Musik mengalun pelan, menggema di antara cahaya temaram klub eksklusif itu. Aroma bourbon, parfum mahal, dan gairah yang mengendap di udara bercampur menjadi satu. Di sudut ruangan, Elena duduk dengan kaki bersilang, menyesap minumannya perlahan. Gaun satin merah yang ia kenakan membelai kulitnya setiap kali ia bergerak, meninggalkan sensasi yang sama seperti tatapan pria yang sejak tadi mengawasinya dari kejauhan.
Adrian.
Ia duduk di seberang ruangan, satu tangan memegang gelas whisky, sementara matanya—gelap, tajam, dan penuh bahaya—tertuju padanya tanpa berkedip. Setelan hitamnya tampak sempurna membingkai tubuhnya yang tegap, namun Elena tahu betul, di balik kemeja mahal itu ada ketegangan yang meletup-letup.
Ia menikmati bagaimana pria itu mencoba mengendalikan dirinya.
Namun Adrian bukan tipe pria yang diam terlalu lama.
Dalam sekejap, ia bangkit, berjalan perlahan menuju Elena. Orang-orang di sekitar mereka mungkin tidak menyadari intensitas yang melingkupi keduanya, tetapi bagi Elena, udara di ruangan ini terasa lebih panas, lebih berat—seperti badai yang menunggu untuk dilepaskan.
Ketika Adrian akhirnya berdiri di hadapannya, ia menunduk sedikit, mendekat hingga Elena bisa merasakan napasnya yang hangat di kulitnya.
"Kau seharusnya tidak ada di sini," suaranya rendah, hampir seperti geraman.
Elena tersenyum kecil, mengangkat alisnya. "Dan sejak kapan kau menentukan di mana aku seharusnya berada?"
Mata Adrian menggelap. "Sejak kau memutuskan untuk bermain-main denganku."
Elena menatapnya penuh tantangan. "Siapa bilang aku hanya bermain?"
Sejenak, kesunyian menggantung di antara mereka. Ketegangan itu hampir tak tertahankan, seperti seutas tali yang ditarik terlalu kencang dan siap putus kapan saja.
Lalu Adrian bergerak.
Tiba-tiba, tangannya mencengkeram pinggang Elena, menariknya berdiri. Jantung Elena berdetak cepat, tetapi ia tidak menolak. Sebaliknya, ia membiarkan dirinya terseret ke lorong sempit di belakang klub, di mana dunia luar seakan menghilang dan hanya ada mereka berdua.
Begitu mereka sampai di ruangan pribadi, Adrian membanting pintu hingga tertutup rapat.
"Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan," gumamnya, tangannya masih mencengkeram pinggang Elena, napasnya memburu.
Elena menatapnya tanpa gentar. "Atau mungkin aku tahu persis apa yang kulakukan."
Adrian menatapnya tajam, seakan mencoba mencari keraguan di matanya. Namun, Elena tidak memberinya kesempatan. Ia meraih kerah kemeja Adrian, menariknya lebih dekat, dan sebelum pria itu sempat berkata apa pun, bibirnya sudah menempel di bibirnya.
Ciumannya bukan sekadar sentuhan—itu adalah ledakan.
Panas. Rakus. Berbahaya.
Adrian membalasnya tanpa ragu, tangannya bergerak ke punggung Elena, menahannya erat seolah ia bisa menghilang kapan saja. Lidah mereka bertemu, menari dalam ritme yang tak terucapkan, dan Elena bisa merasakan bagaimana tubuh Adrian menegang di bawah sentuhannya.
Tangan pria itu meluncur ke sepanjang punggungnya, jemarinya meninggalkan jejak panas di kulitnya yang terbuka. Elena mengerang pelan saat punggungnya menyentuh dinding, tetapi ia tidak mundur—ia justru menarik Adrian lebih dalam, lebih dekat.
"Elena…" Adrian berbisik di antara napasnya yang tersengal, seolah namanya sendiri adalah mantera yang sulit diucapkan.
Tetapi Elena tidak ingin bicara. Tidak malam ini.
Malam ini, ia hanya ingin tenggelam dalam api yang telah lama mereka coba padamkan.