Aroma kopi robusta juga bau khas roti panggang memenuhi ruang makan, seolah menyapa Kieran yang baru saja keluar dari kamarnya lalu menuruni tangga dengan langkah lambat seolah habis begadang semalaman, rambutnya masih sedikit berantakan, sambil menguap dan mengusap matanya.
Dari arah ruang makan sang kakak Rian menatap wajah adiknya seolah itu hal bisa dia lihat, sambil sesekali menggoda. "Mimpi apa tuh semalam? Nikah ama Rangga ya? Anaknya berapa tuh?" ucapnya sambil terkadang menutup mulut karena geli.
Dengan wajah masih sedikit lelah Kieran menatap tajam seolah tak mau membicarakan hal lebih lanjut. "Kayak kakak enggak, kemarin aja—"
Namun sebelum melanjutkan perkataannya, Rian terlebih dulu berlari dari kursinya dan dengan cepat menutup mulut adiknya. "Kamu mau ke toko buat beli merchandise Rangga? Nanti aku beliin deh." ucapnya, lalu perlahan berbisik hingg hanya bisa di dengar olehnya dan adiknya. "Dengar ya, kalau kau lanjutin nanti aku akan membakar semua film Star Infinite itu, ngerti?"
Kieran mengangguk karena baginya film Star Infinite adalah salah satu film terbaik bahkan dia sering menontonnya beberapa kali hanya untuk melihat betapa tampannya karakter Rangga dengan semua hal misterius, meski dia tahu kalau di akhir cerita Rangga akan berkhianat dan memihak dari tim lawan namun itu tak mengubah perasaannya.
Dari arah dapur terdengar suara ibunya berkata dengan nada tenang dan lembut. "Rian, jangan ganggu adikmu." ucapnya sambil membawa beberapa kotak makan siang. "kalian jangan lupa bawa bekal, ok."
Kieran melepaskan tangan Rian dari mulutnya dan menjulurkan lidah seolah tengah mengejek. "wlee, mamam tuh." sebelum akhirnya dia kembali duduk di kursi meja makan. "mama, aku bawa bekal apa? Enggak ada telur kan?"
"Kamu kayak enggak kenal mama aja, kan mama yang buat bekal makan siangmu." ucap ibunya Magda sembari membawa kotak bekal makan siang itu di tangannya.
Tak lama kemudian sang Ayah bernama Roland datang dan duduk di salah satu kursi dengan memegang koran di tangannya kemeja rapi serta dasinya yang selalu terikat sempurna, tampak serius membaca berita ekonomi, tanpa menoleh dia bertanya pada Kieran. "Kamu sebelum makan udah mandi kan?"
Seketika Kieran terdiam sambil memejamkan mata beberapa kali seakan binggung, dan kakaknya langsung mengejek sambil menutup mulut namun suaranya masih terdengar. "Belum mandi tuh pastinya."
Tanpa mendengar apapun Kieran langsung berlari ke arah kamar mandi seakan lawannya adalah waktu, meski dia tahu sehebat apapun dirinya dia tak akan pernah bisa mengalahkan waktu, selesai mandi dia menatap ke arah jam dan mendapati kalau hampir terlambat, dia pun mengambil roti di atas meja dan meneguk kopi hangat hampir dingin dari atas meja.
"Aku pergi dulu ya." Kieran berkata sembari mengambil bekal dari atas meja dan meletakkannya dalam ransel."
Tapi kamu masih makan—" ucap Magda dengan celemek yang sedikit belel tersenyum lembut sambil terkadang menggelengkan kepala, dia lalu duduk di salah satu kursi di sana sambil membaca tentang resep kue terbaru.
Sementara itu Kieran yang tengah berjalan dengan sepotong roti di mulutnya melajukan langkah, nafasnya sedikit terengah engah karena sempat berlari, dia takut kalau sampai terlambat maka dia yang harus membersihkan kelas nanti, karena hari itu dia memiliki tugas bebersih.
Namun tanpa di sangka salah satu temannya Maya datang dan menghampiri sembari merangkul bahu Kieran. "Kie, kenapa terburu buru? Santai aja kali."
Tapi entah kenapa kepalanya terasa sangat sakit bahkan sampai membuatnya sedikit goyah meski temannya langsung menangkap tubuhnya sebelum terjatuh ke lantai, di sekitarnya dunia terasa berputar mengelilingi dirinya bahkan wajahnya sampai berkeringat dingin.
Karena khawatir Maya memegang tangan temannya. "Kie, bagaimana kalau aku antar pulang saja? Aku yakin kau akan baik baik saja jika hari ini tak masuk sekolah, kita gak punya pr atau ujian, jadi kamu santai aja."
"Aku baik baik saja kok." Kieran mengusap keringat dingin dari dahinya. "Aku mungkin hanya lapar saja." ucapnya sembari menelan potongan terkahir roti tersebut. "Lagi pula sebagai—"
"Kamu memang ketua kelas tapi tak berarti harus melakukan semua sendiri!" Maya tiba tiba meninggikan suaranya. "aku ingin kau mengandalkan aku juga—dan mungkin—" ucapnya sembari menghela nafas panjang seolah perkataannya tersangkut dalam tenggorokan.
"Terima kasih, dan aku sudah menyelesaikan tugasnya kok tapi—" ucap Kieran dengan gugup sambil menggaruk pipinya. "Aku hanya—"
Kieran ingin memberitahu kalau tugas yang di berikan itu sangat mudah bahkan dia telah selesai hanya dalam satu jam sejak dia berada di rumah namun dia begadang itu karena menonton film Star infinite hingga sadar kalau waktu udah hampir jam 3 pagi.
"Kie, kau begadang lagi kan?" Maya menghela nafas panjang sebelum akhirnya bicara. "aku akan bicara pada wali kelas untuk tak memberikan tugas kepadamu terlalu banyak karena membuatmu begadang—" beberapa saat dia menghentikan perkataannya. "jam berapa kau tidur?"
"Jam—3 pagi." Kieran merasa bahwa perasaan takut itu lebih menyakitkan dari sakit kepala yang tengah dia rasakan."
"Kalau begitu kita akan membicarakan ini dengan wali kelas." tanpa mengatakan apa apa lagi Maya menarik lengan Kieran.
Mereka melalui beberapa lorong panjang, terjal dan menurun namun ada hal yang memberikan mereka semacam semangat untuk melakukan hal tersebut, padahal mereka bisa menghunakan bis sekolah tapi kayaknya mereka lebih memilih jalur sulit dari pada mudah.
Setelah beberapa saat berlalu akhirnya mereka tiba di depan gerbang sekolah yang telah di penuhi oleh banyak siswa, merasa lelah mereka berjalan sambil memegang dinding pagar mereka mencoba meredam perasaan lelah saat itu, di sisi lain Kieran merasa sakit kepalanya semakin menjadi jadi, bahkan pandangannya sampai kabur.
Sementara itu Maya yang berpikir kalau itu mungkin adalah salahnya meminta temannya berlari pun berkata. "Kie, apa kau merasa sakit? Kita bisa ke uks sekarang, nanti urusan tugas biar aku urus."
Kieran hanya tersenyum mencoba menenangkan diri dan berdiri tegak. "Aku gak apa apa kok, pasti masih sedikit lelah." ucapnya sembari menutupi sakit tersebut.
"Mau aku gendong gak?" ucap Maya, ekspresinya terlihat senyum tapi tidak ada nada mengejek, hanya sebuah kekhawatiran terlukis di wajahnya.
"Bagaimana kalau begini, kita akan balapan ke kelas, kalau kalah harus mentraktir siapa saja yang menang, cukup adil kan?" Kieran berkata dengan tujuan agar Maya melupakan kalau dia tengah berjuang untuk tetap berdiri.
"Ho'oh, jadi begitu ya." Maya mengusap hidungnya dengan percaya diri. "aku juara 1 lari lompat rintang putri tingkat nasional loh."
"Kita lihat aja nanti." Kieran tersenyum seolah akan menang.
Dalam hitungan tiga Maya langsung melesat ke arah kelas, sementara Kieran berjalan perlahan sambil sesekali memegang dinding di lorong kelas, hingga akhirnya dia berhasil sampai di depan kelas X-A, dari arah dalam ruangan tampak guru tengah mengajar jadi dia berusaha agar tidak membuat keributan.
Dengan perlahan Kieran membuka pintu ruangan kelas X-A dan memasukinya, tapi apa yang ada di depan matanya tidak seperti bayangan, karena semua orang itu tak seperti teman sekelasnya, tak ada maya dan lainnya hanya ada sosok di ujung ruangan dan cukup menarik perhatian yaitu seorang pemuda dengan rambut pirang dan mata hijau zamrud, dia adalah Rangga dari serial film Star Infinite.
Seketika Kieran membeku di ambang pintu, matanya tak percaya dengan apa yang dia lihat, seluruh ruangan kelas itu dipenuhi orang tak dia kenali hanya pernah melihat secara sepintas karena film Star Infinite itu tak fokus dalam keseharian di kelas namun ketika berada di studio membuat rencana film.
Namun sosok yang seharusnya hanya ada di layar lebar kini berada di depannya dalam wujud nyata, walau tak secara teknis berada di depan karena Rangga sedang duduk di kursi belakang dekat jendela sambil menatap keluar seolah mencari sesuatu dan tak mempedulikan hal sekitar.
Tapi bagi Kieran rambut pirang berkilau serta mata hijau zamrud milik Rangga seakan menembus hingga ke dalam jiwa, melihat dari jauh saja membuat tubuhnya gemetar, hingga membuatnya tak tahu membedakan apakah hal di depan matanya itu realitas atau hanya halusinasi akibat kekurangan tidur.
Lamunan Kieran seketika terhenti saat Pak Ardi di depan kelas berdehem. "Dan kau siapa anak muda? Apakah tersesat atau salah kelas?" tanyanya sambil mengatur kacamata. "Jika mau kau bisa—"
"Aku murid baru di sini." ucap Kieran seakan hal itu telah dia rencanakan sebelumnya.
Pak Ardi menatap ke arah Kieran dan melihat bahwa gadis itu memang mengenakan seragam sekolah namun sedikit berbeda warna, namun karena saat itu dia harus memberikan kuis pada siswa, dia hanya mengangguk sembari memberi isyarat untuk duduk di bangku kosong.
Tanpa menunggu lama Kieran langsung melewati beberapa meja dan akhirnya sampai di kursi kosong samping Rangga, tak pernah dia bayangkan kalau dirinya akan sedekat itu dengan sosok idola yang bahkan terlihat sangat amat nyata di banding sebelumnya, dia bahkan menatap dengan wajah berbunga bunga.
Namun Rangga tetap tak bergeming sedikitpun hanya menatap ke arah jendela, seakan dirinya berbeda dari lingkungan sekeliling, matanya tertuju pada seseorang yang tengah berlatih olahraga, dan juga teman setimnya dalam proyek film yaitu Karina.
"Rangga?" panggil Kieran sambil merapikan rambutnya. "kau terlihat—"
Entah kenapa tapi Rangga tampak risih ketika seseorang melihatnya terus, dia pun berbalik melihat ke arah samping tempat duduknya. "kau? Siapa? Kenapa memandangku terus? Asal tahu saja ya aku benci dengan orang sepertimu! Sok akrab."
Kata kata itu seakan menusuk ke dalam hati Kieran, dia tahu kalau sosok Rangga itu memang dingin, kejam dan kadang suka membentak bahkan blak blakan, tapi mendengar langsung rasanya seperti tertusuk oleh pisau tak terlihat, dia pun menundukkan kepala walau dia tahu kalau itu tak akan menghentikan dirinya untuk terus mencoba.
Dalam kesedihan Kieran mengingat kalau di akhir cerita Rangga akan mengkhianati teman temannya dengan membocorkan semua alur cerita film mereka kepada tim lawan, namun itu karena rasa sakit setelah melihat orang yang dia sukai Karina bersama dengan Micah, padahal mereka berada di tim sama.
Kieran bertekad bahwa akhir menyedihkan itu tidak akan pernah terjadi, setidaknya ketika dia mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, apalagi melihat raut wajah Rangga dengan segala kekurangan dan kelebihan, dia merasa keinginan untuk melindungi.
"Aku Kieran Alexandra." ucapnya.
"Kayak aku peduli." Rangga berkata sambil melanjutkan kegiatan menulisnya.
"Aku pastikan akan melindungimu dengan seluruh kekuatanku." gumam Kieran pada dirinya sendiri sambil terkadang senyum, tapi kini dia memilih untuk tidak membuat Rangga marah.
Beberapa waktu kemudian Pak Ardi berdiri dan menulis beberapa soal matematika, lalu memandang sekeliling untuk mencari siapa yang bisa dia minta menyelesaikannya hingga akhirnya menatap Rangga. "bisa jawab—"
"Pak guru, kenapa kau menyuruh kami menjawab pertanyaanmu itu? Padahal kau yang membuatnya kan?" ucap Rangga tanpa bergerak atau memiliki niat menyelesaikan soal matematika di papan tulis.
Tanpa menunggu lama, Kieran mengangkat salah satu tangannya. "biar aku saja yang menyelesaikan."
Semua orang menatap wajah asing dan baru itu dengan tatapan merendahkan bahkan mereka berbisik bisik, entah untuk menarik perhatian Rangga atau hanya sekedar memamerkan kepintaran pada semua orang, tapi Kieran tak peduli dan melangkah maju ke depan papan tulis.
Sebagai ketua kelas di dunia nyata, Kieran bukan hanya pintar namun sangat cepat dalam menyelesaikan masalah, yang memperlambatnya hanyalah waktu ketika dia begadang menonton film sama berulang kali bahkan sampai hafal beberapa bagian dialognya serta menemukan detail kecil.
Pak Ardi memberikan Kieran kapur, dan dalam sekejap tiga soal di papan bisa dia selesaikan bahkan dengan rumus sulit, yang jarang di pakai orang namun dia menyukai gayanya itu karena meski dulu temannya Maya selalu merasa aneh.
"Bagai-mana bisa?" salah satu siswa terlihat kaget dengan kemampuan Kieran.
Sementara itu Rangga menatap Kieran dengan wajah dingin seperti biasa, bahkan tak tampak kagum atau sesuatu lainnya, dia melanjutkan kegiatan seperti biasa menggambar wajah seseorang di bukunya, merasa kalau dia adalah bintang dalam kelompoknya dan tim itu tak akan bisa bertahan tanpa bantuannya.
"Tukang pamer." ucap teman lainnya.
Seperti biasa banyak orang yang tidak menyukai Kieran langsung berkata kalau itu mungkin adalah bagian dari sihir gelap, mereka seakan menolak fakta kalau seorang murid baru bisa menguasai matematika, pelajaran sulit dan bahkan membuat kepala mereka pecah.
Kali ini Kieran tak peduli perkataan orang lain, karena baginya ada hal yang lebih penting yaitu membantu Rangga menjadi sosok lebih baik atau hanya menghabiskan waktu bersama, meski dia tahu kalau sosok idolanya lebih tertarik pada Karina.
"Akan sulit ya?" Kieran menghela nafas sembari duduk kembali ke kelasnya. "tapi apakah ini—mimpi? Kalau begitu maka aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk menghabiskan waktu bersama—" ucapnya sembari melirih ke sebelahnya. "tapi aku akan sedikit bersantai sejenak."
Pelajaran berlangsung cukup lama dengan Pak Ardi yang memberikan pertanyaan kuis, namun hal itu terasa sangat mudah bagi Kieran karena dia berpikir kalau dalam mimpi dia bisa menjadi apapun tanpa takut menyembunyikan kepintarannya.
"Bagus sekali—" Pak Ardi mengernyitkan dahi sembari mencoba mengingat sesuatu. "gadis muda, siapa namamu?"
"Kieran Alexandra." ucapnya singkat lalu duduk kembali ke kursi.
Pak Ardi bertepuk tangan seolah dia telah lama menunggu seseorang dengan antusias belajar matematika, dia lalu memandang sekeliling kelas dan berkata. "kalian harus mengikuti jejak Kieran, karena dengan begitu mungkin saja kalian akan bisa menjadi jenius."
"Ini semua salah pendatang baru itu." bisik salah satu siswa.
"Kenapa sih dia harus datang? Nyebelin asli deh." balas temannya.
"Sudah diam, kalau mau mengobrol nanti bapak tak akan segan memberikan pr tambahan." ucap Pak Ardi dengan berkecak pinggang.
Namun saat satu masalah hampir terselesaikan, pintu kelas perlahan terbuka membuat bunyi derit pintu menggema dalam keheningan, di depannya berdiri seorang gadis cantik berambut hitam lurus di kepang dua.
Gadis itu melangkah masuk membawa suasana aneh bersamanya dan terlihat berbeda, sepasang mata hitam legam menyapu seluruh ruangan dengan tenang, namun memberikan kesan tajam uang membuat murid murid lainnya menegakkan punggung, dia memegang sebuah buku tebal berwarna hitam bercorak aneh di sampulnya, seolah olah buku itu menyimpan sesuatu lebih dari sekedar catatan.
Pak Ardi menatapnya dari ujung kepala sampai kaki. "Dan kau siapa lagi? Jangan bilang murid pindahan lagi? Karena di kelas ini sudah penuh, kau bisa ke kelas sebelah."
" Namaku Alya Rachmana, dan menurut kepala sekolah seharusnya berada di—" matanya terhenti di tempat Kieran duduk. "Hmm, menarik—siapa dia?"
Walau Alya tak menunjuk siapapun, pak Ardi tampak telah mengerti kalau maksud perkataannya adalah Kieran. "dia adalah siswa pindahan, dan dengan sedikit kemampuan matematika luar biasa." entah kenapa tapi tampak nada kebanggaan dalam suaranya. "baru kali ini aku lihat seorang yang tertarik begitu pada pelajaran matematika."
"Hmm, begitu rupanya." Alya berbalik dan berhenti tepat di depan pintu. "sepertinya aku salah kelas deh, maafkan aku."
Setelah mengatakannya Alya pergi meninggalkan ruang kelas yang kini telah kembali sunyi hanya terdengar suara jarum jam berdetak seakan menjadi sebuah melodi di telinga.
Sementara itu Rangga tetap tak mempedulikan hal itu dan masih sibuk menggambar wajah Karina di bukunya, dia terlihat sedikit bahagia namun ada sesuatu yang mengganjal pikirannya yaitu meski telah bersama tapi dia tak bisa menyampaikan perasaannya.
Tak lama kemudian terdengar bunyi lonceng menandakan kalau pelajaran pertama telah selesai, dan pak Ardi pun berdiri. "Kalian bisa pergi ke kantin atau klub, atau bisa juga belajar sendiri, karena guru yang mengajar di pelajaran berikutnya tak hadir."
Semua siswa tampak bahagia mendengar bahwa mereka tak perlu belajar begitu keras, namun Kieran merasa hal aneh dalam hatinya, dia pun berdiri dan berjalan ke depan kelas. "Kalian pergi ke sekolah untuk apa? Kalau hanya ingin bermain main lebih baik kalian pulang di rumah dan berleha leha saja! Lagi pula kalau kalian hanya bersantai tidak ada orang yang rugi melainkan diri kalian sendiri."
Mendengar hal itu membuat Pak Ardi hanya tersenyum, walau dia sendiri tidak mengetahui alasan di balik dirinya yang merasa tersentuh akan perkataan tersebut, sebelum akhirnya melanjutkan langkah pergi ke kelas berikutnya untuk mengajar matematika.
"Kau berkata begitu untuk sombong kan?" ucap salah seorang siswa. "itu berarti kau berkata kita semua bodoh."
"Dan kau sepanjang pelajaran hanya menatap ke arah Rangga!" ucap seorang siswi. "jangan belagak deh, kamu aja gak jauh berbeda dari kita."
Seketika Kieran teringat dengan ketika bersama dengan Maya, mereka selalu menghabiskan waktu bersama walau sepanjang hari dia hanya mengatakan semua tentang pelajaran atau bahkan film saja tanpa memberi waktu temannya sempat menceritakan isi hati.
Merasa kalau situasi kelas sudah sangat berisik, Rangga berdiri dari tempat duduk sembari menutup buku pelajarannya dan melangkah santai seolah masalah itu bukan urusannya, dengan tangan di dalam saku berjalan ke luar tanpa peduli.
"Tunggu—" Kieran berjalan melewati kelas mengejar sosok idolanya. "Rangga—ada yang ingin aku katakan padamu."
"Apa itu?" ucap Rangga sembari menghentikan langkahnya sebentar. "katakan cepat karena aku tak punya waktu untukmu."
"Ini memang terdengar aneh, tapi aku—"
Namun Rangga memutuskan untuk berjalan pergi tanpa mendengar perkataan dari Kieran, seakan hal itu tak penting dan bahkan keberadaan Kieran hanya bagian dari sekumpulan pengganggu seperti semua orang yang selalu mengikuti setiap langkahnya.
"Rangga—" teriak Kieran sembari menatap dari kejauhan.
Di sisi lain Rangga tengah pergi ke studio film, di sana Karina dan Jasper belum berada di sana karena mereka tengah berada di kelas, dia pun duduk santai sambil terkadang memejamkan mata, hingga membuatnya hampir tertidur karena kebosanan.
Sementara itu Kieran hanya berdiri di lorong kelas hanya menatap dengan raut wajah kesedihan hingga dia merasakan sesuatu berdiri di belakangnya, dia pun berbalik dan melihat sosok gadis berambut hitam panjang di kepang dua.
"Alya." sapa Kieran
"Kau—bukan berasal dari sini kan?" Alya meantap tajam seolah menusuk hingga ke dalam jiwa.
"Apa maksud perkataanmu?" Kieran menggaruk tengkuk lehernya dengan gugup. "aku memang bukan dari sini karena pindah sekolah."
Namun perasaan gugup Keiran pun memalingkan wajah karena dia tahu kalau dunia dia berada saat itu adalah bagian dalam film Star Infinite sementara dirinya yang adalah entitas dari dunia nyata.
"Kenapa kau berpaling?" Alya memiringkan kepalanya sedikit mencoba memperhatikan. "Apa ada rahasia—"
"Apa aku? Pfft—enggak mungkin lah." ucap Kieran mencoba menghilangkan perasaan gugupnya
"Jadi, kalau begitu di mana kau tinggal? Dan siapa nama orang tuamu?" tanya Alya.
"Itu…aku tinggal…bersama ibu dan ayah juga…kakak Rian." ucap Kieran dengan suara terbata bata. "di kompleks…dekat bukit…"
"Kenapa? Apa kau lupa rumahmu sendiri? Atau jangan jangan kau ke sini karena kabur dari rumah?" suara Alya tenang namun mengintimidasi seperti seorang detektif tengah menginterogasi seorang penjahat.
"Aku, hanya…sedikit…" seketika keringat mengucur dari wajah Kieran. "aku lapar…"
Tanpa mengatakan apa apa, Kieran langsung berlari menuju ke arah kantin dengan wajah pucat, dia tidak pernah menyangka kalau hal paling dia takutkan akan datang secepat itu menanyakan tentang keberadaan dirinya yang seharusnya tidak pernah ada di dalam dunia film Star Infinite, dia hanya seorang pendatang dari dunia nyata.
Melihat Kieran yang berlari dengan penuh keringat, sebuah senyuman tipis muncul di sudut bibir Alya. "Hmm, menarik sekali—sepertinya kau menyembunyikan sesuatu dariku ya—tapi apapun itu aku pasti akan menemukannya meski kau lari dan bahkan bersembunyi dariku."
Sesampainya di kantin, Kieran merasakan adrenalin yang tidak bisa dia jelaskan tentang dirinya sendiri, dia datang ke dunia dalam film Star Infinite begitu saja, tak ada semacam penjelasan seakan dia di panggil oleh sesuatu atau seseorang namun tak dia ketahui.
Tanpa menunggu lama Kieran mengambil ponsel miliknya seraya mencari beberapa foto tentang Star Infinite, atau bahkan informasi dunia tersebut karena dia sebagai maniak film mengetahui seluk beluk bahkan dialog karakternya.
Namun hal itu di luar dugaan karena di sepanjang dia memindai file di dalam ponselnya tidak ada tanda tanda tentang Star Infinite, bahkan ketika mencari di internet seakan semua hal yang berhubungan hilang tanpa jejak, semua karakter bahkan seperti tak pernah ada sejak awal.
"Ti-tidak mungkin..." Kieran merasa sedih setelah mengumpulkan foto Rangga dan mencari dengan kualitas HD, namun hilang begitu saja. "Rangga…"
"Ada apa denganku?" suara itu membuat Kieran terdiam karena sedikit panik dan terkejut juga bahagia.
Dengan perlahan Kieran mendongak perlahan menemukan Rangga berdiri di hadapannya, seketika jantungnya berdetak lebih cepat bahkan dia terlihat sedikit panik, bhakan telinganya berubah menjadi merah.
Tatapan Rangga datar dan dingin seperti biasa, namun dia terlihat penasaran meski samar, mungkin karena melihat perubahan di wajah Kieran. "Kau siapa? Selalu memanggil namaku, apa yang ingin kau katakan atau mungkin kau hanya ingin terlihat aneh?"
"Itu—aku hanya berpikir—kalau kita bisa berteman." perkataan Kieran seakan tercegat si tenggorokannya tak bisa keluar sepenuhnya bahkan dia sendiri tak tahu kenapa.
"Kau hanya membuang waktuku." ucap Rangga dengan wajah datarnya yang khas lalu berbalik pergi.
Tapi sebelum melangkah lebih jauh Kieran menahan lengan Rangga. "Tunggu, aku—mungkin bisa men—traktirmu makan."
Sekilas Rangga menatap Kieran dari ujung kepala hingga kaki seakan menilai gadis di depannya sambil memicingkan matanya, namun dia tampak tidak tertarik untuk sekedar berbicara atau menghabiskan waktu bersama, dan tanpa mengatakan apa apa lagi dia menarik lengannya kasar sembari melanjutkan langkahnya menuju ke depan konter makanan.
"Kenapa?" gumam Kieran, suaranya sangat kecil seakan dia tengah berbicara pada dirinya sendiri. "aku—hanya."
Bunyi lonceng tanda istirahat pun berbunyi dan seluruh siswa langsung memenuhi kantin, beberapa dari mereka telah membawa bekal namun memilih makan di kantin karena menyukai keramaian, ada juga yang hanya duduk bersantai bersama teman teman.
Mata Kieran menyapu seluruh tempat itu dan tampaknya Rangga telah pergi ke ruang club, dia pun memikirkan cara agar sosok idolanya tersebut bisa memperhatikan dirinya meski hanya beberapa saat saja, hingga dia ingat kalau di dalam film pernah ada adegan ketika Rangga pergi ke kafe hanya untuk membeli Chocolate Chroux, dan Croissant.
Tanpa menunggu lama Kieran langsung berjalan menuju ke kafe terdekat karena kue itu tidak ada di kantin sekolah, namun di jam sekolah pintu gerbang masih tertutup dan tidak ada cara untuk pergi dari sana, dia pun merasa sedikit putus asa setidaknya hingga dia mengingat sesuatu.
"Di halaman belakang ada sebuah pagar yang patah, jika aku bisa melewatinya maka jalan menuju kafe tinggal beberapa langkah lagi dan—" Kieran tampak terlalu bahagia bahkan hanya dengan memikirkannya. "aku bisa membuat Rangga merasa—"
Tanpa menunggu lama Kieran langsung berlari menuju ke arah halaman belakang sekolah yang tidak dia ketahui ternyata pagar patah itu berada tepat di belakang ruang guru, dia pun terdiam sejenak antara melanjutkan langkahnya pergi ke kafe atau berhenti namun serta menunggu hingga pulang sekolah.
"Bagaimana ini?" Kieran menggigit ujung kukunya dengan gugup.
Satu hal yang Kieran ketahui bahwa meski dia tak membuat pilihan, waktu akan terus berjalan dan tak akan pernah menunggu hingga dia siap membuat keputusan, dengan kata lain kali ini dia sedang berpacu melawan waktu.
Setelah berpikir panjang akhirnya Kieran memutuskan untuk berhenti dan membeli secara online, selain mudah tapi dia juga tak perlu repot menyeberang jalan, pengirimannya juga cukup cepat serta metode pembayarannya melalui dompet digital.
"Pesanan selesai, tinggal tunggu di kirim saja." ucap Kieran sambil terkadang memperhatikan ponselnya.
Lima menit berlalu dan terdengar bunyi motor daei arah pintu gerbang, Kieran pun memutuskan untuk mengambil jalan memutar agar tidak mencurigakan, walau sulit tapi akhirnya dia berhasil sampai.
"Apa ini atas nama Kieran Alexandra?" tanya petugas pengiriman.
"Iya itu benar." jawabnya singkat.
"Pesanannya Chocolate Chroux dan Croissant, benar?" tanya petugas itu lagi.
Namun Kieran hanya mengangguk, dan petugas itu memberikan dua kotak berisi kue, namun di sana tampak tidak ada celah yang cukup untuk bisa melewati pagar.
"Tunggu sebentar." petugas itu membungkuk sambil mengikat tali roti ke sebuah drone lalu mengirimkan melalui atas pagar. "pembayaran dilakukan di depan."
"Kalau begitu, terima kasih ya." Kieran lalu pergi membawa kotak itu.
Sepertinya Kieran sudah tak sabar untuk bertemu dengan Rangga, dan melihat ekpresi bahagia sosok idolanya, meski dia tidak mengharapkannya serta menganggap kalau benar itu berarti hanyalah sebuah bonus, dia lalu berjalan ke studio tempat Rangga dan teman temannya sering berkumpul.
Setibanya di depan pintu studio dia memegang gagang pintu besi itu, perasaan dingin seakan menjalar hingga ke pundaknya membuat dia sedikit gugup sembari memikirkan jika rencananya berakhir buruk dan membuat dirinya di benci oleh Rangga, namun dia masih mencoba berpikir positif karena tidak ada gunanya terlalu keras pada diri sendiri.
Dengan nafas panjang, akhinya Kieran membuka pintu tersebut, tapi ternyata tak terlihat berat dari pada yang dia bayangkan, dia lalu memandang sekeliling mencari keberadaan Rangga, namun di sana hanya ada Micah yang tengah menatap meja sementara di sudut ruangan Karina mempersiapkan beberapa dekorasi serta pencahayaan.
"Kenapa kamu tidak ada—" Kieran menghela nafas panjang seolah kedatangannya di sana itu sia-sia.
Walau ingin pergi tapi Kieran merasa tertarik untuk tetap berada di sana, meski pikirannya seakan tak pernah lepas dari sosok Rangga, meskipun dia sering menatap melalui layar televisi tapi ada sesuatu yang berbeda ketika bertatapan secara langsung.
"Kya...keren banget." ucap Kieran dengan suara keras bahkan hampir menggema di seluruh studio.
Spontan hal itu membuat Karina dan Micah menoleh dari asal suara tersebut, wajah mereka tampak sedikit penasaran karena seragam yang di pakai oleh Kieran tampak berbeda dari seragam mereka.
"Itu siapa dah?" Karina menyipitkan matanya mencoba menilai apa yang dia lewatkan.
"Mungkinkah dia murid baru yang tengah di bicarakan?" gumam Micah namun cukup keras untuk di dengarkan.
Tapi saat itu Kieran tak mengetahui kalau ada beberapa orang tengah memperhatikan dirinya, bahkan dia berpose keren dengan kata kata ikonik yang sering dikatakan oleh Rangga lengkap dengan pose dingin.
"Kalian hanya bisa menghalangi jalanku, minggir." ucap Keira sebelum akhirnya dia duduk sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangannya.
Merasa sedikit terganggu Karina menghampiri Micah yang saat itu tengah sibuk dengan kertas di depannya. "Hey, Mic apa menurutmu gadis itu sedikit—"
"Aneh? Aku tahu." sela Micah. "tapi kenapa dia bisa berada di sini?"
"Apa yang membawa dia ke sini itu, Rangga?" tanya Karina.
"Enggak yakin juga sih, soalnya dia itu kan pendiam, kalau ngomong itu pun cuma beberapa kata." Micah berkata sembari mengelus dagunya. "di tambah lagi bukankah seragamnya agak—berbeda? Warnanya itu loh, sedikit kemerahan namun juga ungu."
"Jadi maksudmu dia bukan berasal dari sekolah ini?" tanya Karina mencoba memproses informasi itu.
U
"Bisa jadi sih." kata Micah.
Sementara Kieran sedang terlena dalam kebahagiaan pintu ruangan terbuka, terdengar bunyi decit seakan menggema di seluruh ruangan.
"Kenapa—kau selalu mengikuti aku? Apakah kau tidak punya kegiatan selain membuntuti aku?"
Mendengar suara itu Kieran menjadi terdiam, dia langsung mengenali pemiliknya bahkan sebelum menoleh, Rangga berdiri di sana, kali ini ekspresinya tidak sekedar datar, tetapi terlihat sedikit kesal, tatapan matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya fokus pada Kieran.
"Aku—tidak membuntutimu." ucap Kieran, suaranya terdengar gemetaran, dia pun tak mengerti kenapa bisa begitu terobsesi pada Rangga, dengan semua perasaan yang telah di kumpulkan akhirnya dia memberanikan diri sembari memberikan kotak kue. "aku dengar kau menyukai Chocolate Choux dan juga Croissant, jadi aku membelinya."
Rangga menatap beberapa saat dan dalam satu gerakan tangan dia mengambil kotak tersebut. "kau pikir kalau kue ini bisa membuat semua yang kau lakukan terhapuskan begitu?"
"Tidak, aku hanya—" Kieran merasa kalau perkataannya seakan tertahan di tenggorokannya, tak bisa keluar.
Ketika Rangga membuka kotak kue itu, bau harum khas cokelat menyeruak ke seluruh ruangan, membuatnya bahagia meski hanya kecil tapi tampak senyuman tipis di sudut bibirnya, itu adalah kue yang sering di buatkan oleh ibunya bahkan melihatnya saja seakan membawa kembali ingatan masa kecilnya.
"Enak." ucap Rangga sembari memasukkan potongan kue itu ke dalam mulutnya.
Hal itu seperti sebuah pujian bagi Kieran, selama dia mengikuti Rangga, baru kali ini dia merasa bahagia bahkan kebahagiaannya seakan tak bisa di sembunyikan, dia memainkan rambhtnya sambil terkadang tersenyum gak jelas.
"Hmm...rasanya—"
"Kayaknya Rangga teman kita sudah punya pacar baru nih." ucap Micah sembari menggoda temannya. "kapan nih kalian mulai dekat?"
Setelah selesai memakan semua kue itu, Rangga berjalan ke arah sudut ruangan untuk membuang bungkus kotaknya di tempat sampah sebelum berjalan menghampiri Micah, wajahnya tampak datar dan tidak senang seakan telah kembali pada dirinya semula.
"Mic, aku harap kalau kau berbicara lain kali—" Rangga menarik kerah baju temannya dengan kasar. "gunakan otakmu, sebelum aku mengeluarkan dan membuangnya kw tempat sampah."
"Rangga, kau itu terlalu serius deh." Micah mengangkat tangan seolah tidak mau mencari masalah. "dengar, aku hanya bergurau saja, jangan marah ya."
"Tch, membuat lelucon itu ada batasnya." perlahan Rangga mulai menurunkan tangannya sembari melepas kerah Micah. "seberapa baik kau membuat lelucon menandakan tingginya IQ yang kau miliki, apa kau mengerti?"
"Maaf, aku berjanji akan membuat lelucon dengan berhati hati lain kali." Micah berkata sambil menggaruk tengkuk lehernya. "maaf kalau perkataanku melukai perasaanmu."
Namun Rangga tak mengatakan apa apa, hanya berbalik sembari melangkahkan kaki ke pintu depan, seakan hari ini dia hanya mengalami kekesalan saja sepanjang waktu, selain tentang kue favoritnya tentu saja lalu pergi keluar dari ruangan tersebut sambil menutup pintu dengan keras membuat gema di dinding.
"Sifat pemarahnya itu kayaknya susah hilang ya?" Micah berkata sembari mendekati Karina.
"Kayaknya gadis itu berbeda ya? Kenapa warna seragamnya lain dari kita? Apa dari sekolah lain?" tanya Karina sembari memicingkan mata seolah sedang memperhatikan dengan seksama.
"Tidak, aku rasa tak begitu." kata Micah dengan tangan di dagunya. "kau lihat lambang itu." ucapnya sambil menunjukkan logo sekolah SMA Cahaya Bintang."
"Eh, tapi—" merasa hal itu tak bisa menjawab kegelisahannya, Karina berjalan menghampiri Kieran yang masih terpaku di depan pintu. "Halo, permisi boleh nanya enggak?"
Mendengar itu Kieran berbalik menatap asal suara tersebut dan langsung mengenali kalau itu adalah Karina, orang yang di sukai oleh Rangga secara diam diam bahkan tak pernah mengatakan perasaannya hingga di akhir cerita, membuatnya bingung apa harua mengejar cinta Rangga atau membuat sosok idolanya bersama teman masa kecilnya itu.
"Apa itu kebahagiaan?" Kieran bertanya denyan ekspresi kosong.
"Apa?!" Karina tampak bingung dengan pertanyaan tersebut.
"Maaf, aku hanya bingung, kenapa kita berjuang untuk sesuatu yang—"
"Kieran ya, apa mungkin pertanyaanmu itu karena kau merasa tak mengerti perasaan dalam hatimu." Karina berkata sembari menepuk pundak gadis di depannya. "cinta itu bukan sesuatu yang bisa kau pelajari."
"Kau—tahu namaku?" tanya Kieran, wajahnya terlihat panik, karena seingatnya dia belum memperkenalkan diri.
"Yah, aku tak tahu kalau kau bingung tapi—" Karina menunjuk name tag yang tertera pada seragam Kieran. "tertulis di—kau tahu kan—tapi itu bukan yang ingin aku katakan melainkan kenapa warna seragammu itu berbeda dari kita?"
"Eh-itu karena." sebenarnya Kieran juga tak tahu hal tersebut karena seingatnya lambang di dadanya itu bertuliskan SMA Negeri 7. "aku—itu mungkin karena—" tiba tiba terlintas sesuatu di pikirannya. "sudah usang karena aku menggunakan seragam milik kakakku."
"Apa iya?" Karina menyipitkan matanya mencoba mencari tahu apakah gadis di depannya itu mengatakan sejujurnya, karena dia melihat bahwa baju itu seperti baru, tapi dia memilih untuk mengabaikan hal tersebut.
Setelah keheningan yang seperti tiada akhir itu, Kieran tersenyum gugup dan berjalan mundur ke belakang sampai pundaknya menabrak pintu. "Aku harus pergi sekarang."
"Tunggu, jika kau memang berniat menjalin hubungan serius bersama Rangga sebaiknya kau tidak setengah setengah." ucap Karina, suaranya terdengar seperti sebuah peringatan. "dulu sewaktu SMP, dia pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis, namun setelah beberapa saat sebuah fakta mengatakan kalau sebenarnya dia hanyalah sebagai pelampiasan agar pacarnya cemburu."
Tentu saja hal itu diketahui oleh Kieran, dia pernah menonton flash back ketika Rangga berada di kamarnya menatapi foto dirinya dengan pinggiran foto seperti di robek, meski wajah pacarnya itu di blur tapi dia tahu seluk beluk bahkan yang tak di ketahui oleh Karina atau Micah.
Dengan wajah serius Kieran mengangkat kepala. "Tentu saja aku akan membuatnya bahagia, meski harus mengorbankan nyawaku."
"Ho'oh, sepertinya kau serius." ucap Karina sembari tersenyum. "tapi kita lihat saja seberapa seriusnya dirimu itu nanti, karena hanya waktu yang bisa membuka topeng seseorang meski telah di sembunyikan begitu baik."
Tanpa berkata apa apa lagi, Kieran membuka pintu dan keluar dari ruangan itu, dia masih merasa kikuk ketika berada di dunia Star Infinite, tapi sepertinya dia harus menyesuaikan diri selama berada di sana, karena tak mungkin ada jalan keluar dari kekacauan tersebut.
Ketika berada di luar ruangan Kieran menghela nafas panjang meragukan perasaan yang selama dia miliki kepada sosok karakter Rangga, karena sewaktu menatap dari layar semuanya seakan telah di atur dan tidak terlihat seperti sekarang, Rangga bukan lagi karakter fiksi namun lebih mirip manusai dengan pemikiran dan pemahaman serta perasaannya sendiri.
"Mungkin aku terlalu fokus pada masalahku—" Kieran menatap ke arah langit sebentar memandang betapa cerahnya cuaca saat itu tak seperti hatinya yang terasa seperti sedang di landa oleh badai petir.
"Sepertinya kau selalu memikirkan sesuatu menjadi hal yang lebih rumit."
Suara baritone yang tiba tiba terdengar dari arah belakang membuat langkah Kieran terhenti, ia menoleh dnegan cepat dan menemukan Rangga berdiri di sana, bersandar pada dinding dengan tatapan dingin serta mengintimidasi sedang memperhatikan, entah sejak kapan Rangga berada di sana namun kehadirannya seperti menembus ke dalam pikiran.
"Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi kau terlihat kacau." ujar Rangga, suaranya terdengar tenang, namun penuh makna. "Apa kau selalu seperti ini, atau hanya saat melihatku?"
"Aku…hanya sedang…memikirkan sesuatu." ucap Kieran sembari menggaruk pipi. "tapi bagaimana bisa kau berada di sana? Bukankah tadi kau sudah pergi?"
Entah kenapa tapi tampaknya Kieran merasa kalau perkataannya mungkin adalah salah satu hal yang dia ingin sesali, bahkan rasanya seperti ingin pergi dari muka bumi dan menanamkan wajah di dalam tanah.
"Sejak awal aku tidak pergi dari sini, aku bahkan mendengar perkataanmu tentang—" Rangga menatap sebentar lalu tersenyum dengan ekspresi menggoda. "kau berkata akan mengorbankan nyawamu, apa itu benar?"
"I-itu bu-bukan seperti—apa yang kau pikirkan." dengan cepat Kieran memalingkan pandangannya ke arah lain seolah dengan menghindari tatapan mata. "aku bilang—tentang anjingku kok, nama-nya sama dengan namamu, itu saja."
"Jadi kau adalah tipe tsundere sekarang ya?" Rangga berjalan menghampiri ke arah Kieran hingga jarak mereka hanya beberapa langkah saja. "dan kenapa wajahmu terlihat sedikit memerah? Jangan bilang kau menyukai aku."
"Kalau iya kenapa?" ucap Kieran, suaranya terdengar bergetar namun terdengar seperti keseriusan di dalamnya.
"Kau menyukai aku, tch—sebaiknya kau pergi main boneka dengan para gadis lain." ucap Rangga sembari berjalan mundur. "dan sekarang sudah jam pulang sekolah, sebaiknya kau pergi ke rumahmu."
"Eh, jam pulang sekolah?" Kieran tampak panik dan tanpa sadar dia malah mendekat ke arah Rangga. "sejak kapan? Kenapa aku tak mendengar—" seketika kepalanya terasa sakit dan bahkan pandangannya kabur.
Dalam pikiran Kieran dia masih bingung dengan rumahnya, karena berasal dari dunia nyata sementara di sana adalah dunia bagian dari kisah tertulis berjudul Star Infinite, dia pun terdiam tak bisa memikirkan apapun karena dia bahkan tidak memiliki relasi cukup dnegan para karakter dalam film tersebut.
"Ini ranselmu." Rangga berkata sembari menyerahkan sebuah ransel berwarna ungu kepada Kieran. "sebaiknya kau itu segera pulang karena malam hari sangat berbahaya bagi seorang perempuan jika berjalan sendirian."
Setelah mengatakan hal itu Rangga berbalik dan langsung meninggalkan Kieran berdiri mematung di depan ruangan studio tanpa melakukan apa apa.
"Aku tidur dimana?" gumam Kieran sembari berjalan meninggalkan tempat itu, sekelilingnya adalah hal asing.
Walau Kieran pernah melihat beberapa bangunan itu dari dalam layar tivi namun semuanya tampak berbeda, tidak mungkin kalau dia akan masuk ke dalam rumah orang yang bahkan tidak dia kenali, dia lalu berjalan ke arah taman berharap bisa menghabiskan malam di sana meski dia tahu kalau udara akan sangat dingin.
Langkahnya terhenti ketika dia berada di sebuah taman, lampu lampu kini menyinari setiap sudut kota, bahkan orang orang mulai terlihat melakukan aktivitas mereka seperti bekerja atau pulang dari tempat kerja.
"Haaa..." Kieran mendesah panjang seolah hari dia akan melalui hari lebih panjang.
Beberapa saat berlalu dan akhirnya Kieran memutuskan untuk tidur di taman itu, apalagi di sana gratis dan tidak akan menganggu orang lain, dan bahkan dia belum memiliki hubungan spesial dengan seseorang yang cukup untuk menawarkannya tempat berteduh di malam hari.
Dengan perlahan Kieran menaiki pohon meski agak kesulitan tapi dia berhasil menahan bobot tubuhnya, namun untuk mencapai ke atas membutuhkan usaha lebih keras, apalagi dia bukan ahli dalam bidang olahraga, meski kadang sebuah penyesalan selalu terlintas dalam pikirannya yaitu dia menolak ketika orang tuanya hendak mengajarkan gymnastic.
Tapi waktu tidak bisa di ulang meski dia telah mencurahkan air mata sebanyak sungai amazon, setelah beberapa waktu berlalu tapi tampaknya Kieran tak mengalami peningkatan, dia masih berada dua centi dari atas tanah walau membuatnya frustasi.
"Sepertinya ada pertunjukan baru nih." ucap seseorang dari belakang, suaranya tenang namun seperti menusuk tajam "sejak kapan kau berada di sana."
Kieran menghentikan upayanya untuk memanjat pohon dan berbalik menatap sosok di belakangnya. "Alya, apa yang kau inginkan dariku." ucapnya dengan nada dingin dan tak merasa nyaman setelah kehadiaran gadis berambut hitam di kepang itu.
"Aku? Kenapa kau berpikir kalau aku memiliki rencana buruk padamu?" tanya Alya sembari memiringkan kepala. "kau berkata seperti itu seolah olah telah mengenalku dengan baik."
"Maaf, tapi aku tidak pernah tertarik pada karakter NPC sepertimu." Kieran berkata dalam hati. "lihat wajahmu ada di frame aja bikin aku pengen tidur dan hampir aku skip."
Tidak mendapat jawaban dari Kieran membuat Alya berbicara sembari memecah keheningan. "kenapa? Apa wajahku telalu cantik hingga membuatmu terpesona?"
"Apa?!" Kieran menatap seakan itu adalah hal terbodoh yang pernah dia dengar selama hidupnya, meski dia mengakui kalau wajah Alya memang cantik.
"Aku sedang sibuk jadi kau bisa melanjutkan kegiatan—" Alya menatap ke arah Kieran sebelum akhirnya tertawa geli. "memanjat, beri tahu aku besok hasilnya ya?"
Tapi bagi Kieran hal itu tidak penting sama sekali, karena dia sedang mengalami dilema perasaan, antara melepaskan Rangga atau berusaha mendapatkan cinta dari seseorang dengan watak datar serta hampir tak memiliki perasaan.
"Aku—akan berjuang." ucap Keiran, kali ini dia merasa tekad kuat mengalir ke dalam tubuhnya.
"Dan? Apa hubungannya denganku?" Alya mengangkat bahu seakan tak peduli.
Tanpa mempedulikan keberadaan dari Alya di sana, Keiran melanjutkan kegiatan memanjatnya walau dia sadar kalau mungkin sampai pagi perjuangannya tak akan berhasil sama seperti mengejar cinta Rangga.
"Ayo berjuanglah!" teriak Alya seakan sedang memberikan semangat kepada seorang peserta lomba olahraga. "kau pasti bisa, ayo!"
"Dan kenapa kau masih menonton di sana? Bukankah kau seharusnya pergi saja?" ucap Kieran sembari memegang ranting pohon. "kau bisa pergi karena aku akan—"
Dengan segenap tenaga yang dimiliki Kieran akhirnya merasa kalau kali ini dia telah berhasil memanjat pohon sampai tinggi. "aku akan tidur di sini."
"Apa kau mau tidur di tanah atau—" Alya menatap ke depan dengan wajah kebingungan. "apa kau tahu kalau selama ini kau itu belum sampai ke—"
Namun sebelum selesai berbicara datang seekor anjing datang menggonggong dengan keras bahkan membua Kieran yang tadinya tak bisa memanjat pohon, kini berada tepat di atas ranting sembari memegang dengan erat.
"Sejak kapan kau bisa memanjat?" teriak Alya sambil memandang ke atas.
"Itu bukan urusanmu!!" teriak Kieran sembari memejamkan mata, dia tak pernah tahu kalau dirinya benar benar akan berada di atas pohon hanya karena di kejar seekor anjing.
Dari arah belakang terdengar langkah kaki mantap, dia pun mengusir anjing itu lalu menghadap ke atas. "kau bisa tinggal di rumahku, itupun kalau kau mau."
Kieran membuka matanya perlahan, melihat sosok yang berbicara itu adalah Rangga, dengan tangan di saku dan tatapan tajam namun sedikit lembut, dia bediri di bawah pohon tempatnya memgang ranting dengan kaku, namun anjing itu sudah tak terlihat tampaknya sudah di gertak oleh Rangga.
"Rumahmu?" Kieran tergagap, dia tak percaya dengan tawaran yang baru saja di dengar meski dia terlihat bahagia ketika hal itu terdengar dari mulut Rangga
"Ya, rumahku." Rangga mengulangi perkataanya dengan nada tenang namun tak sabar. "dari pada tidur di atas pohon seperti burung, kurada iru akan lebih baik dan nyaman untukmu."
"Ta-tapi aku—enggak tahu gimana—" Kieran tampak bingung menjelaskan keadaannya saat itu. "turun dari—pohon." dia tertawa namun terasa canggung.
"Tenang biar aku urus." Rangga berkata dengan nada lembut dan bahkan menenangkan.
Dengan perlahan Rangga menaiki pohon itu hingga akhirnya tiba di samping tempat Kieran duduk, dia tahu bagaimana rasanya berada di atas pohon, karena dulu sewaktu kecil dia pernah di kejar anjing dan terpaksa harus memanjat pohon, dia pun tersenyum sembari memgingat kejadian itu seolah sosok dia kecil berada dalam Kieran.
"Pegang tanganku." ucap Rangga sembari mengulurkan tangannya.
Tanpa mengatakan apa apa, Kieran mengulurkan tangannya pada Rangga, di wajahnya meski terlihat sedikit ragu, apalagi ketika melihat ke arah bawah pohon jaraknya terasa sangat jauh bahkan seperti berada di atas gedung pencakar langit yang tinggi.
Sementara itu Rangga tampak tak sabar, dia pun memeluk tubuh Kieran dengan perlahan lalu menuruni pohon hingga tak terasa sudah berada di tanah
"Kau bisa membuka mata sekarang." ucap Rangga, sambil melepaskan pelukannya. "kita sudah sampai—"
"Bisakah kau mengendongku sampai ke rumahmu?" Kieran tampak nyaman ketika berada di pelukan tersebut.
"Tch, baiklah." Rangga menggerutu namun dia berjalan ke arah rumahnya.
Sementara itu Alya yang melihat kejadian tersebut dari jauh seakan hal itu adalah sesuatu berita bagus, dan dalam sekejap bayangannya mulai menghilang seakan tersembunyi dalam gelapnya malam.
Beberapa saat kemudian akhirnya Rangga berhenti di depan pintu rumah. "sudah sampai." ucapnya, suaranya terdengar sedikit dingin namun terdapat sedikit kelembutan.
Secara perlahan Kieran membuka mata lalu berdiri di atas kedua kakinya, dia melihat sekeliling dan menjadi tak percaya kalau dia tengah berada di depan rumah Rangga, karakter favoritnya selama menonton film Star Infinite, dia bahkan menonton sampai 16 kali film episode 1.
Pintu kayu itu berdecit ketika terbuka dan di sana ada seorang gadis muda yang sangat cantik, wajahnya mirip bahkan sama persis dengan Rangga hanya saja lebih bersemangat seakan sedang bahagia, dan dengan cepat Kieran menyimpulkan usia gadis itu baru 23 tahun.
"Kamu adiknya Rangga ya?" Kieran menatap wajah gadis itu dengan berbinar binar seakan baru pertama kali dia mengetahui hal itu.
Meski selalu menonton film Star Infinite tapi, Kieran merasa tidak pernah melihat sosok tersebut, dia pun berpikir mungkin telah melewatkan sesuatu, dia tersenyum namun sedang berpikir keras tentang episode atau adegan yang mungkin terlewat.
Suara Rangga seketika memecah keheningan. "Mama, aku mau kenalin ini teman aku namanya Kieran, tadi aku ajak kesini karena dia mau tidur di atas pohon." jelasnya.
"E-eh? Apa?" Kieran memandang Rangga dan gadis itu bergantian seakan tak percaya dengan apa yang baru dia dengarkan.
"Kamu teman Rangga ya? Katanya yang baru pindah sekolah itu?" gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang seolah mengizinkan mereka untuk masuk.
"Nama ibuku, Rosa, walau wajahnya awet muda tapi usia—"
Sebelum menyelesaikan perkataannya, Rosa menepuk kepala Rangga hingga terjatuh ke lantai sembari memegang kepalanya. "Rangga, apa kalian tahu? Usia bagi seorang perempuan itu masalah besar!" dia mendengus sembari mengembungkan pipi.
"Maaf aku enggak bermaksud mengganggu dan mungkin—"
Tanpa mendengar perkataan lagi, Rosa menarik tangan Kieran menuju ke meja makan, "Ayo kita makan sekarang, kamu gak alergi kan?"
"Mama, masak sama anak sendiri kayak gitu." Rangga berdiri dan menutup pintu depan lalu berjalan ke arah meja makan.
Meski merasa aneh ketika berada dalam film Star Infinite tapi Kieran bahagia karena bisa melihat sisi Rangga yang bahkan tidak dia ketahui olehnya selama menonton film, dia pun tersenyum sendiri bukan karena makanan itu namun informasi baru tersebut.
"Habis ini kita main game, gimana?" tanya Rosa dengan wajah berbinar binar.
"Mama, kita bahkan belum selesai makan." Rangga menepuk kepala tak percaya kalau ibunya akan berkata blak blakan, walau dia sebenarnya telah tahu hal itu dengan baik.
"Omong omong di mana Kieran akan tidur?" tanya Rosa.
"Di sofa?" Rangga memiringkan kepala seolah memberikan saran meski dia tak terlalu yakin akan jawabannya itu.
"Rangga!" Rosa berdiri dan menatap tajam. "Ya kali kau biarin cewek seperti Kieran tidur di sofa, dingin loh."
Namun sebelum menjawab Kieran berdiri dan berkata. "Aku senang kok berada di sofa, lagi pula Rangga sudah membawa aku ke rumahnya, bukankah akan menjadi buruk kalau aku meminta lebih?"
"Kau...terlalu baik." Rosa memeluk tubuh gadis di depannya dan terkadang mengusap mata.
"Nanti aku bawain selimut dan memasang penghangat ruangan." Rangga berkata sambil beranjak dari mejanya.
Beberapa saat Rangga telah mengatur semua yang di butuhkan agar Kieran bisa merasa tenang serta nyaman, meski dia tak tahu kenapa dirinya melakukan hal itu, apalagi sebenarnya sebelum itu dia tengah beristirahat di rumah dan ibunya menyuruh pergi ke taman.
Tak lama kemudian Rangga kembali ke ruang makan. "sudah selesai, kau tinggal tidur saja." ucapnya sembari memasukan makanan ke dalam mulutnya.
"Terima kasih, tante, dan juga Rangga." ucap Kieran sambil menikmati makanan yang ada di depannya dan entah kenapa rasanya lebih enak padahal itu adalah makanan simpel, tapi cukup untuk mengingatkannya pada sosok ibunya ketika berada di dunia nyata.
Setelah beberapa saat berlalu dan mereka selesai makan, Kieran berdiri mengambil piring untuk membersihkannya, tapi Rosa menggelengkan kepala dan memberi isyarat kalau dia akan melakukannya.
Meski merasa sedikit canggung, akhirnya Kieran mengangguk dan berjalan ke arah sofa dan sekejap dia melihat ke arah langit langit rumah, walau terkadang dia merasa sakit hati karena kalau dia tidur mungkin akan mengembalikan ke dunia nyata.
Tapi perasaan mengantuk seakan menghampiri Kieran, matanya mulai menutup dan dia bahkan merasa tubuhnya melemah meski dia berusaha untuk tetap terjaga, namun perasaan hangat keluarganya dan teman baiknya Maya seakan merasuki kepalanya, dia bingung harus memilih apa.
Ketika matanya terpejam Kieran mendapati dirinya berada di sebuah tempat kosong, tak ada apapun di sana seperti berada di dalam ruang hampa, hingga terdengar suara misterius dari belakangnya. Saat berbalik dia melihat sosok tinggi dan mengintimidasi.
"Jadi, apa pilihanmu? Tetap berada di dunia Star Infinite, bersama Rangga atau kembali ke dunia nyata bersama keluarga dan temanmu? Buatlah pilihan sekarang sebelum kau menjalin hubungan kompleks dengan seseorang."