Hari itu seharusnya menjadi hari yang biasa bagi Yoo Haeun, karena setelah seharian panjang bersekolah, ia merasa kalau ia bisa bersantai sejenak sambil melupakan fakta bahwa ujian tengah semester akan segera di adakan dalam waktu dekat.
Namun langkah kali Yoo Haeun terhenti ketika ia memasuki ruang santai di rumahnya, ketika orang tuanya memanggil namanya membuat semuanya seakan berubah.
Dengan perlahan Yoo Haeun duduk di sofa dengan ranselnya masih menggantung di pundaknya, ia merasa bahwa hari itu mungkin akan berubah apalagi setelah melihat wajah serius ayahnya.
“Kayaknya ini gak baik deh!!” gumam Haeun pada dirinya, sambil menatap ke arah ayah dan ibunya secara bergantian.
Ayahnya Yoo Jiseok, duduk dengan tangan terlipat di depan dada, sementara sang ibu Kang Mirae, memandangnya dengan tatapan lembut namun tegas.
“Ada apa?” tanya Haeun, merasa gelisah dengan suasana canggung ini.
Jiseok menarik napas dalam sebelum berbicara. “Haeun, setelah kami mikirin ini beberapa saat, kami udah mutusin sesuatu buat masa depan kamu.”
Jantung Haeun berdegup lebih cepat dari biasanya. “apa maksudnya itu?”
Mirae tersenyum tipis. “kamu bakal tunangan sama anak dari keluarga Han yang bernama Han Ryeojin bulan depan.”
Seketika keheningan menyelimuti ruang santai yang luas tersebut, hanya terdengar suara nafas dan bahkan detak jarum jam.
Sejenak Haeun berpikir bahwa ia salah dengar, ia pun mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menatap mereka dengan kebingungan. “tunggu—apa?”
“Kamu bakal tunangan sama Han Ryeojin,” ulang Jiseok, kali ini dengan nada yang lebih tegas.
Haeun tertawa kecil, berharap ini hanya lelucon buruk. “kalian bercanda, kan?”
“Kami serius.” sela Jiseok tanpa mengubah posisi duduknya. “ayah yakin kalian akan akrab selain karena seumuran tapi orang tua Ryeojin adalah anak dari teman ayah.”
Haeun menelan ludah, merasa tenggorokannya tiba tiba menjadi kering, Han Ryeojin—Nama itu bukan nama asing baginya, ia adalah putra keluarga Han, salah satu keluarga terpandang yang memiliki pengaruh besar di dunia bisnis.
Haeun tahu siapa dia—pemuda tampan yang selalu terlihat sempurna, selalu menjadi pusat perhatian, dan dikenal sebagai pria ganteng serta banyak diincar oleh gadis-gadis seusianya, tapi bukan itu masalahnya.
Karena ada satu hal yang membuat Haeun menolak perjodohan tersebut, dan itu benar benar membuatnya muak.
“Kalian bahkan gak minta pendapat aku soal ini!!” Suara Haeun naik satu oktaf, matanya membelalak marah.
“Kamu gak perlu mikir terlalu banyak, Haeun,” kata Mirae dengan lembut. “Keluarga Han adalah keluarga baik baik, dan Ryeojin adalah pria yang luar biasa, ia bakal jadi suami ideal dan sempurna buat kamu.”
“Tapi, aku baru enam belas tahun!” Haeun bangkit dari duduknya, matanya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan. “gimana bisa kalian mutusin sesuatu sepenting ini tanpa ngasih tai aku lebih dulu?”
Jiseok meletakkan cangkir tehnya dengan suara pelan, tapi tegas. “Haeun, perjodohan ini bukan cuma soal kamu, tapi ini juga soal keluarga kita, ini tentang kehormatan dan masa depan.”
Haeun mengepalkan tangannya, berusaha menahan rasa frustrasi yang membuncah dalam dadanya. “jadi, aku emang gak punya hak buat milih masa depan aku sendiri?”
Jiseok menatapnya dalam dalam. “kamu bakal tunangan dan acaranya tepat bulan depan, gak ada lagi diskusi lebih lanjut.”
Haeun merasakan seluruh dunianya runtuh, ia menggelengkan kepalanya, matanya mulai terasa panas. “aku gak bisa percaya ini—”
Tanpa menunggu lebih lama, Haeun berbalik dan berlari keluar dari ruang tamu, mengabaikan suara Mirae yang memanggil namanya, membawa ransel di balik punggungnya.
Haeun berlari melewati taman dan menyeka matanya. “kenapa ini selalu terjadi sama aku??”
Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya Haeun merasakan sedikit ketenangan, ia pun memilih untuk duduk di atas bangku taman belakang rumahnya, mencoba mengatur nafasnya.
Udara sore itu terasa sedikit lebih sejuk membantunya menenangkan pikiran, meski begitu dadanya masih terasa sesak, seolah tak ada udara yang masuk.
“Pertunangan? Dengan Han Ryeojin? Ini benar benar omong kosong.” gumam Haeun, suaranya terdengar serak.
Selama ini ia bahkan tak pernah bertemu atau melihat sosok pemuda yang menurut orang tuanya akan menjadi tunangannya, tapi entah kenapa ia merasa kalau ia terus mengikuti permintaan dari Jiseok serta Mirae hanya akan mengubahnya menjadi boneka.
Tangannya mencengkeram ujung roknya dengan erat, ia tak akan membiarkan ini terjadi, dan dengan cara apapun ia harus menemukan jalan keluar walau itu berarti menentang keluarganya, salah satu keluarga terpandang.
“Haeun?” Suara familiar itu membuatnya menoleh. Seo Jihyun, sahabatnya sejak kecil, berdiri dengan ekspresi cemas. “gak biasanya kamu keliatan kayak kayu kering gini, ada apa emangnya?”
Haeun menggigit bibirnya, lalu menghela nafas berat. “orang tuaku mau jodohin aku sama Han Ryeojin.”
Jihyun terkejut. “apa? Kapan?”
“Bulan depan,” jawab Haeun dengan nada putus asa. “dan aku bahkan hak di kasih kesempatan buat nolak.”
Jihyun duduk di sebelahnya, menatapnya penuh simpati. “itu agak gila, sih, terus apa kamu tau alasan mereka lakuin ini?”
“Tentu aja aku tau, mereka bilang ini demi keluarga, demi masa depan, demi kehormatan, tapi aku gak peduli! Aku gak mau nikah sama orang yang bahkan hampir gak aku kenal.”
Sejenak Jihyun terdiam, pikirannya berputar mencari celah di antara kebuntuan, kemudian, dengan suara pelan namun penuh keyakinan, ia berkata, “kalo gitu, kita harus nyari cara lain supaya kamu bisa nolak perjodohan ini.”
Mendengar hal itu, Haeun menoleh dan menatap ke arah sahabatnya dengan mata hijau yang kini memantulkan secercah harapan. “emangnya kamu punya ide?” tanyanya, setengah ragu namun ingin percaya.
Jihyun mengulas senyum kecil, penuh misteri. “buat sekarang belum sih, tapi kita bisa nyari bareng, gimana menurut kamu?”
Karena ternyata belum juga ada yang bisa ia lakukan, Haeun menghela napas, matanya menyipit curiga. “aku juga gak tau, asal bukan ide gila lainnya.”
Dengan pelan Jihyun terkekeh pelan, memasang ekspresi seolah tak terima. “hey, sejak kapan ide aku gila? Kadang sih emang agak nyentrik, tapi seenggaknya berhasil kan?”
sambil menyunggingkan senyuman, Haeun melipat tangan di dada, menatap sahabatnya dengan alis terangkat. “dari 10 ide, cuma 3 doang kan yang berhasil.”
Jihyun mengedikkan bahu dengan santai. “tapi seenggaknya aku punya ide kan?”
Haeun menghela napas lagi, tapi kali ini lebih ringan. “jadi apa ide kamu kali ini?”
Keheningan sesaat mengisi ruang di antara mereka, namun di dalam hati, Haeun tahu—meskipun situasi ini terasa mustahil, setidaknya ia tidak sendirian, ada seseorang yang bersamanya dan mungkin akan memberinya jawaban akan semua pertanyaan dalam hatinya.
Dengan bantuan Jihyun sahabatnya, Haeun yakin kalau ia akan menemukan jalan keluar, tak peduli bagaimana caranya, jika itu bisa membuatnya lepas dari perjodohan itu, maka hal itu patut di coba.
Saat itu Haeun masih sibuk memikirkan sebuah solusi yang bisa membebaskan dirinya dari sebuah perjodohan paksa kedua orang tuanya, namun meski sedang bersama teman baiknya Jihyun tapi ada sesuatu mengganjal hatinya.
Setelah beberapa saat berpikir serta mencoba menyusun rencana bersama sahabatnya Jihyun, namun tak ada satu pun dari rencana itu yang terasa cukup masuk akal.
“Aku gak mungkin pura pura sakit, mereka pasti bakal panggil dokter keluarga,” gumam Haeun sambil menekuk wajahnya.
“Kalo gitu ceritanya, gimana kalo kamu pura-pura punya pacar?” usul Jihyun.
Haeun mendesah. “dan siapa yang mau jadi pacar pura-pura aku? Semua orang pasti takut sama keluarga Han, kamu tau kan betapa berpengaruhnya keluarga itu.”
Jihyun menggaruk kepalanya. “ya juga sih—kamu ngomong kayak gitu malah bikin semua tambah ribet dah.”
Karena tak juga menemukan solusi yang tepat, Haeun bangkit dari bangku taman, merasa gelisah, matanya menatap kosong ke arah pepohonan ketika bergoyang saat tertiup angin. “aku butuh udara segar, aku mau jalan jalan dulu sebentar, ke taman mungkin, siapa tau aja kan di sana ada ketenangan.”
Jihyun mengangguk. “hati hati ya, jangan lupa kirim pesan ke aku kalo ada apa apa.”
Tapi Haeun tak menjawab, ia hanya mengacungkan jempol saja tanpa melirik ke arah temannya, dan tanpa tujuan yang jelas, ia berjalan keluar dari pekarangan rumahnya menuju ke arah taman kota untuk sekedar melepas penat setelah banyak berpikir.
Karena jarak antara rumahnya dan taman kota tak jauh, ia ingin menenangkan pikirannya, berharap bisa menemukan inspirasi di tengah suasana yang lebih terbuka.
Namun di sanalah sesuatu yang tak terduga terjadi, entah itu adalah keajaiban atau malahan sebuah malapetaka.
Udara sore di taman itu yang sejuk seharusnya bisa sedikit membantu, tapi pikiran tentang perjodohan paksa tersebut semakin dekat tetap menghantuinya walau masih beberapa bulan lagi.
Saat ia melangkah di jalan setapak taman, matanya menangkap sosok pria yang tampaknya sedang asyik dalam dunianya sendiri, tengah duduk di bawah pohon, membaca buku dengan santai.
“Andai aja aku bisa sesantai itu ya...” gumam Haeun pada dirinya, karena berpikir kalau pria itu tak memiliki masalah.
Tapi entah kenapa di mata Yoo Haeun, pria itu memiliki aura berbeda—tenang, sedikit misterius, namun juga terlihat tak terlalu peduli akan dunia di sekitarnya, tenggelam dalam dunianya sendiri.
Pria itu tampak santai, mengenakan kaos kasual berwarna hitam dan celana jeans gelap, meskipun ada sesuatu yang tampak berbeda darinya dibandingkan orang biasa.
Rambutnya berwarna ungu gelap, kontras dengan mata amber yang tampak tajam namun tenang, ia membaca buku dengan ekspresi serius, seakan-akan dunia di sekitarnya tidak ada.
Entah kenapa, Haeun merasa dorongan untuk mendekatinya, apakah tertarik dengan ekspresi pria tersebut atau mungkin karena dorongan untuk membatalkan pertunangannya.
Namun satu hal yang Haeun ketahui, yaitu ia tengah mencari bantuan, dan jika ia mengikuti rencana sahabatnya Jihyun, maka salah satu cara adalah mendapatkan pacar.
Setelah beberapa saat yang terasa berabad-abad, Haeun akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian, ia lalu berkata, “maaf mengganggu, tapi aku butuh bantuan...darimu.”
Pria itu meliriknya sekilas, lalu menutup bukunya, tatapannya menelusuri wajah Haeun sebelum ia bersuara, “bantuan seperti apa?”
Haeun menggigit bibirnya, merasa sedikit canggung berbicara dengan orang asing, tapi ia tak punya pilihan lain, apalagi jika orang tersebut akan menjadi pacar pura puranya.
Haeun menarik nafas panjang, lalu berkata. “sebenarnya orang tua aku udah ngasih tau kalo mereka bakal jodohin aku sama seseorang, dan aku bener bener gak mau.”
Pria itu tak segera menjawab sebaliknya ia justru menatap Haeun lebih lama, seolah menimbang sesuatu yang tak terucapkan.
“Dan apa alasan kamu berpikir kalau aku mau bantuin?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar datar namun penuh arti.
“Itu karena kamu kayaknya beda,” ujar Haeun, matanya berbinar penuh keyakinan.
“Beda?” Pria itu mengernyit tipis. “apa maksud perkataan kamu?”
Dalam percakapan yang terasa semakin intens, Haeun menatap lawan bicaranya dengan ragu sebelum akhirnya berbicara, suaranya sedikit tertahan.
"Kamu kelihatan dewasa, tenang, dan—" Haeun menggantungkan ucapannya, matanya bergerak gelisah, mencari kata yang tepat.
"Dan?" Pria di hadapannya menyelidik, suaranya terdengar semakin dalam, penuh rasa ingin tahu.
Haeun menghela napas sebelum akhirnya memberanikan diri, "mungkin bisa bantuin aku?"
Pria itu menyipitkan mata, menebak arah pembicaraan. "jadi kamu mau aku jadi alat buat gagalin perjodohan kamu?"
"Bukan gitu maksud aku," jawab Haeun cepat, mencoba menjelaskan sebelum pria itu salah paham lebih jauh.
Pria itu berdiri hingga jarak antara dirinya dan Haeun hanya beberapa inci saja kemudian, dengan suara datar, ia berkata, “kalo emang itu yang kamu mau, baiklah aku bakal bantuin, jadi menikahlah denganku.”
Haeun terdiam, otaknya berhenti bekerja sejenak. “A-apa?”
Pria itu mengangkat alisnya, ekspresinya masih tetap tenang. “kalo kamu nikah sama aku, itu bakal buat keluarga kamu gak bisa lagi maksa kamu buat tunangan sama orang lain, bener gak?”
Haeun menatapnya seakan pria ini baru saja kehilangan akal sehat. “aku bahkan gak kenal siapa kamu…”
Senyuman tipis terulas di bibir pria itu. “Jang Minjae,” ujarnya santai. “dosen sekaligus pengajar dan peneliti di Universitas Hanyang.”
Haeun membelalakkan mata, Dosen? Tapi pria ini tampak masih muda dan begitu santai, tidak seperti bayangannya tentang seorang profesor yang serius dan kaku.
Apalagi dalam penilaiannya pria ini mungkin hanya berbeda 7 tahun darinya, yang berarti masih 24 tahun
“Tunggu… dosen? Lalu kenapa kamu…” Haeun melirik penampilannya yang kasual.
Minjae terkekeh pelan. “aku harus ngasih tau kamu satu hal, dosen juga manusia, aku gak lagi mengajar sekarang, jadi aku bisa berpakaian sesantai yang aku mau.”
Haeun masih bingung. Ia tidak tahu apakah pria ini sedang bercanda atau benar-benar serius.
“Kamu bahkan baru ketemu aku, kenapa kamu malah nawarin pernikahan?” tanyanya curiga.
Minjae menutup bukunya dan bersandar ke pohon, menatap langit dengan ekspresi berpikir. “mungkin karena aku sedang bosan,” ujarnya datar. “atau mungkin karena aku tau rasanya dipaksa buat jalanin sesuatu yang gak diinginkan.”
Nada suaranya terdengar lebih serius di akhir kalimat itu.
Haeun menatapnya lama, Pria ini jelas bukan orang biasa.
“Jadi? Apa kau menerima tawaranku?” Minjae bertanya dengan ekspresi santai, seolah mereka sedang membicarakan sesuatu yang sepele. “tapi kalo dipikir lagi, aku bahkan belum tau nama kamu.”
Haeun menelan ludah, ini mungkin ide gila lainnya, tapi… apakah ia punya pilihan lain? Di satu sisi ia tak mau dijodohkan paksa atau menghabiskan waktu bersama orang yang ia tak cintai.
“Tapi sebelum itu, siapa nama kamu, nona cantik?” tanya Minjae sambil mengedipkan sath matanya.
Namun di depan Haeun saat ini ada seorang pria yang bahkan langsung melamarnya untuk menikah, apakah ini semacam lelucon atau bahkan prank, tapi tatapan pria itu tampak—serius.
Haeun menatap Minjae dengan berbagai emosi berkecamuk dalam dirinya, tawaran itu terlalu mendadak, dan terdengar sedikit gila bahkan absurd, namun ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa bahwa perkataan tersebut bukan main main, termasuk pernikahan itu.
"Haeun," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan. "Namaku Yoo Haeun."
Minjae mengangguk pelan, seolah menghafalkan namanya di dalam kepala. "baiklah, Yoo Haeun, jadi, apakah kamu mau nerima tawaran pernikahan ini?"
Haeun menggigit bibirnya, menikah dengan pria yang baru saja ia temui? Tentu saja, itu terdengar tidak masuk akal dan sedikit gila, meski pria di depannya itu tampak menawan bahkan ia ingin memberikan ciuman jika diberi kesempatan.
Tapi di sisi lain, ini adalah satu-satunya solusi yang terdengar efektif untuk menggagalkan perjodohan paksa oleh keluarganya.
"Aku..." Haeun menarik napas dalam, menimbang berbagai kemungkinan dalam benaknya.
Jika Haeun menerima tawaran ini, hidupnya akan berubah drastis, tapi kalau tak, maka perjodohan itu akan tetap berjalan dan ia akan kehilangan kebebasannya.
Melihat keraguan di wajah Haeun, Minjae menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "aku gak bakal maksa, seenggaknya untuk sekarang." katanya santai. "pikirin aja dulu, tapi kalo kamu nantinya setuju, aku bakal langsung siapin pernikahannya."
Haeun terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "okelah, aku bakal coba pertimbangkan lagi."
Minjae tersenyum tipis. "bagus...kalo gitu, kita perlu bertukar kontak, kalo kamu udah ngambil keputusan, kasih tau aku."
Haeun menatap pria itu dan tampak sedikit ragu, namun akhirnya ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya.
Mereka bertukar nomor dengan cepat, dan Minjae memasukkan kontaknya dengan nama sederhana : Jang Minjae.
"Kalau butuh sesuatu atau ingin bertanya soal rencana ini, hubungi aku kapan aja," ujar Minjae sambil memasukkan ponselnya kembali ke saku. "tapi jangan terlalu lama mikirnya, siapa tau aku udah keburu berubah pikiran, karena aku cukup populer loh~."
Nada suaranya terdengar setengah bercanda, tapi Haeun bisa merasakan kesungguhan di balik kata katanya.
"Aku bakal ngasih tau kamu, dan aku juga mastiin kalo itu bukan harapan palsu," ujar Haeun pelan, masih belum sepenuhnya percaya dengan situasi ini.
Minjae mengangguk, lalu mengambil kembali bukunya yang sempat ia letakkan di bangku taman. "kalo gitu, sampai jumpa lagi, Yoo Haeun."
Haeun hanya bisa mengangguk sebelum berbalik pergi, saat berjalan keluar dari taman, pikirannya penuh dengan kemungkinan kemungkinan baru. Apakah ia benar benar akan menikah dengan pria asing ini? Ataukah ada cara lain untuk membebaskan dirinya?
Satu hal yang pasti—sejak pertemuannya dengan Jang Minjae, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Dengan langkah pelan, Haeun berjalan kembali ke taman belakang rumahnya, sambil memikirkan rencana berikutnya meski ia tahu satu jawaban yang akan ia berikan pada Minjae.
Ternyata di taman, sahabat setianya masih duduk di sana, namun kali ini ada sebuah nota catatan di genggaman tangan Jihyun, ia bahkan terlihat sangat serius seperti tengah memikirkan pelajaran matematika.
“Banyak mikir bikin stres loh.” Haeun berkata sambil duduk di samping sahabatnya. “lagi nyelesaiin soal ujian Mtk ya?”
Tapi Jihyun hanya tertawa tipis dan memutar mata. “ya, ejek aja terus, kamu kan udah pinter—” tiba tiba ia berhenti karena catatannya bukan tentang soal ujian.
Namun setelah beberapa saat Jihyun sadar kalau ekspresi sobatnya tak murung seperti sebelumnya, ia pun berdiri sambil meletakan nota catatannya di kursi lalu memperhatikan dengan seksama wajah temannya dari ujung kepala sampai kaki.
Ekspresi bingung terlukis jelas di wajah Jihyun, ia pun bertanya. “Haeun,jangan bilang kalo kamu udah setuju sama pertunangan itu??”
Haeun hanya tersenyum tipis tak menyadari kalau wajahnya terus tersenyum setiap kali memikirkan sosok pria bernama Minjae, ia bahkan sangat bahagia, dan tak sabar memberitahu lewat pesan kalau nanti ia akan menerima tawaran tersebut.
“Aku cuma lagi abis makan eskrim kok.” ucap Haeun sambil mencoba memalingkan pandangan agar sahabatnya rak tahu kalau wajahnya menjadi merah sekarang ini.
Karena tentu saja Haeun tak bisa mengatakan kalau ia akan menikah dengan orang yang baru saja ia temui, meski pria itu ganteng dan sempurna, tapi ia yakin kalau sahabatnya hanya akan menertawakan dirinya.
Merasa tak puas akan jawaban dari sahabatnya, Jihyun memicingkan matanya, dan menatap dengan ekspresi penuh selidik. “kamu lagi—cinta sama seseorang ya?” ia lalu berhenti sejenak sambil menutup mulut. “jangan bilang kalo kamu udah suka sama Ryeojin?”
Karena panik akhirnya Haeun melirik sahabatnya. “gimana, aku suka sama dia juga, kocak!! Ketemu aja gak? Aku bahkan gak pernah liat wajahnya kek mana—”
Jihyun terdiam dan merasa semakin penasaran, selama mereka bersama, sahabatnya itu hampir tak pernah tertarik menjalin hubungan dengan siapapun, namun gadis di depannya justru menunjukan hal sebaliknya.
“Jadi—kamu ketemu sama seseorang pas di taman ya?” Jihyun menyikut lengan sahabatnya dan menatap dengan ekspresi menggoda. “siapa tuh, hayo!! Kasih tau lah...”
Tiba tiba Haeun langsung teringat sosok Minjae, dan seketika wajahnya berubah menjadi merah padam seperti tomat, ia tak mau mengakui kalau dirinya bertemu sosok ideal yang selama ini ia impikan, baik, ganteng dan menawan, serta sempurna baginya.
“Aku gak ketemu siapapun, asli demi—”
Jihyun langsung menyela perkataan sahabatnya dan berkata. “terus—kenapa kamu merah gitu? Gak mungkin kan kalo gak ada hal aneh terjadi di sana—taman itu.”
Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya Haeun menceritakan segalanya, ketika ia pergi ke taman dan bertemu seseorang bernama Minjae, yang entah kenapa menawarkan bantuan.
Jihyun tertawa mendengar pernyataan itu dan memukul pundak sahabatnya dengan pelan. “jadi—kamu malah kejebak di dalam drama pernikahan itu?” ia berusaha tenang namun malah ketawa lepas. “pfftt... bisa jadi drama bagus nih.”
Haeun memutar mata dengan agak kesal, meski ia juga sempat berpikir kalau kejadian beberapa saat lalu dengan Minjae memang sangat absurd, walau ia merasa bahagia pada waktu bersamaan.
Hidup Haeun, tak perlu terikat dengan perjodohan paksa, dan meski itu berarti ia harus menikahi orang asing yang baru saja ia temui, maka itu lebih baik daripada bersama seseorang karena unsur keterpaksaan.
Haeun menatap ke arah ponselnya dan entah kenapa ia malah mengubah nama Minjae menjadi 'Soulmate' dan di akhiri emot 😘.
Tanpa sadar Jihyun yang memandangi ponsel temannya tampak sedikit penasaran, tapi sebelum ia sempat melihat isinya, Haeun segera memasukan ponsel itu ke dalam sakunya dan berjalan menjauh.
Menjauh dari semua keanehan hari ini, sekaligus memberi jawaban atas tawaran pria luar biasa itu, dalam perjalanan Haeun tersenyum dan tak sabar berada di rumahnya.
Sesampainya di rumah, Haeun langsung menuju kamarnya tanpa menghiraukan suasana sekitar, namun langkahnya terhenti ketika suara ibunya, Kang Mirae, terdengar dari ruang tamu.
“Haeun, kau sudah pulang.” Suara lembut tapi penuh selidik itu menyapanya.
Ayahnya, Yoo Jiseok, yang duduk di sofa, meletakkan korannya dan menatap putrinya dengan pandangan penuh harap. “apa kamu udah mikirin soal perjodohan itu?”
Haeun menoleh sekilas, tapi alih alih menjawab, ia hanya tersenyum kecil dan kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar karena dalam pikirannya masih ada siluet dari pria yang baru saja ia temui di taman, yaitu : Jang Minjae.
Kang Mirae dan Yoo Jiseok saling berpandangan, mencoba menafsirkan reaksi putri mereka, namun justru malah salah paham.
“Dia tersenyum,” gumam Jiseok sambil mengangguk pelan. “kurasa dia udah nerima perjodohan ini, gak biasa sih.”
Kang Mirae masih ragu. “tapi dia bahkan gak ngomong apa apa, agak aneh gak sih?.”
“Gak perlu,” ujar Jiseok yakin. “kalo dia emang nolak, dia pasti bakal nunjukin ekspresi marah atau kesal, tapi lihat aja, dia tampak—puas, kayaknya itu artinya dia udah setuju.”
Mirae menghela napas panjang. “semoga aja kayak gitu, karena perjodohan ini penting buat masa depan keluarga kita.”
Sementara itu, di dalam kamarnya, Haeun menutup pintu dan bersandar pada dinding, mengeluarkan ponselnya, senyum yang tadi tertahan kini mengembang dengan bebas.
Jemarinya menari lincah di atas layar ponsel, membuka daftar kontak dengan jantung berdebar seakan menanti vonis takdir.
Nama Jang Minjae, kini telah di ubah menjadi “Soulmate 😘”—sebuah rahasia kecil dan hanya ia sendiri tahu, tanpa ragu, ia mulai mengetik pesan yang akan mengubah segalanya.
“Aku udah ngambil keputusan dan bakal nerima tawaran kamu.”
Yoo Haeun menggigit bibirnya, menanti balasan dengan perasaan berkecamuk, waktu seolah melambat, detik terasa seperti abad yang enggan berlalu, tatapannya tak lepas dari layar, menanti dengan penuh harap—sampai akhirnya, ponselnya bergetar pelan.
“Bagus, aku bakal nyiapin semuanya, aku harap kamu gak nyesal nanti, Yoo Haeun.”
Sudut bibirnya terangkat, menyesal? Yang ada, justru rasa lega merayap di dadanya, jemarinya kembali bergerak cepat, membalas tanpa ragu.
“Aku bakal lebih nyesel kalau malah nikah sama Han Ryeojin.”
Balasan datang lebih cepat kali ini, seakan orang di seberang sana juga tengah menunggu pesan darinya.
“Kalo gitu, kita bakal nikah sebulan dari sekarang.”
Haeun mengernyit, sebulan? Itu terlalu lama, bisa bisa keluarganya sudah lebih dulu menyeretnya ke pelaminan dengan pria yang bahkan tak ingin ia lihat.
“Sebulan? Itu kelamaan. Keburu tunangan sama Ryeojin nanti, gimana kalo seminggu dari sekarang?”
Hening, ia menatap layar, jantungnya kembali berpacu, kalu balasan itu datang, dengan nada khas yang selalu membuatnya tersenyum.
“Hmm, kamu cukup ngerepotin ya? Kalo gitu, tiga hari dari sekarang, gimana?”
Haeun tersenyum puas. Tiga hari. Itu sempurna.
“Aku gak sabar lihat muka kamu sepanjang hari, Beb~”
Di luar sana, orang tuanya masih yakin bahwa ia akan menerima perjodohan yang mereka atur, tapi di dalam kamar ini, di tengah keheningan yang hanya ditemani layar ponsel.
Haeun sudah merancang takdirnya sendiri—bersama pria yang dipilihnya sendiri, ia tertawa pelan dan meletakkan ponselnya di meja. Ia baru saja mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya—
Dan Haeun tak tahu apakah itu gila atau justru pilihan terbaik yang pernah ia buat.
Setelah beberapa saat berpikir, Haeun merasa seperti ada sesuatu yang kurang, ia pun mengambil jurnal untuk menuliskan idenya untuk hari pernikahan tersebut, tanpa di curigai oleh kedua orang tuanya, hingga ia teringat sahabat terbaiknya Seo Jihyun.
Haeun menatap layar ponselnya, lalu beralih ke jurnal yang baru saja ia isi dengan rencana pernikahannya bersama Minjae.
Namun ada satu bagian yang masih mengganjal—bagaimana cara ia keluar dari rumah tanpa dicurigai oleh orang tuanya?
Haeun menggigit bibir, lalu mendesah pelan, Seo Jihyun. Sahabatnya yang selalu bisa diandalkan dalam situasi darurat seperti ini, tanpa pikir panjang, ia langsung mencari nama Jihyun di daftar kontak dan menekan tombol panggil.
“Halo? Haeun? Ada apa telepon malam gini?” Suara ceria Jihyun terdengar dari seberang. “jangan bilang udah rindu aja sama aku? Padahal tadi baru abis ketemu.”
“Jihyun, aku butuh bantuan kamu,” Haeun berbisik, menoleh ke arah pintu untuk memastikan tidak ada yang menguping.
“Hah? Kedengarannya serius banget, emangnya kenapa?” ucap Jihyun dengan nada sedikit menggoda. “7 rius sekalian.”
“Jihyun, serius dikit napa??” Haeun berkata dengan suara sedikit kesal namun memastikan tak sampai terdengar oleh orang tuanya.
“Oke, sori... jadi apa permintaan kamu?” tanya Jihyun akhirnya.
“Aku mau nikah dengan Minjae dalam tiga hari,” ujar Haeun cepat.
“M—MENIKAH?!” Jihyun hampir berteriak, tapi Haeun buru buru menenangkan.
“Ssst! Jangan berisik, nanti kedengeran orang rumah,” bisiknya panik.
“Tunggu dulu, ini serius? Kamu mau kabur buat nikah sama Minjae? Kapan kalian mulai pacaran? Ketemu di mana??” Jihyun terdengar masih syok, tapi di saat yang sama, ada nada tertarik dalam suaranya.
“Aku jelasin nanti, yang penting sekarang, aku butuh kamu buat pura-pura jemput aku, bilang ke orang tuaku kalo aku mau nginap di rumah kamu beberapa hari, dengan begitu, mereka gak bakal curiga.”
Hening sebentar di seberang. “Haeun, kamu yakin sama ini? Kamu gak takut nyesel?”
Haeun tersenyum kecil. “kalo aku tetap di sini, aku bakal dipaksa nikah sama Han Ryeojin, dan aku tahu aku bakal lebih nyesel kalo itu sampe terjadi.”
Jihyun menghela napas. “Baiklah, aku bakal bantuin kamu, besok pagi aku datang ke rumah kamu dan bilang ke orang tuamu kalo kita ada rencana bareng, kamu siapin semuanya sebelum itu, oke?”
Haeun merasa lega. “terima kasih, Jihyun~kamu emang yang terbaik!”
“Ya, ya, aku tahu aku sahabat terbaik, tapi kamu harus janji bakal jelasin semuanya nanti, ya!”
Haeun terkekeh. “janji.”
Setelah menutup telepon, Haeun merasa adrenalinnya meningkat, rencananya mulai terbentuk dengan jelas.
Besok, ia akan keluar dari rumah dengan alasan menginap di rumah Jihyun, lalu, ia dan Minjae akan melaksanakan pernikahan diam diam—sebuah keputusan yang mungkin terdengar gila, tapi bagi Haeun, ini adalah jalan keluar satu satunya.
Dengan penuh semangat, ia mulai mengemasi beberapa barang penting dalam koper kecilnya, memastikan semuanya siap sebelum hari besar itu tiba.
Haeun menatap ke arah langit langit rumah, dan ia tampak senang, meski pernikahan antara dirinya dan Minjae mungkin terdengar buru buru, tapi jika itu membuatnya bisa memilih, maka—jadilah seperti itu.
Kini, hanya ada satu hal yang tersisa—menunggu hari esok dengan hati berdebar.
Setelah selesai bersiap, Haeun berbaring di atas kasurnya sambil menghela nafas panjang, berharap agar rencana yang telah ia siapkan akan berjalan lancar.
----------------
Tak terasa, waktu berjalan cukup cepat, dan pagi hari yang di nantikan untuk penentuan pun tiba.
Cahaya mentari pagi mulai menerobos tirai kamar, menyinari wajah Haeun yang masih berbaring di tempat tidur, ia menatap langit langit sambil mengatur nafas, mencoba menenangkan detak jantungnya, karena berdebar kencang.
Hari ini adalah hari yang krusial dan sangat penting—hari pertama dari langkah besar yang telah ia rancang bersama Minjae.
Tiba tiba terdengar suara etukan lembut di depan pintu kamarnya yang membuyarkan lamunannya.
“Haeun, ayo sarapan,” suara ibunya, Kang Mirae, terdengar dari luar.
Haeun menghela nafas pelan sebelum menjawab, “iya, mama, aku segera turun.”
Dengan cepat Haeun segera merapikan koper kecil yang sudah ia persiapkan sedari tadi malam, menyembunyikannya di bawah tempat tidur agar tidak mencurigakan.
Setelah memastikan semua terlihat normal, ia keluar kamar dan menuju meja makan memasang ekspresi biasanya, sebuah senyuman palsu, serta menyembunyikan rencana besar di baliknya.
Di meja, Kang Mirae sudah duduk dengan secangkir teh hangat serta beberapa set sarapan dan tak lupa bekal makan siang untuk anak serta suaminya.
Sementara itu Yoo Jiseok tampak sedang membaca koran seperti biasa tampak tak mempedulikan keadaan sekitar, seolah menyerahkan semuanya pada sang istri.
Namun, ada sesuatu di ekspresi ibunya yang membuat Haeun merasa ada berita besar dan akan dikatakan.
Benar saja, beberapa detik kemudian, Kang Mirae menatapnya dengan senyum samar dan berkata, “sore ini—calon tunangan kamu Han Ryeojin bakal mampir ke rumah.”
Jantung Haeun langsung mencelos, tapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan keterkejutannya, ia mengambil sepotong roti panggang dan menggigitnya pelan, menunda responsnya.
Sebelum ia sempat berpikir jawaban yang tepat, tiba tiba terdengar ketukan di pintu depan.
Tok. Tok. Tok.
Haeun refleks menoleh, dan detik berikutnya, suara yang tak asing menyapa pagi mereka.
“Halo, Tante! Ini aku, Jihyun.”
Haeun langsung merasa lega—karena rencana yang telah ia persiapkan sebelumnya akan segera dimulai.
Haeun tersenyum tipis sambil bergumam dengan suara rendah. “permainan akan segera dimulai”
Kang Mirae dan Yoo Jiseok saling berpandangan ketika mendengar suara riang Seo Jihyun dari luar, Haeun sendiri mencoba tetap tenang, meski hatinya berdegup kencang.
Jika rencana ini berhasil, maka jalannya untuk kabur dan menikah dengan Minjae akan semakin mudah.
Mirae beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah pintu depan lalu, membukanya sambil tersenyum ramah. “Eh, ada, Jihyun, pagi pagi udah ke sini, ada apa ya?”
Jihyun mengatur nafasnya sebentar, lalu dengan ekspresi yang dibuat seolah benar benar putus asa, ia langsung menggenggam tangan Kang Mirae dengan penuh harap.
“Tante, aku benar benar butuh bantuan Haeun!” katanya dengan suara sedikit dramatis. “Dosen dari kakak aku, Jang Minjae, bakal bikin acara nikah dalam tiga hari dari sekarang, dan aku diminta bantuin persiapan buat nikahannya! Tapi aku gak bisa sendirian, aku benar benar butuh Haeun!”
Mirae tampak bingung dan sedikit penasaran, tapi wajah gadis di depannya tampak begitu meyakinkan. “Apa gak bisa di tunggu sampe kalian pulang sekolah?”
“Aku udah minta izin ke pihak sekolah bakal ada urusan penting, selama tiga hari kemudian.” ucap Jihyun, suaranya di buat seperti putus asa.
Haeun hampir tertawa mendengar cara Jihyun berakting, tapi ia segera menunduk sedikit agar ekspresinya tidak terlihat, sementara itu, Mirae tampak sedikit terkejut.
“Pernikahan dosen kakak kamu?” ulang Mirae, tampak berpikir.
“Iya, Tante! Dan Haeun kan jago banget dalam hal dekorasi sama perencanaan acara, aku udah janji sama kakak aku buat bantuin dosen Minjae kalo aku bakal bawa seseorang yang bisa dipercaya—” ia lalu melirik ke arah Mirae. “tante, boleh ya Haeun tinggal di rumah aku selama beberapa hari buat bantuin?”
Jihyun mengerling ke arah Haeun sekilas, memberi isyarat agar ia ikut bermain dalam sandiwara ini.
Haeun buru buru mengangguk dan menampilkan ekspresi seolah baru pertama kali mendengar permintaan ini. “aku bisa bantuin kok, Jihyun.” ia lalu menoleh ke arah ibunya. “mama, lagi pula, aku juga gak ada kegiatan penting beberapa hari ke depan,” katanya dengan nada setenang mungkin.
Mirae tampak masih ragu. “Tapi sore ini kan ada janji temu sama calon tunangan kamu, karena Han Ryeojin udah setuju mau datang...mampir ke rumah kita.”
Jihyun langsung merespons cepat, “aduh, Tante, nanti dosen Minjae bakal panik kalo gak ada yang bantuin dia! Ini pernikahan, lho! Masa iya harus batal gara gara kurang persiapan?” Ia bahkan menambahkan ekspresi memelas agar lebih meyakinkan. “aku mau minta tolong sebelumnya, tapi selalu lupa.”
Jiseok yang sedari tadi hanya mengamati, akhirnya meletakkan korannya. “kalo emang masalah mendesak, biarin aja Haeun buat bantuin, lagi pula, kalo cuma beberapa hari, kayaknya gak masalah deh.”
Mirae akhirnya mengangguk pasrah. “baiklah... api kamu harus tetapt kasih kita kabar, ya, Haeun?”
“Tentu mama!” jawab Haeun dengan cepat, menyembunyikan rasa lega yang hampir meledak di dadanya.
Setelah mendapatkan izin, Haeun bergegas kembali ke kamarnya dengan langkah cepat, ia memberi alasan bahwa dirinya harus menyiapkan segala sesuatu, meski kenyataannya, sebuah koper kecil sudah tertata rapi sejak tadi malam, kini, ia hanya memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal.
“Haeun, cepetan!! Nanti teman kamu keburu ninggalin kamu, loh!” seru Mirae dari luar kamar, suaranya penuh dorongan.
“Bentar lagi kok, Ma,” sahut Haeun sambil menutup koper dan menarik nafas dalam.
Begitu Haeun kembali ke ruang tamu, matanya langsung menangkap sosok Jihyun yang sudah duduk menunggu, temannya tampak santai, sesekali memainkan ponsel tanpa terlihat terganggu.
“Aku gak lama, kan?” tanya Haeun, berpura pura tak merasa bersalah atas waktu yang ia habiskan di kamar.
Jihyun mengangkat kepalanya, menatap Haeun sebentar sebelum menyunggingkan senyum menggoda. “Kamu malah kayak ninja, cepat dan tanpa jejak.”
Tapi sebelum menjawab, Jihyun segera melanjutkan perkataannya.
“Ayo pergi sebelum orang tuamu berubah pikiran,” bisik Jihyun sambil tersenyum penuh arti.
Haeun pun melangkahkan kakinya keluar dari rumah, sambil menoleh untuk terakhir kali, bukannya ia tak akan kembali ke sana, hanya saja ia mungkin akan memulai hidup baru.
Setelah perjalanan panjang melewati taman luar keluarga Yoo, akhirnya sampai ke tempat Jihyun memarkirkan mobilnya.
Begitu mereka masuk ke dalam mobil Jihyun, Haeun akhirnya menghela nafas lega. “aduh, akting kamu tadi luar biasa, aku hampir mati karena ketawa!”
Jihyun tertawa kecil sambil menyalakan mesin mobil. “tentu aja! Ini misi penting.” jawabnya santai. “jadi, sekarang kita langsung ke rumah aku, atau ada tempat lain yang mau kamu kunjungi dulu?”
Haeun menatap ke luar jendela, matanya menerawang sesaat sebelum menjawab, “antar aku ke taman kota dulu, Minjae sering ke sana.”
Jihyun menaikkan alisnya, tapi tidak bertanya lebih jauh. “Baiklah, ke taman kota dulu, berarti.”
Mobil pun melaju, membawa Haeun lebih dekat ke tujuannya—dan ke takdir yang telah ia pilih sendiri.
Sesampainya di taman kota, Haeun segera turun dari mobil, matanya langsung menyapu sekeliling, udara pagi itu terasa segar, angin berembus lembut menerbangkan beberapa helai rambut merahnya yang berkilau di bawah sinar matahari.
Dari samping mobil, Jihyun menyandarkan lengannya santai, tatapannya penuh arti saat mengamati sahabatnya. “jadi, kamu yakin banget kalo Dosen Minjae bakal ada di sini?” tanyanya, nada suaranya setengah menggoda.
Haeun menoleh sekilas, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “kalo gak salah sih, dia emang sering ke sini tiap pagi, katanya tempat ini bikin dia lebih tenang.”
Jihyun mengangkat alis, ekspresinya mencerminkan rasa ingin tahu yang terselip dalam nada bicaranya. “gak heran sih kalo kamu masih sedikit ragu, wajar aja, toh, kalian baru ketemu kemarin sore.” ia menyandarkan tubuhnya lebih nyaman ke mobil sebelum melanjutkan dengan nada setengah bercanda. “tapi—kamu yakin nikah sama dia nanti, gak bakal lebih buruk dari pada sama Han Ryeojin?”
Haeun menatap sahabatnya dengan diam namun sarat akan makna, ekspresi penuh keyakinan menghiasi wajahnya. “aku bisa jamin dengan nyawaku sendiri, lagi pula, apa ada hal yang lebih nyesek daripada menikah karena paksaan?”
Jihyun, yang masih bersandar nyaman tanpa niat bergerak, menanggapi tanpa mengubah posisinya. “apa bedanya nikah paksa dan nikah terburu-buru? Sama-sama gak saling kenal, juga sama orang asing.”
Senyum tipis muncul di wajah Haeun. Ia mengalihkan pandangannya ke langit biru yang membentang di atas kepala mereka. “tentu aja beda, aku nikah sama Jang Minjae karena pilihan aku sen—maksudnya, karena dia yang lamar aku kemarin.”
Jihyun, yang hampir tertidur, nyaris tak menangkap kalimat terakhir sahabatnya, namun, begitu kesadarannya kembali, ia mengerutkan kening. “kamu ngomong apa tadi?”
“Gak ada apa-apa, kok...” Haeun cepat-cepat mengelak, lalu mengamati wajah sahabatnya. “kamu kayaknya capek banget, ya?”
“Gak juga sih, cuma bosen aja kayaknya,” gumam Jihyun sebelum mengubah topik dengan nada mengingatkan. “btw, kamu janji mau jelasin gimana bisa sampai nikah sama Minjae, kan? Jangan sampai lupa.”
Haeun terkekeh kecil sebelum menjawab santai, “siap, Pak Bos.”
Jihyun terdiam, mencoba mencari celah dalam keyakinan Haeun, namun ia malah menemukan fakta kalau di dalam tatapan sahabatnya hanya ada sebuah keteguhan hati, ia menarik nafas pelan, mengalihkan pandangan ke arah taman yang masih lengang.
Dalam hati, ia tahu sejak awal bahwa dirinya tak ingin ikut campur terlalu jauh dalam keputusan Haeun, meski mereka sahabat sejak kecil, ia memahami batasan di antara mereka.
“Aku bakal tunggu kamu di sini,” ujarnya akhirnya, memberi ruang bagi Haeun untuk melangkah maju.
Haeun terkekeh, menatap Jihyun dengan mata berbinar. “jangan sampai ninggalin aku ya, soalnya nanti ke apartemen Minjae naik mobil siapa?”
Jihyun mendesah, lalu mengangkat bahu santai. “iyain aja deh,” jawabnya, sebelum menambahkan dengan nada setengah bercanda, “tapi jangan lama, atau aku tinggal beneran.”
Sementara Haeun mulai melangkah ke dalam taman, Jihyun tetap berdiri di dekat mobil, mengamati situasi sekitar, sejujurnya, ia bahkan tak pernah mengenal sosok Jang Minjae selain dari cerita kakaknya yang tengah kuliah di semester awal.
Tak butuh waktu lama bagi Haeun untuk menemukan orang yang ia cari, si dekat air mancur taman, berdiri seorang pria dengan aura menawan—Jang Minjae.
Pria ganteng, dan menawan seperti aktor dalam film, dengan rambut ungu gelapnya berkilau tertimpa cahaya matahari, dan mata ambernya tampak teduh, fokus pada buku kecil yang tengah ia baca.
Senyum perlahan terbit di wajah Haeun, dengan langkah mantap, ia mendekat. “Dosen Jang Minjae!”
Minjae mengangkat kepala, senyum tipis menghiasi bibirnya saat melihat Haeun. “Panggil biasa aja kali~btw, kamu datang juga.”
“Tentu aja,” jawab Haeun ringan, berdiri di sampingnya. “kita kan masih harus ngebahas rencana nikahan kita nanti?”
Minjae menutup bukunya, menatapnya dengan intens. “benar juga ya,” katanya dengan suara pelan, “tapi apa kamu yakin mau ngelakuin ini? Ingat satu hal, gak ada jalan kembali, karena bagi aku pernikahan kita ini beneran asli dan aku bahkan gak nerima perceraian.”
Tatapan Haeun tetap mantap, penuh keyakinan. “aku sangat yakin, dan bakal ku pastiin kali kamu punya aku~.”
Minjae tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangan untuk mengelus rambut merah Haeun dengan lembut. “tapi, aku gak janji bakal kasih kamu kemewahan, ingat, kerjaanku cuma dosen di universitas.”
Haeun terkekeh kecil, menatap Minjae dengan mata berbinar, dan wajah sedikit merona. “iya, tapi jangan lupa kalo itu universitas ternama.”
Minjae tersenyum mendengar perkataan tersebut, meski ia mau menyangkalnya tapi hal itu beneran fakta, namun entah kenapa ia melihat wajah Haeun, baginya tampak imut, seperti bantalan squishy.
Haeun tersenyum kecil, tapi jantungnya mulai berdebar saat tatapan Minjae tetap terpaku padanya, mata amber pria itu terlihat begitu teduh, seolah menelannya dalam kehangatan yang sulit dijelaskan.
“Kenapa liatin aku gitu?” Haeun berdeham pelan, mencoba mengalihkan perhatiannya ke buku kecil yang masih dipegang Minjae, tapi usahanya sia sia.
Minjae tidak langsung menjawab, hanya sedikit memiringkan kepalanya, memperhatikan setiap ekspresi di wajah Haeun. “aku cuma lagi mikir—” ia berhenti sejenak, bibirnya melengkung dalam senyum tipis. “kamu terlihat beda pas kena sinar matahari, kayak bidadari.”
Dada Haeun semakin bergejolak. “a-apaan sih?” ia memalingkan wajahnya sedikit, berharap bisa menyembunyikan rona merah yang mulai menjalar ke pipinya.
Minjae justru terkekeh, jelas menyadari perubahan ekspresi Haeun. “maksud aku, kamu keliatan lebih manis, dan kayaknya aku juga gak bakal lepasin kamu.”
Haeun spontan tersentak, buru buru menundukkan wajahnya berharap segera masuk ke dalam pusat bumi karena wajahnya terasa begitu panas.
“Astaga, ini gawat. Ia bisa merasakan panas di wajahnya semakin meningkat.” batin Haeun.
Untuk mengalihkan topik pembicaraan, akhirnya Haeun berkata. “kamu ngomong gitu ke semua perempuan kan, ya?”
Minjae menggeleng pelan, senyum di wajahnya tetap tak luntur sedikit pun. "Gak pernah, cuma ke kamu aja. Karena di antara seribu gadis, kamu yang paling spesial."
Haeun terdiam. Ingin rasanya mengalihkan pembicaraan atau pura-pura tak mendengar, tapi otaknya seakan mogok bekerja.
"Gombal aja terus," ucapnya akhirnya, berusaha terdengar datar.
Tanpa sepatah kata pun, Minjae tiba-tiba menarik Haeun ke dalam pelukannya. Usia mereka memang terpaut tujuh tahun, tapi bagi Minjae, "Usia hanyalah angka."
Dari kejauhan, Jihyun yang masih bersandar di mobil menguap lebar, nyaris ketiduran. "Lama banget…" gumamnya, melirik jam di ponselnya sebelum menghela napas panjang.
Namun saat matanya kembali tertuju pada Haeun yang tampak begitu akrab dengan seseorang, ekspresinya perlahan berubah. Senyum samar muncul di wajahnya—senyum yang sulit diartikan.
"Cukup menarik…," gumamnya pelan. “Kayak nonton film drama romantis di dunia nyata."
Haeun berusaha melepaskan diri dari pelukan Minjae, tapi pria itu malah semakin mengeratkan tangannya, seolah sengaja dan ingin terus menggoda gadis itu.
“Dosen Jang Minjae!!” Haeun menggerutu, berusaha tetap tenang meski wajahnya sudah seperti kepiting rebus.
Minjae terkekeh pelan, akhirnya melepaskan pelukannya dengan ekspresi puas. “Iya, iya, maaf deh, tapi jujur aja, aku suka lihat wajah kamu pas merona gini.”
Haeun melotot. “Aku gak merona!”
Minjae mengangkat alis, ekspresi tak percaya jelas terlihat. “Oh ya? Coba liat kaca deh,” katanya sambil mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan kamera depan.
Begitu melihat wajahnya sendiri di layar, Haeun langsung panik dan merebut ponsel Minjae. “Udah, udah!Gak usah diliat!”
Minjae tertawa kecil tampaknya ia sangat menikmati reaksi Haeun yang mulai kehilangan keseimbangan emosi.
Haeun mendengus, lalu mencoba mengendalikan diri. “Udah ah, kita ke tempat Jihyun dulu, aku mau ngenalin kamu ke sahabatku.”
Minjae tersenyum tipis. “Oke lah, tunjukin jalannya, calon istriku.”
Sebenarnya Haeun ingin menyanggah perkataan tersebut, tapi ia merasa kehangatan dalam dirinya pas tahu kalau ia akan menjadi istri dari seorang pria yang ia pilih sendiri meski mereka tak saling mengenal.
Haeun ingin berjalan cepat, tapi entah kenapa bersanding dengan pria ganteng dan tipe idealnya membuat ia ingin waktu berhenti sejenak, namun hal itu tak berlangsung lama karena di sudut taman tepatnya di depan pintu gerbang, temannya Jihyun tampak bosan menunggu.
Akhirnya mereka tiba di tempat parkiran, dan seperti sebelumnya Jihyun tampak seperti seseorang yang hampir tertidur dalam kebosanan.
“Jihyun...” panggil Haeun sambil menepuk lembut pundak temannya. “Oi!!”
Namun Jihyun tak bergerak sedikitpun bahkan hampir seperti mati berdiri, hanya hembusan nafas masih terlihat yang membuktikan kalau ia masih hidup.
“Temen kamu, unik ya?” Minjae berkata sambil menyilangkan tangan. “Bahkan bisa tidur sambil berdiri...”
Haeun tampak sedikit frustasi, padahal biasanya Jihyun tak seperti itu karena mereka sering berbelanja di swalayan, dan sahabatnya itu sangat penyabar apalagi jika membeli buku buku.
Setelah berpikir panjang akhirnya Haeun terpikirkan sesuatu. “Jihyun, tau gak—di pusat kota ada diskon.”
Jihyun yang terkaget langsung bangun, dan bahkan sampai ngiler, ia buru buru menyeka mulutnya berharap kalau tak ada yang melihatnya, ia lalu melirik ke arah sahabatnya.
“Jadi dia—” Jihyun mengusap keningnya seolah berpikir keras, meski sebenarnya ia ingin pergi ke dunia mimpi. “Dia siapa?”
“Jihyun!!” Haeun menatap temannya dengan ekspresi melotot. “Kita udah ngobrol soal ini kan!!”
Jihyun membuka mata namun tatapannya tampak kosong seolah tengah berada di dunia lain, sebelum akhirnya ia kembali memejamkan mata.
Minjae menoleh ke Haeun dengan ekspresi geli. “Kayaknya temen kamu butuh kasur, bukan perkenalan.”
Haeun menghela napas panjang, mencoba menahan kesal. “Jihyun, ayo sadar! Ini Minjae! Ingat gak, yang aku bilang?”
Jihyun masih terlihat setengah sadar, tapi akhirnya membuka satu mata dengan susah payah. “Oh… dosen yang mau jadi suami kamu?” gumamnya sebelum kembali memejamkan mata.
Wajah Haeun seketika memanas. “JIHYUN!!”
Minjae, yang sejak tadi menahan tawa, akhirnya tertawa lepas. “Aku suka dia, Haeun. Kayaknya kita bakal akrab.”
Haeun ingin membantah, tapi Jihyun tiba-tiba berjalan ke arah mobil dan membuka pintu tanpa berkata apa-apa, dalam hitungan detik, ia sudah duduk nyaman di kursi pengemudi, menutup pintu, dan… kembali tertidur dengan wajah di atas kemudi.
Minjae dan Haeun hanya bisa saling bertukar pandangan seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Meski Harun sebenarnya sudah tahu kelakuan temannya, yang bisa tidur kapan saja jika sedang kebosanan, namun kalau tengah bersemangat bahkan bisa berlari tanpa henti seperti marathon.
Tapi ada satu hal yang Harun sukai dari Seo Jihyun yang kadang terlalu peduli, namun bisa jadi seperti sosok seorang kakak, dan ada satu alasan ia menyukai sahabatnya satu ini karena apapun masalahnya, sahabatnya selalu bisa membantu.
“Apa-apaan ini…” gumam Haeun, setengah bingung, setengah pasrah.
Minjae terkekeh, lalu menggenggam tangan Haeun. “Ya udah, kita masuk juga sebelum dia ninggalin kita.”
Haeun sempat terdiam, merasakan kehangatan tangan Minjae yang begitu nyaman, jantungnya berdegup lebih cepat, tapi ia tak menarik tangannya.
Saat mereka akan masuk ke mobil, suara mesin tiba-tiba menyala, membuat mereka berdua tersentak.
“Jihyun?!” Haeun panik.
Jihyun, yang baru saja bangun sepenuhnya, tampak menguap kecil sambil memegang kemudi. “Eh? Kalian belum masuk?”
Jihyun pun melajukan itu dan mulai berjalan secara pelan, dan seperti pesan dari Harun beberapa saat lalu, yakni ia hanya perlu mengantar sahabatnya tepat ke rumah Minjae, namun ia bahkan tak tahu tempat pria itu tinggal, meski ia sering mendengar nama itu dari kakaknya.
“ASTAGA, JIHYUN!!” teriak Haeun yang tampak sedikit kesal. “Buka pintunya, lah—”
Jihyun terdiam sejenak sambil mengusap matanya, untuk membantu ia kembali ke kenyataan, ia pun menghentikan mobilnya dan tak lupa membuka pintu.
Haeun buru-buru menarik Minjae, dan keduanya masuk ke dalam mobil tepat sebelum Jihyun benar benar meninggalkan mereka di taman.
Di dalam mobil, Minjae masih terkekeh sementara Haeun memijat pelipisnya, merasa hari ini benar-benar menguras emosinya, dengan drama di rumahnya dan sekarang sahabatnya membuat ia sedikit depresi.
“Kayaknya perjalanan kita bakal seru,” komentar Minjae sambil melirik ke arah Jihyun, yang kini tampak lebih segar setelah tidur sebentar.
Haeun hanya bisa menghela napas. “Ya Tuhan… tolong kasih aku kesabaran.”
Namun, diam-diam, ia merasa hatinya hangat, bersama Minjae dan Jihyun seperti ini… rasanya tidak buruk sama sekali.
Setelah beberapa saat akhirnya Jihyun tampak lebih segar, ia pun melirik ke arah Minjae lewat kaca spion. “Kata Haeun, ia mau nginep di rumah—pak dosen, tapi aku bahkan gak tahu bapak tinggal di mana?”
“Gak usah panggil bapak kok, aku gak setua itu.”ucap Jang Minjae.
Dalam perjalanan Minjae menuntun Jihyun menuju ke apartemennya yang ternyata terletak di antara kawasan elit, namun karena sudah terbiasa dengan kemewahan ia terlihat tak terlalu terpukau.
“Udah sampai kan?” Jihyun berkata sambil memarkirkan mobilnya. “Kalo ada info terbaru, jangan lupa buat infoin aku ya~”
“Kamu gak mampir dulu?” tanya Haeun, sambil memperhatikan sahabatnya.
Jihyun menghela nafas perlahan sebelum akhirnya menoleh ke arah sahabatnya. “Aku gak mau gangguin momen romantis kalian dan jadi obat nyamuk.”
Sebelum sempat merespon, Jihyun langsung memutar mobilnya dan meninggalkan kawasan apartemen milik Minjae dan segera menuju ke arah rumahnya.
Namun ada sesuatu yang mengganjal hati Jihyun, ia pun memijat kening seolah tengah memikirkan sesuatu, hingga ia teringat kalau ia menjemput Haeun untuk tinggal di rumahnya.
Tapi hal itu bukan masalahnya, karena ia tak tahu alasan apa yang hendak ia berikan kalau nantinya ibu Haeun - Kang Mirae, datang ke rumahnya.
“Tamatlah riwayat aku~” gumam Jihyun, ia bahkan membenamkan wajah atas kemudi stir.
Minjae melirik Haeun yang masih menatap mobil Jihyun yang menjauh, ekspresi ragu terlihat di wajahnya.
“Kamu masih bisa nyusul dia kalau mau,” goda Minjae sambil menyandarkan punggung ke depan pintu apartemen.
Haeun menoleh cepat, mendelik. “Aku gak bakal ninggalin kamu, oke?”
Minjae tersenyum miring. “Oh? Jadi kamu gak tega ninggalin aku?”
Haeun mendesah, berusaha menutupi wajahnya yang kembali memanas. “Aku cuma gak mau bikin masalah, kalau pergi sekarang, nanti kamu malah mikir yang aneh aneh.”
Minjae tertawa kecil, lalu menggenggam tangan Haeun, menuntunnya masuk ke dalam gedung apartemen. “Aku memang sering mikir yang aneh kalau soal kamu.”
Haeun menoleh dengan tatapan curiga. “Aneh gimana?”
Mereka masuk ke dalam lift, dan saat pintu tertutup, Minjae menariknya lebih dekat, membuat nafas Haeun tercekat.
“Misalnya…” Minjae menatap matanya lekat lekat, suaranya sedikit lebih rendah. “Aku mikir… gimana rasanya kalau aku cium kamu sekarang?”
Mata Haeun membesar. “Minjae!”
Minjae terkekeh pelan, tapi ia tidak menjauh. “Lihat? Aku cuma bilang mikir, kok, tapi ekspresi kamu lucu banget.”
Haeun memutar bola matanya, mencoba mendorong dada pria itu dengan pelan, tapi Minjae tetap di tempatnya, jantungnya masih berdetak kencang saat lift berbunyi, menandakan mereka sudah sampai.
Minjae akhirnya melepaskan Haeun, tapi sebelum keluar dari lift, ia mencondongkan wajahnya sedikit hingga jarak mereka hanya beberapa inci saja.
“Tenang aja, aku gak akan macem-macem… kecuali kamu yang mulai duluan.” bisik Minjae dengan suara rendah, memastikan hanya mereka bedua yang bisa mendengarnya.
Haeun melotot merasa kaget atas perkataan tersebut, meski bagian dari dirinya berkata kalau mungkin ia menginginkan ciuman itu sekarang.
Tapi pria itu sudah berjalan duluan meninggalkannya dalam kebingungan, sambil sesekali terlihat tengah tertawa kecil dengan langkah santai.
Haeun mengusap wajahnya, lalu mendesah. “Ya Tuhan, aku beneran bakal gila kalau terus bareng dia…”
Namun saat kakinya mulai melangkah mengikuti Minjae, tanpa sadar, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.
Setelah memasuki apartemen, Minjae meletakkan tasnya di sofa dan meregangkan tubuh. “Akhirnya sampai juga.” ucapnya, sembari melangkah ke dapur. “kamu mau minum sesuatu?”
Haeun mengangguk kecil. “Air putih aja.”
Minjae berjalan ke dapur, sementara Haeun duduk di sofa, meraih bantal lalu memeluknya dengan erat, namun entah kenapa dalam kepalanya wajah Minjae terus berputar.
“Fokus, Haeun...” gumamnya sembari menggelengkan kepala dengan pelan.
Pandangannya berkeliling, memperhatikan apartemen pria itu—modern, rapi, dan terasa hangat, tak seperti yang ia bayangkan dari seorang dosen yang biasanya sibuk.
Saat melihat Minjae kembali dengan dua gelas air, senyum tipis muncul di wajahnya tanpa sadar.
Entah kenapa Haeun benar benar nyaman berada di sini bahkan lebih menyenangkan daripada bersama keluarganya di rumah, dan tanpa sadar ia bahkan tak bisa melepaskan pandangan dari pria itu.
Lalu tanpa sadar, suara hatinya meluncur keluar dari bibirnya.
“Aku ingin selamanya kayak gini sama kamu…”
Minjae yang baru saja hendak menyerahkan gelas langsung terhenti, matanya membesar sedikit, menatap Haeun yang tampak kaget dengan ucapannya sendiri.
Haeun membeku, lalu buru buru menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Astaga! Kenapa aku ngomong dengan suara keras?! Kan jadi salah padam dia nanti.”
Senyum menggoda muncul di wajah Minjae, ia perlahan meletakkan gelas di meja, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Haeun yang masih terlihat panik.
“Kamu bilang apa tadi, Haeun?” suaranya terdengar dalam dan hangat.
“Eh? Apa? Aku nggak bilang apa apa!” Haeun tergagap, wajahnya merah padam.
Minjae menyipitkan mata, jelas tidak percaya. “Beneran?”
“B-Beneran!” Haeun berusaha bangkit dari sofa, tapi Minjae dengan sigap menarik tangannya, membuatnya jatuh kembali duduk.
“Kalau gitu…” Minjae menatapnya dengan ekspresi main-main. “Katakan sekali lagi.”
Jantung Haeun berdetak sangat cepat seperti hendak melompat keluar. “Minjae! Aku gak mau!”
Minjae tertawa kecil, lalu menggenggam tangan Haeun dengan lembut. “Aku denger kok, kamu mau selamanya sama aku, kan?”
Haeun menggigit bibirnya karena gugup, menunduk dalam upaya menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah tomat.
Minjae menatapnya dalam diam sebelum akhirnya mengangkat tangan Haeun, lalu menempelkannya di dadanya, tepat di atas jantungnya yang berdetak stabil.
“Aku juga mau, Haeun,” ucapnya lirih. “Kalau itu yang kamu inginkan, maka aku pastikan kamu nggak akan pernah bisa lari dariku.”
Haeun menelan ludah, merasa tenggelam dalam sorot mata pria itu, entah kenapa ia merasa pertemuan di taman itu adalah takdir, dan merasa bahagia karena ia menerima lamaran nikah dari pria ini.
Dan entah kenapa, Haeun merasa kalau dirinya tak ingin lari atau bahkan pergi dari pria ini, meski itu berarti ia harus mencari alasan untuk memberitahu orang tuanya soal hal ini.
Padahal niat hati Haeun adalah untuk berada di sana selama 3 hari sampai acara pernikahan antara dirinya dan Minjae selesai, namun sebagian dari dirinya berharap kalau ia bisa memperpanjang menjadi 1 minggu, atau bahkan selamanya, seperti yang ia katakan sebelumnya.
Haeun tak pernah menyangka kalau perasaan kesal karena di jodohkan malah membawa dirinya bertemu sosok ideal yang sering ia impikan, dan dengan ini ia berharap kalau setelah menikah, kedua orang tuanya akan menerima fakta kalau ia menolak perjodohan itu.
Minjae menatap Haeun yang masih menunduk, jari-jarinya sedikit menggenggam jemari gadis itu yang tadi ia letakkan di dadanya.
“Haeun,” panggilnya lembut.
Haeun mendongak, masih dengan wajah memerah. “Apa?”
Minjae tersenyum kecil sebelum menariknya ke dalam pelukan hangat. “Aku senang kamu di sini.”
Haeun membeku sesaat, merasakan detak jantung Minjae yang stabil di dadanya. “Aku juga senang,” jawabnya lirih, meski ia tak yakin Minjae mendengarnya.
Minjae melepaskan pelukannya perlahan, lalu menatap wajahnya dengan penuh perhatian. “Kalau begitu, jangan pernah ragu lagi, aku bakal mastiin kamu selalu ngerasa kayak gini—nyaman, aman, dan bahagia.”
Haeun menggigit bibirnya, merasa hatinya semakin melebur karena kata kata pria itu. “Kamu selalu ngomong hal hal kayak gitu… kamu tau gak sih, Minjae, itu bahaya buat jantungku?”
Minjae terkekeh pelan. “Baguslah. Jadi kamu sadar kalau aku ini berbahaya.”
Haeun mendengus pelan, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. “Berbahaya yang bikin tenang.”
Malam itu, mereka menghabiskan waktu dengan obrolan ringan, Minjae memasakkan makanan untuk mereka berdua, memperhatikan setiap detail kecil tentang Haeun—seperti bagaimana ia suka supnya sedikit lebih asin, atau bagaimana ia selalu memainkan ujung bajunya saat gugup.
Saat mereka akhirnya duduk di sofa setelah makan, Haeun menyandarkan kepalanya di bahu Minjae tanpa sadar.
“Kamu tau?” gumamnya dengan mata setengah terpejam. “Aku gak nyangka kalau aku bisa secepat ini nyaman sama seseorang.”
Minjae menatapnya dan tersenyum. “Mungkin karena kita memang ditakdirkan bersama.”
Haeun terkekeh lemah. “Kamu percaya takdir?”
“Kalau itu tentang kamu, aku percaya.” gumamnya pelan
Keheningan menyelimuti mereka sejenak, Haeun tak menjawab, tapi senyum kecil yang tersungging di bibirnya sudah cukup menjadi jawaban.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Haeun merasa seperti berada di tempat yang tepat tanpa harus berada di bawah tekanan dari keluarga atau semacamnya.