dia dan Nathan berkelahi karena dirinya memalak Farrel, walau atas perintah dari Reza, tapi tetap saja dia bisa terkena masalah, namun dia juga bingung akan mengatakan apa.
Tak di sangka orang tua Rizky telah berada dalam ruangan tersebut, mereka tampak kesal dan marah bahkan tatapan wajah mereka bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya.
Dalam keheningan Ibu Rizky, Dinda memecah keheningan. "Aku yakin, anai itu yang membully anak kita, karena tak mungkin Rizky melakukan kekerasan."
"Ibu—sebenarnya aku—"
"Diam, Riz!" bentak Dinda. "kau tidak perlu takut hanya karena dia berada di samping kamu, nak, katakan saja apa yang dia perbuat kepadamu."
Di sisi lain Pak Ahmad hanya menatap tanpa bergerak sama sekali. "jadi, apa perkataan itu benar? Ingat aku harap kau itu berkata jujur, bukan hanya untukmu tapi juga orang lain, kejujuran memang bukanlah satu satunya hal penting, tapi kau bisa menolong atau membunuh seseorang hanya melalui kata katamu, pilihlah dengan bijak."
"Aku—" keringat dingin mulai mengucur di dahi Rizky, di satu sisi dia ingin semuanya segera berakhir, namun di sisi lain dia tak ingin di salahkan atas perbuatan yang di paksakan kepadanya walau tak sepenuhnya itu benar.
Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, Pak Ahmad memukul meja, menambah ketegangan di dalam ruangan tersebut. "Buka mulutmu, atau kau dan Nathan akan terkena sanksi."
Dengan suara gemetaran dan hati bergejolak akhirnya Rizky membuka mulutnya meski perkataannya masih sulit di dengar, hampir seperti bisikan. "Dia—" ucapnya sambil menunjuk ke arah Nathan. "dia memukulku bahkan—sampai pingsan."
Ibu Rizky, Dinda langsung berdiri dengan kesal. "dengar kan—sudah aku duga anak itu yang bahkan telah di buang oleh orang tuanya—pasti melukai anakku."
Mendengar kata Di buang oleh orang tua, membuat darah Nathan mendidih seperti lava, bahkan wajahnya menjadi merah padam di penuhi oleh kemarahan serta kebencian, dia tak di buang namun orang tuanya memang jarang pulang ke rumah bahkan sudah beberapa tahun lalu mereka masih berada di luar negeri.
Tapi hal itu tak pernah di inginkan oleh Nathan, dia ingin melihat wajah kedua orang tuanya yang semakin hari terasa seperti memudar, dia juga ingin membantah pernyataan tersebut, namun hampir semua itu benar adanya dan tak mungkin ada orang yang akan mempercayainya, dia dianggap sebagai yatim piatu.
"Din, kau gak bisa marah begitu, kau tahu kalau membicarakan tetang keluarga orang lain itu tabu." ucap Oliver, mencoba menenangkan istrinya.
"Aku hanya mengatakan sebenarnya." Dinda berkata seolah itu adalah hal yang lumrah di katakan orang lain.
"Tapi tetap saja—"
"Diam, aku gak mau dengar itu lagi dari mulutmu." Dinda berkata sembari memegang segelas air putih di depannya. "kadang kita hanya perlu melakukan apa yang perlu dilakukan."
Tanpa mengatakan apa apa Dinda melemparkan gelas berisi air itu kepada Nathan, yang anehnya Nathan hanya berdiri di sana tanpa ada niat untuk menghindar seakan menerima itu sebagai hukuman.
Seketika blazer yang di kenakan oleh Nathan pun basah di sertai dengan keningnya yang berdarah karena terkena gelas, entah kenapa ada bagian dalam dirinya menahan dia untuk tidak bergerak.
Pintu ruang kepala sekolah terbuka perlahan dan derit berbunyi menandakan seseorang masuk di dalam, dia adalah Reza pemimpin dari gang sekolah, di kenal dengan orang yang sering marah juga tak bisa mengendalikan emosi.
"Hey, Nathan, aku lihat kau tidak bergerak ya?" dengan perlahan Reza melangkah maju hingga berdiri di belakang Nathan.
Dengan tangan di dalam saku celana, Reza menendang Nathan menggunaian kaki kanannya, hingga membuat Nathan terhempas membentur dinding.
"Itu saja kemampuanmu?" Reza berjalan menghampiri dengan sebuah senyuman menyeringai di wajahnya. "kau cukup tangguh juga ya, jangan salah paham kalau aku kalah beberapa waktu lalu hanya karena aku ingin."
Dengan kasar Reza mengeluarkan tangan dari saku celana dan memukul wajah Nathan bahkan tangannya sampai berdarah, namun wajahnya tak terlihat senyuman hanya ekspresi datar seakan dia tengah merencanakan sesuatu.
"REZA!" teriak pak Ahmad. "BERHENTI, kau bisa membunuhnya."
"Sudah selesai." Reza menarik tangannya dari kerah baju Nathan.
Sementara itu pandangan Nathan semakin lama kian memudar, suara yang dia dengar pun seperti menghilang, sebelum akhirnya dia pingsan.
Saat Nathan terjatuh tak sadarkan diri, suasana di ruangan berubah menjadi tegang, Pak Ahmad segera memerintahkan staf sekolah untuk memanggil petugas medis, sementara Rizky terlihat pucat pasi, menyesali apa yang baru saja terjadi, dia bahkan menggenggam erat ujung blazernya, berharap kalau dia mengatakan sebenarnya ketika dirinya disuruh Reza memalak Farrel.
Bahkan Reza yang biasanya tak pernah menunjukkan rasa bersalah, tampak sedikit gelisah, meskipun dia mencoba menyembunyikannya dengan sikap dingin.
"A-aku akan membawanya ke ruang UKS." Reza berkata dan dengan perlahan dia berdiri di samping tubuh Nathan.
"Reza, jika kau pikir ini akan mengurangi hukuman yang akan di jatuhkan kepadamu, maka kau salah besar." teriak pak Ahmad, bahkan suaranya menggema di seluruh ruangan. "kau tahu perbuatanmu bukan hanya melukai Nathan saja, tapi kau baru saja merusak masa depanmu."
Tanpa mempedulikan perkataan dari siapapun di sekeliling, Reza membawa tubuh Nathan yang kini terbaring tak berdaya dengan darah dari kepala dan bahkan blazernya basah, dia berjalan perlahan agar tidak menyebabkan guncangan.
"Nathan." terdengar suara panik yang mendekati mereka.
"Ketua osis, aku harap kau segera pergi dari hadapanku." ucap Reza, suaranya terdengar parau seolah terpendam ribuan emosi di dalamnya. "aku tak segan akan menghajarmu meski kau itu perempuan."
"Kau—"
Tanpa mempedulikan Jeanne yang mengejar dari belakang, Reza melanjutkan langkahnya hingga berhenti di ruang UKS, dia bahkan mencoba membuka pintu dengan kakinya, walau dia tahu hal itu sulit atau bahkan mustahil di lakukan.
Di sisi lain Jeanne berlari mendahului Reza dan berdiri di depan pintu dan membukakannya. "apa yang terjadi di sini, Reza?"
"Bukan urusanmu, wanita!" Reza berjalan di samping kasur dan meletakkan tubuh Nathan di atasnya.
"Kau yang melakukannya ya?" teriak Jeanne, wajahnya merah padam seolah di penuhi oleh kemarahan tak terbendung.
Tapi Reza tampak tak bergeming sedikitpun. "KELUAR!" ucapnya, kali ini suaranya seperti sebuah teriakan. "aku akan mengganti baju, pergi ke ruang kelasmu."
"Aku akan mengadukan ini jika kau berani melukai Nathan lebih dari ini." Jeanne berkata sambil berjalan keluar dari ruangan UKS
Meski dalam hati dia merasa ragu jika meninggalkan ruangan tersebut, sepanjang perjalanan menuju ke kelas Jeanne terus berdoa agar tidak mendapat kabar bahwa Nathan meninggal atau semacamnya.
Di sisi lain Reza berdiri dan memandang ke arah sekeliling seperti sedang mencari obat di dalam rak, dia terlihat seperti sering menangani luka seperti itu.
"Maaf, aku melakukan ini untuk kebaikanmu." ucapnya sambil meletakkan beberapa obat di samping meja. "aku yakin kau tidak akan mengerti—tapi semua itu tak penting."
Dengan perlahan Reza membuka blazer dan juga kemeja putih yang tengah di kenakan oleh Nathan, mengobati setiap lukanya dengan obat tak lupa dia juga menutup lukanya dengan perban.
Karena blazer dan kemeja Nathan telah basah, Reza memutuskan untuk menggunakan miliknya, dia memastikan bahwa Nathan tidak merasa kedinginan, setelah selesai mengobati seperti yang telah dia bayangkan, dia menarik selimut dan berharap itu bisa menghangatkan tubuh Nathan.
Setelah selesai Reza mengenakan blazer milik Nathan meski basah, tak lupa dia menyelipkan sebuah surat di bawah selimut, dan melangkah pergi dari ruang UKS, meski dia tahu kalau dirinya mungkin akan di cap sebagai anak berandal yang memang begitulah kenyataannya.
Tapi ada sesuatu dalam diri Reza berkata kalau pemuda bernama Nathan berbeda dari sebagian besar orang yang pernah dia temui sebelum ini, ada perasaan hangat menjalar ke dalam tubuhnya, sesaat dia memukul tubuh Nathan.
"Ini yang terbaik." gumam Reza pada dirinya sendiri, sambil menutup pintu ruangan UKS.
Merasakan dingin karena mengenakan pakaian basah, Reza berjalan ke arah halaman belakang, saat itu matahari tampak telah menunjukkan wajahnya meski hal itu hanya sebentar.
................
Beberapa saat kemudian Nathan terbangun di ruang perawatan sekolah dengan kepala berdenyut, cahaya lampu neon yang menyilaukan membuatnya meringis kesakitan, namun dia tak mengerti karena blazernya telah kering, bahkan luka lukanya seperti telah di obati seperti oleh para profesional.
Di sampingnya Jeanne duduk dengan tangan bersilang, menatapnya tanpa ekspresi. "kau—kenapa selalu mencoba menyelesaikan semua sendiri? Seakan tidak ada seorangpun yang benar benar kau percayai."
"Ini bukan urusanmu, ketua osis!" bentak Nathan
Tubuh Nathan masih terasa sakit begitu juga dengan hatinya, seakan dirinya terjebak dalam sebuah permainan yang mungkin tak bisa dia hindari, dan hal terburuknya dia berada dalam genggaman tangan seseorang, yaitu Reza.
"Nat, aku hanya ingin kau tahu kalau aku selalu bersamamu." Jeanne berkata dengan wajah lembut, suaranya bahkan terdengar lebih tenang dari sebelumnya.
"Diam, jangan salah paham Jeanne, aku tidak pernah mencintaimu." teriak Nathan meski setiap inci dari tubuhnya seperti sulit di gerakkan.
Bahkan ingatan tentang Reza yang memukulinya seolah terngiang di dalam kepalanya, bukan hanya sakit secara fisik melainkan sesuatu yang lebih dalam dari pada itu, di tambah dia merasa terpuruk setelah mengetahui kalau kelemahannya di lihat oleh Jeanne.
"Pergi." ucap Nathan, dia menutup mata dengan tangannya. "aku butuh waktu kesendirian."
"Aku tidak akan pergi sampai jam pulang sekolah." ucap Jeanne, wajahnya teguh penuh percaya diri. "aku akan membantumu melewati ini."
"Maaf, ini salahku." gumam Nathan.
"Ini bukan salahmu kok, dan sepertinya kau sudah lapar kan?" Jeanne memberikan beberapa lembar roti dan juga air mineral.
Nathan menurunkan tangannya lalu menatap ke arah Jeanne. "aku tidak terlalu lapar, di tambah lagi aku—mungkin kesulitan untuk—kau tahu kan? Memakannya."
"Waduh maaf ya." Jeanne meletakkan kembali roti itu di samping meja.
Dengan perlahan Jeanne membantu menaikkan sedikit bantal, dan memposisikan Nathan agar bisa duduk namun tidak menyentuh luka luka itu.
"Terima kasih, tapi aku masih bisa menggunakan tanganku sih." ucap Nathan, dia pun mengulurkan tangan seolah memberikan isyarat untuk mengambilkan roti.
"Makan perlahan ya." ucap Jeanne.
Dengan perlahan Nathan membuka satu bungkus roti dan memakannya, meski dia bukan orang yang menyukai roti cokelat, tapi karena berpikir kalau itu adalah pemberian Jeanne, dia pun memakannya perlahan.
Selesai makan, Nathan meremas plastik kosong dan di letakkan di samping meja, setelah itu dia meminum air mineral itu hingga habis separuhnya, pandangannya terhenti ketika melihat surat dari dalam selimutnya.
"Reza—" Nathan tertegun ketika melihat nama itu, bahkan keringat dingin menetes dari kepalanya. "apa yang dia lakukan?"
"Ada apa?" tanya Jeanne.
"Bukan apa apa kok, hanya sedikit sakit kepala saja." gumam Nathan.
"Lain kali kau harus mengatakan padaku, mengerti?" Jeanne berkata dengan berkecak pinggang.
"Tapi, terima kasih telah mengobati lukaku, bahkan kau menyediakan roti serta air mineral itu." suara Nathan terdengar tulus, seolah telah melupakan kejadian barusan.
Jeanne terdiam sebentar, dia menggaruk lengannya tampak sedikit gugup. "tapi, bukan aku yang mengobatimu, dan roti serta air mineral itu aku temukan di meja itu."
Perkataan itu seakan menggantung di udara, Nathan terdiam, pikirannya penuh pertanyaan, surat itu terus menarik perhatian, namun dia merasa ragu untuk membacanya di depan Jeanne. Dia menyembunyikan surat itu di bawah bantal dengan gerakan perlahan berharap Jeanne tidak memperhatikannya.
"Kalau bukan kau, siapa?" Nathan mencoba memastikan.
Jeanne mengangkat bahu tidak mengerti apa apa, meski dia tahu kalau orang yang telah membawa Nathan ke ruang UKS adalah Reza, namun sebagian dari dirinya tidak yakin jika orang kasar dan kejam seperti tanpa perasaan seperti Reza bisa melakukan sebuah kebaikan.
"Ada apa?" Nathan sepertinya bisa melihat keraguan dari mata gadis di depannya.
"Bukan apa apa, aku hanya—mungkin lebih baik jika aku memberimu ruang." ucap Jeanne.
Dengan langkah perlahan, Jeanne mengambil ranselnya dan berjalan ke arah pintu sebelum akhirnya dia berhenti. "mungkin—hanya mungkin, sepertinya Reza yang telah mengurusmu."
Setelah mengatakan hal itu, Jeanne melangkah pergi meninggalkan Nathan dengan semua perasaan bingung yang tidak bisa dia ucapkan kepada siapapun.
Sementara itu Nathan teringat dengan surat yang dia temukan di bawah selimutnya, tangannya gemetaran ketila melihat nama di atas surat itu, namun rasa penasarannya mungkin lebih besar dari takut dalam hati, ketika surat itu terbuka dia melihat tulisan kasar seperti ditulis terburu buru.
[Aku tak berharap kau melupakan semua ini, hanya saja—ini mungkin tak seperti apa yang kau pikirkan, aku melakukan ini karena memiliki alasan tertentu, mungkin kau tidak akan pernah memaafkan aku, karena aku sadar bahwa diriku ini tak pantas mendapatkan pengampunan darimu.
Ps-jangan lupa untuk mencuci blazer-ku, bawa besok di sekolah, aku harap itu wangi dan sudah bersih.
-R]
Meski merasa kesal tapi Nathan merasa ada sesuatu dalam surat itu, namun tidak menggambarkan rasa kebencian atau kemarahan seperti terakhir kali dia melihat tatapan wajah Reza.
Waktu berlalu dengan cukup lama, dan tak terasa bel lonceng tanda sekolah telah berakhir pun berbunyi, Nathan pun telah lebih baik setelah beristirahat panjang.
Pintu ruangan UKS, tiba tiba terbuka, Farrel tampak begitu cemas bahkan raut wajah yang biasa tenang dan selalu menundukkan kepala ketika menatap Nathan kini tidak terlihat lagi, dia berjalan ke samping kasur walau langkahnya masih sangat pelan.
"Ini semua salahku—jika saja waktu itu aku memberikan uangnya—" Farrel menggenggam erat ujung blazernya.
"Apa aku membuatmu khawatir? Maaf ya." Nathan berkata sembari tersenyum, seolah dia tidak terlibat dalam masalah.
"Ini ulah, Reza, benar kan?" tanya Farrel, meski dia tahu jawabannya sudah jelas.
Sewaktu istirahat Reza mendatangi dirinya meminta uang jajan, dan di saat itulah Nathan membantu, mengalahkan semua orang termasuk para suruhan Reza dengan sedikit luka.
"Aku—merasa seperti orang bodoh." gumam Nathan, lebih ke arah diriku sendiri.
"Nathan, aku minta maaf." Farrel berdiri dari bangku dan tanpa mengatakan apa apa dia langsung memeluk tubuh Nathan dengan erat.
"Far, aku tahu kau ingin meminta maaf, tapi lukaku—" Nathan berusaha tegar tapi luka itu seperti menusuk ke dalam dirinya. "mungkin kita bisa—"
Tapi tampaknya Farrel tidak mendengarkan, dia bahkan sampai menangis, membuat drama itu lebih besar dari apa yang seharusnya terjadi, apalagi suara tangisannya seakan menggema ke seluruh ruangan tertutup itu.
"Bukankah aku yang luka, tapi kau malah yang menangis." Nathan menepuk pundak Farrel, walau pelukan itu terasa sedikit menyakitkan.
Tapi dalam diri Nathan dia bisa merasakan sebuah kehangatan dari Farrel, dia tak pernah menyesali saat menyelamatkan pemuda berambut merah itu dari perundungan yang dilakukan oleh Reza, bahkan dia justru merasa bahagia walau mungkin ke depannya dia akan menjadi target selanjutnya.
"Terima kasih." ucap Nathan. "aku merasa lebih hidup, setelah bertemu denganmu, kau adalah matahariku, Far."
Dengan cepat Farrel menarik lengannya yang melingkari Nathan, dia tampak sedikit terguncang mendengarnya, namun ada perasaan bahagia tersirat di dalamnya, dia juga merasa mendapatkan warna sejak hari itu meski tak pernah terucapkan oleh mulutnya.
"Aku—mencintaimu, Nat." suara Farrel sangat amat kecil, bahkan lebih kecil dari sebuah bisikan, seolah dia mengatakan hal itu kepada dirinya sendiri.
"Wajahmu seperti tomat." Nathan berkata dengan nada menggoda.
Sepertinya baik Nathan atau pun Farrel, mereka telah melupakan semua hal yang menimpa, di hari itu meski ada banyak kesialan tapi pertemuan mereka mungkin lebih dari hanya sekedar takdir.
Untuk mengalihkan perhatian dari wajahnya, Farrel memandang sekeliling hingga akhirnya dia melihat nama Reza tertulis di blazer yang tengah di gunakan oleh Nathan, meski dia tak ingin menanyakannya tapi rasa pemasaran seolah menggerogoti dirinya.
"Name tag-mu—" Farrel berkata sambil menunjuk ke arah dada Nathan yang tertulis dengan jelas 'Reza'.
"Sepertinya Reza yang telah mengobati aku." Nathan berkata sambil memandangi name tagnya.
"Tapi—"
"Aku juga tak mengerti, namun semua ini tampak sedikit masuk akal." Nathan berkata sambil menyusun semua hal di dalam kepalanya. "ekspresi wajah Reza saat itu, bukan kemarahan dan kebencian, melainkan—aku sebenarnya tak paham."
"Jadi, dia itu orang baik?" Farrel tampak tak bisa mempercayai hal itu.
Apalagi setelah semua hal yang melibatkan Reza, dan bagaimana dia selalu di bully, menjadi samsak oleh kekejaman orang itu, bagaimana bisa itu untuk kebaikan.
"Ada apa?" tanya Nathan, wajahnya tampak penasaran.
"Aku—tidak tahu tentang semua ini." ucap Farrel.
"Kadang kita harus mulai berhenti memikirkan sesuatu, Far." ucap Nathan, suaranya terdengar lebih tenang dan lembut. "tapi aku senang hari ini bisa bertemu denganmu, loh."
"Maaf, aku—"
"Far, ada yang ingin aku katakan kepadamu." Nathan mengangkat salah satu tangannya dan menyentuh wajah Farrel dengan lembut.
Dalam keheningan yang tak terucap Nathan mendekatkan wajahnya dengan Farrel hingga jarak antara mereka hanya beberapa inci saja, bahkan dia bisa merasakan nafas Farrel serta detak jantung seolah menggantikan suara jarum jam.
Tak selang beberapa saat Nathan menempelkan bibirnya pada bibir Farrel, sebuah ciuman singkat seakan telah tertahan beberapa waktu lalu, namun itu bukan sekedar ciuman tapi juga perasaan yang mengalir dari mereka berdua.
Waktu berlalu begitu lama, setiap detik terasa begitu lama seperti berabad abad lamanya, rasa sakit dan bahkan perih seakan menghilang begitu saja, walau bukan berarti hal itu bisa menyembuhkan luka fisik.
Nathan menarik diri ke belakang, entah kenapa tapi dia merasa lebih baik, hanya saja kini wajahnya terlihat sedikit merona, begitu juga dengan Farrel.
"Maaf, aku—tak bermaksud melakukan itu." ucap Nathan sambil memalingkan kepalanya.
"Aku—tidak keberatan." gumam Farrel, suaranya kecil, dan bahkan hanya terdengar olehnya.
Sementara itu terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki berat, seolah seseorang telah berdiri di sana, yang pasti orang itu bukanlah Jeanne.
Sontak Nathan dan Farrel langsung menoleh ke arah pintu, dia ambang pintu berdiri Reza, dengan blazer milik Nathan, dengan pandangan mata seakan sulit di artikan, sorot matanya tajam seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda—ketegangan yang seolah ingin dia tutupi
"Wah, maaf kalau mengganggu momen romantis kalian." ucap Reza dengan nada mengejek, tapi suaranya terdengar sedikit gemetar, dia bersandar di kusen pintu, tangan disilangkan di dada.
"Apa yang kau inginkan, Reza?" tanya Nathan, dia terlihat tidak senang dengan gangguan itu, namun tersirat kelembutan di matanya.
Reza mengangkat kedua tangan, seolah dia tak ingin mencari masalah lebih jauh. "tenang, aku kesini bukan membuat kalian marah, jadi jangan salah paham, sekarang sudah waktunya pulang sekolah—dan mungkin butuh tumpangan."
Keheningan terasa kembali di dalam ruangan UKS, mereka tak menyangka melihat sisi lain dari Reza, orang yang di kenal sering memalak dan membully orang lain, bahkan menganggap diri sebagai superior, tanpa cacat san cela.
Melihat raut wajah bingung, Reza menjadi gugup dia menggaruk tengkuk lehernya, sambil terkadang memalingkan wajahnya agar tidak ada seorang pun tahu perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.
"Butuh tumpangan?" ulang Nathan mencoba memastikan dia tak salah mendengar.
"Apa salahnya dengan itu? Lagi pula—kita kan sudah jadi teman." Reza mengatakannya dengan nada sedikit kecil bahkan hanya bisa di dengar olehnya. "pulang sekolah—bersama."
Walau merasa ada sesuatu yang janggal, Farrel langsung berdiri dari kursinya dan menatap langsung ke arah Reza. "terima kasih, Za."
"Jangan sok akrab." Reza berkata sembari berbalik menatap ke arah luar ruangan. "aku tunggu di depan gerbang sekolah."
Nathan dan Farrel saling bertukar pandang, mungkin mereka bertiga memilki awal yang buruk, namun semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua untuk menebus kesalahan.
"Nat, kamu bisa jalan kah?" tanya Farrel.
"Akan aku coba." jawab Nathan, sembari duduk di atas kasur, meski tubuhnya sedikit gemetaran tapi rasa sakit itu perlahan menghilang.
Setelah beberapa menit berlalu akhirnya Nathan berhasil berdiri di atas kedua kakinya, dia menginjak lantai dingin itu dan merasakan sensasi aneh seolah dia telah lama berbaring di atas kasur.
Setiap kali Nathan berjalan, di sampingnya Farrel membantu membopong pundaknya hingga akhirnya mereka sampai di depan pintu gerbang sekolah, di sana Reza tampak sedang memegang dua helm sementara dia mengenakan satu helm untuk dirinya.
Sepertinya Reza telah lama menunggu, namun raut wajahnya tak menunjukkan kalau dirinya bosan menunggu, justru sebaliknya dia terlihat tengah menikmati saat itu, apalagi di sana sudah tak terlihat ada murid lalu lalang, suasana begitu sepi.
"Za." panggil Nathan sambil melambaikan tangan.
"Kalian lama, tapi gak masalah sih." ucap Reza, dia berjalan menghampiri dua orang itu dan memberikan masing masing 1 helm.
"Apa ini?" tanya Nathan, dia tak mengerti bagaimana bisa ada orang seperti Reza yang terlihat seram dan menakutkan tapi helmnya malah karakter kartun.
"Pakai saja, gak usah banyak bacot." ucap Reza tanpa mempedulikan raut wajah kebingungan dua temannya itu.
"Makasih ya." kata Nathan.
"Aku—minta maaf." ucap Farrel, dia mengambil helm itu dari tangan Reza dengan gemetaran.
"Buruan, aku mau ketemu bebebku." kata Reza sambil melangkah ke arah motornya, lalu berhenti sejenak dan berkata tanpa memalingkan wajah, meski dia tahu kalau yang dia maksud adalah Farrel. "dan kau juga, berhenti minta maaf, karena ini salahku."
"Maafkan aku." Farrel tampak lebih tertekan.
"Berhenti meminta maaf." Reza menepuk kepala seakan perkataan itu adalah hal terbodoh dan konyol yang pernah dia dengar dari seseorang.
"Tapi—bukankah motor hanya—berdua ya?" wajah Nathan tampak begitu penasaran. "tapi kita itu—bertiga."
"Gak usah khawatir." jawab Reza, suaranya terlihat penuh percaya diri. "motorku ini sudah aku modifikasi hingga bisa di naiki lebih dari empat orang—atau mungkin tidak."
Walau awalnya masih merasa ragu, tapi akhirnya mereka pun menghampiri Reza dengan motor modifikasinya, tak lupa mengenakan helm agar tetap menjaga keselamatan juga tata tertib.
Perjalanan itu terasa sedikit panjang, padahal jarak antara sekolah dan rumah mereka hanya dekat, Reza berhenti tiba tiba dan bertanya. "Di mana kalian tinggal? Tak mungkin aku hanya berputat gak jelas kan? Itu akan menghabiskan bensinku."
"Za, kau lucu juga ternyata." Nathan ingin tertawa tapi tubuhnya masih terasa sakit.
"Baik." gumam Farrel.
Kali ini Reza melajukan motornya dengan perlahan memastikan informasi yang dia dapatkan benar benar akurat, pertama dia mengantar Farrel ke rumah, ternyata walau sering di bully ketika sekolah, kompleks tempat tinggalnya di sebuah perumahan mewah.
"Rel, Kamu kaya, ternyata ya?" Reza berkata dengan suara menggoda. "kapan kapan traktir aku ya, tapi gak ada paksaan kok."
"Aku akan—berusaha." ucap Farrel, suaranya terdengar gugup.
"Santai aja kali, lagian aku juga tadi liat kalau kamu dan Nathan ciuman." ucap Reza, kali ini dia terdengar lebih santai.
"Itu—tidak seperti yang kau pikirkan." ucap Farrel, dia berbalik dan langsung menuju ke dalam rumah.
"Dan terakhir kamu, Nat." kata Reza.
"Makasih ya." ucap Nathan. "tapi soal kejadian—ciuman itu, bisa gak kamu rahasia-in?"
"Gimana ya? Bilang gak nih?" Reza tampak senang meski dia tahu kalau saat itu perkataan Nathan itu serius.
"Za, aku mempercayaimu." ucap Nathan, suaranya terdengar serius dan tampak tak terdengar seperti keraguan di dalamnya.
"Ok, aku akan berusaha." jawab Reza.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, namun entah kenapa Reza tampak mengenal perumahan tempat tinggal dari Nathan, padahal itu adalah kali pertama dia pergi ke sana, seolah dia memiliki rute alamat tersebut yang dia dapatkan dari seseorang.
Tak lama kemudian Reza memarkirkan motornya di halaman depan rumah Nathan, sambil meletakkan helm-nya di kaca motor, dia menatap rumah di setiap sudut seolah tak mempercayai sesuatu.
"Ada apa? kau terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu." tanya Nathan, dia bingung melihat ekspresi sulit di artikan sesuatu. "mau mampir gak."
"Nat, aku cuma mau tanya sesuatu, gak apa apa kan?" tanya Reza, raut wajahnya terlihat sedikit panik seperti seseorang yang baru saja di sambar petir dan pergi ke isekai. "kamu punya adik kah? Kalau punya, siapa namanya?"
"Za, kamu kenapa sih? Terlihat begitu mempedulikan keluarga aku?" Nathan berkata sembari berjalan keluar dari motor dan memberikan helmnya. "ada sih, adikku itu beda 2 tahun sama aku dan dia—"
Reza tampak begitu antusias hanya untuk mendengar setiap kata dari pemuda di depannya, seakan waktu semakin melambat dan jantungnya tak bisa berhenti berdetak kencang, dia sempat berpikir kalau orang yang selama ini mengobrol dengannya di SNS, mungkin—hanya mungkin adalah adik Nathan
Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terdengar suara lembut dan menenangkan, suara yang sangat di kenal oleh Reza, dia bahkan sering chat melalui pesan suara melalui telepon.
"Kakak, sudah pulang?"
Mendengar dirinya di panggil, Nathan menoleh ke arah suara tersebut, di ambang pintu berdiri seorang gadis dengan senyum hangat, rambut pirangnya diikat rapi, mengenakan seragam sekolah berbeda dan sebuah pita kecil menghiasi kerahnya, matanya berbinar serta wajahnya memancarkan kehangatan yang menenangkan.
Namun di sisi lain, Reza tampak terpaku, seluruh tubuhnya seperti membeku, dia tak menyangka prasangkanya ternyata benar, orang yang selalu mendengarkan kata hatinya dan memberikan semangat berdiri di depannya.
Tapi bukan itu masalahnya, Reza adalah orang yang baru saja memukul Nathan hingga harus pergi ke rumah sakit, dia tak tahu harus mengatakan hal itu, entah memberitahu sebenarnya atau terus memendam perasaan itu sendirian.
"Za, kenapa bengong?" Nathan mencoba menyadarkan Reza yang terus menatap adiknya.
Dengan cepat Reza segera memalingkan wajahnya, tidak ingin ada seorangpun melihat rona merah terlukis jelas padanya, dia menelan ludah seakan semua kata tersangkut di tenggorokannya. "dia—dia adikmu?"
Karena bingung dengan arah pembicaraan itu, Nathan hanya menggaruk kepala, semua perseteruan dengan Reza tidak pernah dia melihat pemuda di depannya merasa malu ataupun canggung—satu sisi penuh kerentanan dan kelembutan.
Gadis itu menatap beberapa saat dan menyadari sesuatu, dia menundukkan kepala dan mencoba mencairkan suasana meski jantungnya tak kalah berdetak kencang dari pada jam dinding.
"Kakak, Reza." panggilnya. "terima kasih—sudah menjaga kakakku di sekolah."
"Dan kau juga, Keyra." ucap Reza, suaranya kecil seperti bisikan di telan angin.
Karena berada di tengah kekacauan atau apa pula keheningan saat itu, Nathan memandang ke arah adiknya dan Reza secara bergantian. "kalian saling mengenal?"
Reza hanya mengangguk. "dia temanku di SNS." ucapnya, suaranya tampak gemetaran.
"E-eh? Kenapa kalian tak memberitahuku?" Nathan merasa tak mempercayai hal yang baru saja di dengar, meski dia tahu kalau adiknya selalu menghabiskan waktu menatap ponselnya.
Tapi semua ini seakan terlalu rumit jika harus di terima dalam waktu satu hari, Nathan tidak mengerti kalau pertemuannya dengan Farrel tak hanya memberikan kebahagiaan kepadanya tapi juga menunjukkan sebuah rahasia yang selama ini tak dia ketahui.
"Aku akan mampir besok." Reza berbalik dan menaiki motornya dengan meletakkan helm di sisi kaca.
Tanpa menunggu lama Reza melajukan motor itu meninggalkan rumah Nathan, dia tak bisa percaya kalau selama ini teman baiknya dan bahkan sangat dekat dengannya adalah adik dari orang yang dia pukul sampai pingsan.
Semua pikiran tentang kejadian itu seakan terngiang di dalam kepala Reza, meski dia ingin mencoba melupakan hal itu, di satu sisi dia merasa bersalah akan perbuatannya selama ini, namun melihat raut wajah Keyra seperti memberikan angin segar dalam kehidupannya.
Setelah beberapa saat berlalu, Reza akhirnya tiba di rumah, di sana tak tampak motor ayahnya tengah terparkir di garasi, dia pun langsung menuju ke rumah dan membaringkan tubuh di atas kasur menunggu sebuah keajaiban datang ke dalam hidupnya.
Di sisi lain Nathan berjalan dan menghampiri Keyra yang tampak begitu bahagia, dia pun menepuk pundak adiknya, menyadarkan dari semua khayalan menggantung ketika bertemu Reza.
"Kenapa kau tidak memberitahu kalau, teman—"
"Pacar." sela Keyra, wajahnya tampak sangat merah seperti tomat matang.
"Apa? Tapi—"
Tanpa menunggu lama Keyra segera masuk ke dalam rumah meninggalkan Nathan berdiri mematung tanpa mendapatkan jawaban pasti atas penyataan tersebut.
"Kakak, Nat, aku buatkan makanan." panggil Keyra.
Walau merasa semua dunia itu aneh, tapi Nathan mencoba mengabaikan hal tersebut xan masuk ke dalam rumahnya, bau harum makanan seketika menyeruak memenuhi seluruh ruangan, wajah kebingungannya di gantikan oleh kebahagiaan, dia tahu kalau adiknya tidak suka di tanyakan begitu banyak pertanyaan seperti seorang detektif ketika menginterogasi seorang penjahat.
"Kakak, kata mama dan papa mereka gak akan pulang lagi tahun ini." Keyra berkata, sambil meletakkan makanan di atas meja, namun entah kenapa dia tak terlihat begitu sedih seperti tahun tahun sebelumnya. "tapi mereka mengirimkan uang untuk kehidupan sehari hari."
"Begitu ya?" Nathan tampak sudah tidak peduli jika orang tuanya mau pulang atau tidak, lagi pula dia bahkan tak pernah merasakan sosok orang tua.
Mereka makan dengan keheningan tak bisa terucapkan seolah mereka terjebak dalam dunia masing masing, tanpa ada keinginan untuk mengganggu.
Setelah selesai makan Keyra mengangkat semua piring kosong dan membawanya ke tempat cuci piring untuk di bersihkan, sementara Nathan membereskan meja dan juga bagian kecil tempat makan.
Nathan berjalan ke arah sofa dan menonton film favoritnya, yaitu Second chance : a new beginning, walau matanya terus terpaku pada sang adik yang setelah membersihkan dapur sibuk kembali dengan ponselnya.
"Kau mulai rajin memasak dan mengurus rumah, apa itu karena kau ingin segera—"
Merasa kesal di campur malu, Keyra melemparkan bantal di sofa ke arah kakaknya, mengisyaratkan kalau dia tak ingin membicarakan hal seperti hubungannya dengan Reza, walau dalam hati dia ingin mereka bersama bukan sebagai teman SNS, tapi sesuatu yang berbeda.
Nathan menahan bantal itu dengan tangannya. "Kamu kok gitu, kan cuma tanya doang—nanti di sekolah bakal kakak kasih tahu Reza kalau kamu itu kasar."
"Kakak, ngeselin." dengan kesal Keyra menghentakkan kaki ke lantai dan berjalan menuju ke kamarnya. "benci—"
Namun melihat itu justru membuat Nathan tersenyum, dia sebenarnya senang ketika melihat adiknya telah melupakan tentang orang tua mereka yang mungkin tidak akan pernah pulang dengan alasan pergi keluar kota dan perpanjang, begitu terus hingga bosan.
Karena hanya menonton film sendiri, Nathan mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Farrel, bukan hanya untuk mempererat hubungan mereka tapi juga untuk curhat.
"Far, lagi ngapain nih? Udah tidur belom?"
Beberapa saat kemudian Nathan menerima pesan singkat, wajahnya tampak bahagia menatap ponselnya.
"Aku gak bisa tidur, Nat, mungkin kalau dengar suaramu bakal buat aku ngantuk."
Tapi sebelum bisa menjawab pesan, Nathan menerima sebuah pesan lagi dsri Farel.
"Bukan maksudku berkata kalau mendengar suaramu membosankan, tapi aku hanya ingin bilang sebenarnya aku senang kau mengirim aku pesan, makasih ya untuk hari ini, kalau bukan karena kau yang membantuku mungkin Reza masih bakal bully aku."
Nathan merasakan kelegaan dalam pesan itu, meski dia masih bingung bagaimana menyampaikan semua hal rumit dalam kehidupannya ketika tahu kalau Reza adalah teman baik dari adiknya.
"Aku senang kok membantu, dan—matamu itu—spesial, tak ada orang sepertimu yang pernah aku temui, dan aku harap kita—bisa jadi lebih dari sekedar tema."
Meski tak berharap kalau pesannya akan di balas, tapi setidaknya Nathan telah mengeluarkan isi hatinya walau dia lebih suka kalau mengatakannya secara langsung, namun itu lebih baik daripada memendamnya sendiri.
Lamunannya terhenti ketika tiba tiba telepon Nathan berbunyi, dan seseorang tampak menelepon dirinya, dia pun menatap dengan wajah kebingungan.
Dengan mata membelalak Nathan memandangi layat ponselnya yang tiba tiba menyala, sebuah nama muncul di layar adalah 'Jeanne', dadanya berdegup kencang, seolah tubuhnya terhentak dari lamunan, dia bahkan tidak mengerti kenapa di malam hari calon tunangannya menelepon, padahal itu jarang terjadi.
Sejenak Nathan merasa ragu, jari jarinya menggantung di atas tombol hijau, kemudian dengan hati yang penuh kecemasan dia menyentuhnya, meski tak yakin arah pembicaraan saat itu.
"Halo?" suaranya terdengar sedikit canggung, meskipun dia berusaha terdengar biasa.
"Ini aku, Jeanne, maaf aku—sebenarnya perkataanmu waktu lalu terus terngiang di kepalaku." ucap Jeanne, suaranya gemetar seakan sedang menahan sesuatu. "di hari senin nanti, orang yang akan menggantikan aku adalah—Johan."
"Apa—maksud perkataanmu?" tanya Nathan dengan nada kebingungan.
"Kau lihat saja nanti, dan—aku harap hubungan kita bukan hanya sekedar perjodohan orang tua."
Tapi sesaat Nathan akan mengatakan sesuatu, telepon itu di matikan satu arah, dia pun memandang teleponnya dengan raut wajah bingung, dia ingin menjelaskan bahwa mungkin perasaannya pada Farrel seperti kekasih, walau dia tahu orang tuanya tak akan mengizinkan hal tersebut.
"Hidup ini—kenapa bisa lebih rumit dari bayanganku?" Nathan berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya, setiap tangga yang dia lewati terasa begitu melelahkan seolah dia tengah melawan arus kehidupan itu sendiri.
Bahkan dunia terasa begitu sempit, walau kini tubuhnya telah sepenuhnya sembuh namun luka di hatinya mungkin masih membutuhkan waktu untuk bisa menyembuhkan dirinya sendiri, di tengah jalan menuju kamar dia mendengar suara tawa adiknya, meski kadang merasa iri dia berpikir bahwa itu hal yang tidak perlu untuk di lakukan.
Di dalam kamar Nathan berjalan ke arah meja belajarnya, mengambil pensil dan mulai menggambar sesuatu, hal itu dia jadikan sebagai pelarian setelah menghadapi masalah ketika berada di dunia nyata.
Gerakan pensil di atas kertas mirip sebuah tarian seni, setiap goresan seolah menunjukan betapa telitinya Nathan ketika melakukan hobinya tersebut, hingga akhirnya dia berhasil menyelesaikan lukisannya itu, portrait dirinya dan juga Farrel yang seketika membuatnya tertegun, tanpa mengatakan apa apa dia menutup buku lalu beranjak ke kasur.
Dengan kekuatan yang mungkin telah terkuras atau perasaan gugup serta malu setelah membuat lukisan itu, Nathan melompat ke kasur dan melihat langit langit kamarnya, dia tak pernah membayangkan bahwa cinta pertamanya adalah seorang pemuda sama sepertinya dan lebih aneh lagi mereka berada di satu sekolah.
Ingatan ketika dia berada di ruang UKS, dan fakta bahwa dia mencium Farrel seakan terngiang di kepalanya seolah mengejek dirinya karena hal memalukan tersebut, satu sisi dia ingin bahwa hubungan itu bisa berkembang menuju tingkat lebih jauh tapi lain sisi dia tahu kalau sampai orang tuanya tahu maka hal ini tak akan pernah semudah membalikan telapak tangan.
"Aku harus segera tidur—" gumam Nathan pada dirinya, namun dia tidak bisa karena kejadian sebelumnya selalu berputar dalam kepalanya.
Bahkan tubuhnya terasa tidak lelah, seperti memiliki kekuatan lebih, dia pun duduk di kasur mengambil ponselnya membuka game yang sering dia mainkan selama ini jika sedang mengalami kesulitan tidur, nama game itu adalah Blood Moon's Curse, sebuah game open world dan memiliki banyak pilihan karakter.
Namun ada juga beberapa mode game selain itu, contohnya moba, rpg dan juga visual novel, namun hampir semua mode dari game itu yang terasa sulit untuk di mainkan, bukannya Nathan itu noob atau semacamnya.
Hanya saja Nathan adalah tipe orang dengan gaya bermain yang sering kali terpengaruh oleh moodnya, jadi kalau dia sedang sedih atau malah kesal, bisa membuatnya sering mengalami lose streak bukan hanya 1-2 kali melainkan sampai 7 kali berturut turut padahal dia hanya bermain paling banyak 2-3 kali sehari untuk menyelesaikan misi harian.
Kali ini Nathan mencoba mode open world karena tidak perlu mengandalkan tim untuk menang, dia menggunakan hero jarak jauh dengan kemampuan sihir, dan menggunakan nama perempuan sebagai samaran, dia yakin tak ada seorangpun akan tahu tentang itu selain dirinya sendiri.
Namun karena belum juga lelah, Nathan malah keasyikan memainkan game tersebut sampai lupa waktu, dia tak sadar kalau dirinya telah melewati 5 jam, hingga jarum jam menunjukkan pukul 3 pagi, saking keasyikan menatap karakter yang dia buat sebagai gadis cantik dengan rambut hitam panjang bergelombang.
Walau berhasil menyembunyikan identitas dalam game, tapi banyak juga orang mengirim pesan pribadi dengan alasan membuat party, walau kadang Nathan menolaknya tapi demi item gratis serta senjata baru.
Tiba tiba ponselnya memberikan peringatan bahwa baterai-nya tinggal beberapa persen, dengan cepat Nathan mengeluarkan gamenya dan mematikan ponsel tersebut, lalu pergi ke samping meja dan mengisi daya.
"Seru juga ya." gumam Nathan, sepertinya perasaan gelisah dalam hatinya telah tergantikan oleh sebuah kebahagiaan, meski tidak tahu sampai kapan itu bisa bertahan. "tidur, sebentar dan—"
Dalam sekejap setelah Nathan memejamkan matanya, dia langsung tertidur, tubuhnya terasa lelah namun pikirannya lebih tenang, setelah karakternya mendapat banyak bantuan dari para player laki laki, walau kadang dia merasa bersalah tapi jika itu tak merugikan orang lain maka sepertinya hal itu biasa saja.
Waktu berlalu dengan begitu cepat dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, di luar kamar Keyra sedang menyiapkan sarapan dan juga bekal untuknya dan kakaknya, seperti biasa dia melakukan dengan cinta karena menurut orang semua makanan akan enak jika menambahkan bumbu cinta.
Tampaknya Keyra sedang bahagia setelah mengobrol panjang lebar dengan Reza, apalagi mereka telah bertemu untuk pertama kalinya kemarin malam, bahkan sepanjang memasak dia hampir tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah Reza.
"Kakak mana ya?" gumam Keyra, yang merasa aneh karena kakaknya adalah tipe orang rajin bangun pagi, namun sekarang bahkan batang hidungnya tak terlihat.
Dengan perlahan Keyra meletakkan nasi goreng dan telur ceplok serta roti, selai di atas meja, lalu pergi menaiki tangga menuju ke kamar Nathan, namun tak terdengar suara apapun, dia menjadi panik karena sempat berpikir kalau kakaknya mungkin telah bunuh diri.
"Kakak, Nathan?" teriak Keyra sambil mengetuk pintu kamar. "aku sudah membuatkan sarapan favoritmu loh."
Karena panik Keyra memukul pintu dengan segenap tenaga, berharap bahwa suara itu bisa membangunkan kakanya, namun beberapa menit berlalu dan tidak ada hal yang terjadi hingga pintu terbuka dan Nathan berdiri di depan pintu.
"Oi, berhenti memukul kepalaku." ucap Nathan sembari memegang kepalanya.
Merasa kaget, Keyra pun bertanya. "Kakak, sejak kapan berdiri di sana?"
Tapi sebelum menjawab pertanyaan adiknya, dari arah depan terdengar suara ketukan pintu, menciptakan keheningan di antara Nathan dan juga Keyra.