Senja selalu datang di waktu yang sama. Warna oranye keemasan membias di langit, merambat ke permukaan danau yang tenang. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah yang sedikit basah setelah hujan siang tadi.
Di sebuah bangku kayu menghadap danau, seorang pemuda duduk dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang sejak tadi sudah dingin. Di sampingnya, seorang gadis dengan rambut sebahu duduk, menatap lurus ke arah air yang beriak kecil.
"Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini lagi," suara gadis itu pelan, hampir tenggelam dalam hembusan angin.
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya berbisik, "Aku juga tidak."
Mereka terdiam cukup lama. Hanya suara alam yang berbicara—gemerisik dedaunan, suara burung yang terbang kembali ke sarangnya, dan riak kecil di permukaan air.
Gadis itu mengusap telapak tangannya sendiri, seolah ingin menghangatkan diri dari angin sore yang mulai menusuk. "Apa kabar?" tanyanya akhirnya.
Pemuda itu menoleh, menatapnya dalam waktu yang lama sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Baik."
Gadis itu tersenyum tipis. "Kau selalu bilang begitu."
Pemuda itu kembali menatap ke danau. "Lalu, kalau aku berkata sebaliknya, apakah ada yang berubah?"
Gadis itu terdiam. Tentu saja, tidak ada yang berubah. Waktu tetap berjalan, dunia tetap berputar, dan luka yang pernah ada tetap tinggal di tempatnya.
"Apa kau masih sering datang ke sini?" tanya pemuda itu akhirnya.
Gadis itu mengangguk. "Ya. Aku menyukai tempat ini. Terasa... menenangkan."
Pemuda itu mengulas senyum kecil, senyum yang dulu pernah ia lihat setiap hari. "Aku juga."
Mereka kembali diam, menikmati kesunyian yang tidak terasa canggung. Seakan-akan keheningan adalah bahasa mereka—bahasa yang dulu pernah mereka pahami dengan baik.
Hingga akhirnya gadis itu berbisik pelan, hampir seperti angin yang menyapu permukaan air.
"Aku merindukanmu."
Pemuda itu tidak segera menjawab. Matanya memantulkan bias senja yang mulai meredup, sebelum akhirnya berkata dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya.
"Aku juga."
Seketika angin bertiup sedikit lebih kencang, membawa aroma basah dari pepohonan di sekitar danau. Langit mulai menggelap, menciptakan semburat ungu di antara jingga yang memudar.
Dan di bangku kayu itu, mereka tetap duduk dalam diam. Merasakan luka yang belum sembuh, merindukan sesuatu yang tidak bisa kembali, dan menyadari bahwa meskipun senja selalu datang di waktu yang sama, tidak semua hal bisa tetap seperti dulu.
[Potongan cerita]