Angin malam berhembus tak kala dirinya melangkah kan kaki nya keluar dari dalam rumah.
"Kalian semua bajingan" pekik nya.
"Hahahah terserah apa katamu, iya kan sayang"
"Iya dong"
"Bangsat" umpatan demi umpatan terdengar di pertengahan malam itu.
Melangkah dengan pelan dan penuh kobaran,walau tak tahu kemana akan pergi.
Tak sadar akan waktu yang kian melaju, tepat sesaat setelah jam kota berbunyi pertanda waktu pagi.
Tepat saat dirinya akan menyebrangi jalan untuk pergi ke penginapan di depan sana.
"Bruk"
Sebuah mobil menabrak gadis itu hingga terlempar setengah meter dari tempat nya berdiri tadi.
Mobil itu berbelok hingga menabrak pohon yang tak jauh dari tempat kejadian,dan langsung meledak.
"Hahaha" tawa nya lirih dengan pandangan menatap pada langit gelap diatas nya.
Merenungi hidup nya yang tampak semakin menyedihkan, berharap setelah ini takkan membuka mata.
Perlahan tapi pasti mata itu tertutup.
Genangan darah menghiasi jalan itu, tak ada yang datang. Malam berdarah dengan luka yang kian melebar.
Jalan itu sepi,jalan keramat yang setiap bulannya memakan darah segar, kata masyarakat.
----
"Ternyata tidak" gumamnya sesaat setelah terbangun dari tidur panjang nya.
"Siapa yang mengira, seharusnya aku sudah tak bernafas sekarang"
Mata nya menatap kosong ke arah langit langit kamar rumah sakit. Memejamkan mata dan berharap ini ilusi.
"Tidak, ini memang nyata" lirih nya dengan nafas tercekat.
Rasa sesak mendatangi,tetap berdim tanpa berniat menenangkan diri. Sesak itu kian mencekik saat suara langkah kaki yang ia sangat kenali berjalan ke arah nya.
"Kau tak lupa bukan" ucap seorang pria yang tiba tiba masuk tanpa ketukan atau pun sapaan.
"Tak ada janji yang pernah kubuat. Sebodoh bodohnya diriku tak kan pernah melakukan nya" ucap Grac tak terima.
"Sudah kukatakan padamu. Lebih baik dirimu tetap bersamaku dibandingkan melalang dijalanan seperti orang gila"
"Kau tetap akan menjadi milikku, sejauh apapun kau berlari tetap akan kutemukan" ucap nya telak.
Nyatanya memang seperti itu, bahkan saat dirinya kabur ke negara yang tak dikenal pun dia dengan mudah menemukan nya.
"Hidup ku tak bisa kau atur,kau tau aku tak suka diatur bukan? " sahut Grac dengan mata tetap menatap pada langit langit kamar itu tanpa berniat menoleh.
"Tapi aku bisa,dan aku suka mengatur" balas Gilbert dengan menatap Grac dengan lekat.
Hening, tak ada obrolan yang berlanjut setelah nya.
Dua manusia yang memiliki ego tinggi itu tetap pada ego nya masing-masing.
Tak ada yang akan mengalah, bahkan bila kematian itu tiba.
Esoknya.
Tetap hening seperti tadi malam, tak ada yang memulai.
Masih dengan ego yang tak mau mengalah.
"Bu,tolong hati hati. Luka yang kemarin bisa terbuka bila ibu tak berhati-hati." ungkap dokter itu saat akan mengganti perban yang memililit lengan dan bahunya.
"Maaf dok" lirih nya.
"Pak,tolong kerjasama nya" ucap dokter itu menatap pada Gilbert yang duduk tak jauh dari ranjang.
"Hum"
"Huuft"
"Yasudah, saya keluar. Permisi"
"Dengar apa yang dokter katakan, jangan keras kepala. Kalau kau merasa kesusahan langsung katakan, jangan berlagak baik baik saja" sahut Gilbert menatap tajam Grac.
"Diamlah, telingaku berdenging mendengar suara jelek mu" sahut Grac.
Gilbert yang mendengar nya semakin menajamkan pandangan nya.
"Berhenti menatapku"
"Kalau kau tau, aku punya mata yang masih berfungsi untuk melihat."Menghela nafas.
"Terserah, aku tidak peduli."ucapnya dengan melipat tangan di depan dada.
"Lalu untuk apa kau berkomentar tentang mata ku?" tanya Gilbert menaikkan satu alisnya.
"Keluar."
"Aku ingin tidur."
Entah sampai kapan kebencian diantara mereka berlangsung.
Sepasang manusia yang dulu nya saling mencintai, kini terlihat saling membenci.