Bab 1: Pertemuan Senja dan Pagi
Kafe kecil itu selalu sunyi di pagi hari. Raka Mahendra, pria berusia 42 tahun dengan rambut sedikit beruban di pelipisnya, menikmati kesunyian itu. Dengan secangkir kopi hitam di tangannya, ia menatap jendela besar yang menghadap ke jalan. Ia sudah terbiasa dengan rutinitasnya sendiri—membuka kafe, menyeduh kopi, membaca koran, lalu menunggu pelanggan setianya datang menjelang siang.
Namun, pagi itu, rutinitasnya terganggu.
Seseorang mengetuk pintu kaca kafe dengan semangat. Seorang gadis muda berdiri di luar, mengenakan jaket kuning cerah dan senyum lebar di wajahnya.
"Selamat pagi!" sapanya ceria saat pintu dibuka. "Apakah kafe ini sedang mencari pekerja paruh waktu?"
Raka mengerjapkan mata, sedikit terkejut dengan energi yang begitu bertolak belakang dengan suasana kafenya yang tenang. Gadis itu tampak berusia awal 20-an, mungkin mahasiswa yang sedang mencari pekerjaan sampingan.
"Kami tidak memasang pengumuman lowongan," jawabnya singkat, berharap gadis itu akan pergi.
"Tapi saya lihat dari luar, tempat ini sepertinya butuh seseorang yang bisa membantu," katanya sambil mengedarkan pandangan ke meja-meja kosong. "Saya bisa membuat kopi, mencuci gelas, atau bahkan menata dekorasi biar lebih segar!"
Raka menghela napas. Gadis ini jelas bukan tipe yang mudah menyerah.
"Apa kau punya pengalaman?" tanyanya, hanya sekadar mengulur waktu.
"Saya suka kopi," jawabnya dengan percaya diri. "Dan saya cepat belajar!"
Raka menatapnya sejenak, lalu tanpa banyak bicara, ia berjalan ke belakang meja bar. "Kalau begitu, coba buatkan aku kopi hitam."
Gadis itu terkejut, tapi dengan penuh semangat melangkah ke belakang counter. Ia mulai meraba-raba mesin espresso, mencoba mengingat tutorial yang pernah ia tonton di internet. Raka mengawasinya tanpa ekspresi.
Beberapa menit kemudian, secangkir kopi hitam tersaji di depannya. Ia mengangkat cangkir itu, menghirup aromanya, lalu menyeruputnya.
Diam sejenak.
"Rasanya?" tanya gadis itu dengan antusias.
Raka meletakkan cangkirnya dan berkata datar, "Seperti air rendaman arang."
Gadis itu mengerutkan kening. "Seburuk itu?"
"Lebih buruk," jawabnya santai.
Alih-alih kecewa, gadis itu malah tertawa. "Baiklah, saya akan belajar sampai bisa membuat kopi yang lebih baik dari milik Anda."
Raka mengangkat alis. Gadis ini memang berbeda.
"Apa nama Anda?" tanyanya.
"Saya Aurora Cahyaningtyas," katanya sambil tersenyum. "Tuan Raka, bolehkah saya bekerja di sini?"
Dan pagi itu, tanpa ia sadari, kehidupannya yang sunyi baru saja berubah.
Bab 2: Perbedaan yang Menghangatkan
Pagi pertama Aurora Cahyaningtyas bekerja di kafe Raka Mahendra terasa seperti dua dunia yang bertabrakan.
Aurora adalah angin segar yang berembus penuh semangat, sementara Raka adalah dinding kokoh yang terbiasa dengan kesunyian. Kafe yang biasanya tenang itu kini dipenuhi dengan suara langkah ceria, dentingan gelas yang sedikit lebih berisik, dan obrolan yang tak pernah ada sebelumnya.
"Jadi, Tuan Raka, kenapa kafe ini dinamai Senja Coffee?" tanya Aurora saat ia membersihkan meja dengan penuh semangat.
Raka, yang sedang menyeduh kopi, hanya meliriknya sekilas sebelum menjawab, "Aku suka senja."
Aurora menunggu kelanjutan jawaban, tetapi tidak ada. Ia mendengus pelan. "Itu saja? Tidak ada kisah mendalam tentang perjalanan menemukan arti senja dalam hidup?"
"Kau terlalu banyak berimajinasi," balas Raka singkat.
Gadis itu terkikik. "Aku suka berimajinasi. Hidup tanpa imajinasi itu membosankan."
Raka menghela napas, sedikit menyesal membiarkan gadis ini bekerja di kafenya. Tapi di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan satu hal—kafenya terasa lebih hangat sejak kehadiran Aurora.
Kontras yang Mencolok
Hari-hari berlalu, dan semakin jelas bahwa mereka berdua memiliki dunia yang berbeda.
Aurora menyukai musik yang ceria, sementara Raka lebih suka diam dan hanya ditemani suara mesin kopi.
Aurora suka berbincang dengan pelanggan, bahkan dengan yang hanya mampir sebentar, sedangkan Raka lebih sering menjawab seadanya.
Aurora percaya bahwa setiap cangkir kopi memiliki cerita, sementara Raka hanya menganggapnya sebagai minuman yang perlu dibuat dengan presisi.
Namun, anehnya, mereka tak pernah benar-benar bertengkar.
Pernah suatu kali, Aurora memutar lagu lawas dari speaker kafe, sebuah lagu klasik romantis yang membuat suasana lebih hidup.
"Turunkan volumenya," kata Raka tanpa menoleh.
"Kenapa? Lagu ini kan bagus!" protes Aurora.
Raka hanya menatapnya sejenak. "Aku tidak suka suara yang terlalu ramai."
Aurora menekan tombol volume, menurunkan sedikit suaranya. "Kalau aku hanya menurunkan sedikit, kau masih bisa menerimanya, kan?"
Raka tidak menjawab, tapi ia juga tidak mematikan musiknya. Aurora tersenyum, merasa menang.
Momen yang Tak Terduga
Suatu sore, hujan turun deras. Kafe hampir kosong, hanya ada satu pelanggan di sudut ruangan yang sibuk dengan laptopnya.
Aurora menatap ke luar jendela. "Aku suka hujan," gumamnya.
Raka menoleh. "Kenapa?"
"Hujan itu seperti melodi alami. Tenang, tapi membawa banyak kenangan," jawabnya. "Kalau Tuan Raka?"
"Aku tidak suka hujan."
Aurora mendengus. "Tentu saja. Sepertinya kau memang tidak suka banyak hal, ya?"
Raka mengangkat alis. "Kau terlalu banyak bicara."
Gadis itu terkikik. "Dan kau terlalu sedikit bicara."
Hening sesaat.
Lalu, Aurora bertanya, "Tuan Raka, pernahkah kau merasa kesepian?"
Raka terdiam, tatapannya sedikit menerawang. Tapi, seperti biasa, ia tidak langsung menjawab.
Aurora tidak mendesaknya. Ia tahu, Raka mungkin bukan tipe orang yang mudah berbagi. Tapi entah kenapa, ia merasa bahwa di balik sikap dinginnya, ada seseorang yang hanya butuh seseorang lain untuk menghangatkannya.
Dan entah bagaimana, Aurora ingin menjadi orang itu.
Bab 3: Rahasia di Balik Senja
Aurora selalu penasaran dengan sesuatu yang tersembunyi. Ia percaya bahwa setiap orang memiliki rahasia, dan bagi seseorang seperti Raka Mahendra, pasti ada sesuatu yang lebih dari sekadar pria pendiam yang mencintai kopi dan senja.
Sejak pertama kali bekerja di Senja Coffee, Aurora memperhatikan bahwa Raka selalu menghabiskan sore di sudut tertentu kafe, duduk diam menatap langit senja sambil menikmati kopi hitamnya. Tidak ada ponsel, tidak ada buku—hanya dia dan senja.
Hari itu, rasa penasarannya memuncak.
"Tuan Raka," panggil Aurora sambil mendekat. "Kenapa kau selalu menatap senja seperti itu?"
Raka yang tengah mengaduk kopinya berhenti sejenak. "Aku suka senja," jawabnya, seperti biasa—singkat dan tanpa emosi.
Aurora mendengus. "Ya, ya, aku tahu. Tapi pasti ada alasan lebih dari itu, kan?"
Raka diam, menatap langit yang mulai berubah warna. Setelah beberapa saat, ia menghela napas pelan. "Senja mengingatkanku pada sesuatu."
Aurora menunggu, tapi tidak ada kelanjutan. "Pada apa?" tanyanya pelan.
Lelaki itu meletakkan cangkirnya. "Seseorang."
Jejak Masa Lalu
Aurora mengerutkan kening. Ini pertama kalinya Raka menyebut tentang seseorang.
"Siapa?" tanyanya hati-hati.
Raka tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap langit senja yang perlahan berubah menjadi jingga keemasan. "Seseorang yang dulu sangat kucintai."
Aurora menahan napas. "Kekasihmu?"
Raka mengangguk pelan. "Dulu, dia adalah segalanya bagiku."
Aurora tidak tahu kenapa dadanya terasa sedikit sesak mendengar itu. Tapi ia tetap bertanya, "Lalu, apa yang terjadi?"
Raka tersenyum tipis, tapi senyum itu terasa pahit. "Dia pergi."
Hening.
Aurora menatap pria di depannya, mencoba mencari jawaban di wajahnya yang tetap tenang. Namun, matanya berkata lain. Ada luka yang tertinggal di sana—luka yang mungkin belum sepenuhnya sembuh.
"Pergi ke mana?" bisik Aurora, hampir takut mendengar jawabannya.
Raka menatap senja yang mulai meredup. "Ke tempat di mana aku tidak bisa menyusulnya."
Aurora terdiam. Butuh beberapa detik baginya untuk memahami makna kata-kata itu.
"Kau kehilangan dia?"
Raka mengangguk pelan. "Sudah lama sekali. Tapi setiap kali melihat senja, aku merasa dia masih ada di sini."
Aurora menunduk. Tiba-tiba, kafe yang hangat terasa sedikit lebih dingin. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata terasa tidak cukup.
Jadi, ia hanya duduk di sebelah Raka, menatap senja bersamanya.
Tanpa suara. Tanpa banyak bicara.
Hanya ada mereka, dan senja yang perlahan tenggelam.
Bab 4: Jarak yang Tumbuh dalam Hati
Sejak percakapan tentang senja itu, Aurora merasakan ada sesuatu yang berubah. Raka masih seperti biasa—pendiam, fokus dengan pekerjaannya, dan jarang menunjukkan emosi. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang terasa semakin jauh, seolah-olah percakapan tentang masa lalunya telah membuatnya kembali menarik diri.
Aurora ingin bertanya lebih banyak, ingin mengenalnya lebih dalam. Tapi setiap kali ia mencoba mendekat, Raka justru semakin menjaga jarak.
Hari itu, Aurora datang lebih pagi dari biasanya. Ia ingin mencoba resep kopi baru yang ia pelajari semalam. Tapi saat ia melangkah ke dalam kafe, ia menemukan Raka sudah duduk di kursinya, menatap jendela dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Tuan Raka,” sapa Aurora hati-hati.
Raka menoleh, ekspresinya kembali datar. “Kau datang lebih awal.”
Aurora tersenyum. “Aku ingin mencoba resep kopi baru.” Ia berjalan ke belakang counter, mulai menyiapkan bahan-bahan. “Tuan Raka mau jadi pencicip pertamanya?”
Raka menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Tidak perlu.”
Aurora terdiam. Biasanya, meskipun sering mengomentari kopinya dengan pedas, Raka tidak pernah menolak untuk mencoba.
“Kenapa?” tanyanya pelan.
“Karena aku tidak suka kopi yang dibuat oleh seseorang yang terlalu banyak bertanya,” jawab Raka santai, lalu kembali menatap jendela.
Jawaban itu membuat dada Aurora sedikit nyeri. Ia tahu Raka bukan tipe pria yang mudah berbagi, tapi ia tidak menyangka bahwa kedekatan yang mulai mereka bangun malah membuat Raka semakin menjauh.
Kebisuan yang Menyesakkan
Hari-hari berikutnya, Raka semakin menjaga jarak. Ia berbicara hanya jika diperlukan, tidak lagi menanggapi celoteh Aurora seperti sebelumnya. Jika Aurora mencoba bercanda, Raka hanya memberi jawaban singkat atau bahkan diam saja.
Aurora mulai bertanya-tanya, apakah ia telah melangkah terlalu jauh? Apakah ia telah mengusik sesuatu yang seharusnya tidak ia sentuh?
Suatu sore, saat kafe mulai sepi, Aurora memberanikan diri untuk bertanya.
“Tuan Raka,” panggilnya pelan.
Raka, yang sedang membersihkan mesin kopi, hanya menoleh sekilas.
“Kau menghindar dariku?”
Pria itu berhenti sebentar sebelum menjawab, “Aku tidak menghindar.”
Aurora tersenyum kecil, meski hatinya sedikit sakit. “Kalau begitu, kenapa rasanya seperti ada tembok di antara kita?”
Raka menghela napas, meletakkan kain lapnya, lalu menatap Aurora. “Karena aku tidak ingin kau masuk terlalu jauh.”
Kata-kata itu membuat Aurora terdiam.
“Aku bukan orang yang mudah terbuka, Aurora,” lanjut Raka. “Dan aku tidak ingin kau mengira bahwa aku bisa berubah hanya karena kehadiranmu.”
Aurora menelan ludah, mencoba memahami maksudnya.
“Kau takut aku akan mencoba mengubahmu?” tanyanya hati-hati.
“Bukan itu,” jawab Raka. “Aku hanya tidak ingin kau berharap.”
Hening.
Aurora tidak tahu harus berkata apa.
Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak berharap apa pun, bahwa ia hanya ingin mengenal Raka lebih baik. Tapi saat melihat mata pria itu yang dipenuhi dengan luka lama, Aurora menyadari sesuatu—Raka bukan hanya menjaga jarak darinya, tapi juga dari dirinya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, Aurora merasa bahwa mungkin, cinta yang tumbuh dalam hatinya akan menjadi perjalanan yang lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Bab 5: Pergi untuk Menemukan Jawaban
Aurora tidak bisa mengabaikan perasaannya. Sejak percakapan terakhir mereka, ia sadar ada sesuatu yang mengikat Raka pada masa lalunya—sesuatu yang membuatnya takut melangkah maju.
Dan untuk pertama kalinya, Aurora merasa bahwa mungkin satu-satunya cara untuk memahami Raka adalah dengan menemukan jawabannya sendiri.
Perjalanan ke Tempat yang Berarti
Hari itu, Aurora memutuskan untuk pergi lebih awal dari kafe. Ia mencari tahu tentang Raka dengan satu-satunya petunjuk yang ia punya: senja.
Satu-satunya tempat di kota ini yang terkenal dengan pemandangan senjanya adalah Bukit Lintang Senja, sebuah tempat yang cukup jauh dari pusat kota. Dengan penuh tekad, Aurora memutuskan untuk pergi ke sana.
Setibanya di sana, ia mendapati tempat itu begitu indah—langit jingga menyelimuti hamparan hijau, angin bertiup lembut, dan suasana begitu tenang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah sebuah bangku kayu tua yang diukir dengan nama seseorang:
“Alya Prameswari”
Aurora mengerutkan kening. Nama itu asing baginya. Tapi entah kenapa, ia merasa nama ini memiliki kaitan erat dengan Raka.
Ia pun bertanya kepada seorang penjaga di sana.
“Oh, Alya?” pria tua itu tersenyum samar. “Dia dulu sering ke sini bersama kekasihnya. Mereka berdua selalu duduk di bangku itu setiap senja tiba.”
Aurora menelan ludah. “Lalu… di mana dia sekarang?”
Pria tua itu terdiam sesaat sebelum berkata, “Dia sudah pergi. Lima tahun yang lalu.”
Masa Lalu yang Tak Pernah Pergi
Aurora pulang dengan hati yang dipenuhi pertanyaan.
Siapa Alya bagi Raka? Seberapa dalam luka yang ditinggalkan oleh perempuan itu?
Malamnya, saat ia kembali ke kafe, Raka sedang membereskan meja. Aurora berjalan mendekatinya, masih ragu apakah ia harus bertanya atau tidak.
Namun akhirnya, ia mengumpulkan keberaniannya.
“Tuan Raka,” panggilnya.
Raka menoleh, tapi tidak menjawab.
Aurora menggigit bibirnya. “Alya Prameswari… siapa dia?”
Sekelebat emosi melintas di mata Raka, namun dengan cepat ia mengendalikannya. Ia meletakkan kain lap di tangannya, lalu menatap Aurora dengan ekspresi datar.
“Dari mana kau tahu nama itu?” tanyanya pelan.
“Aku pergi ke Bukit Lintang Senja.”
Raka terdiam. Sejenak, suasana menjadi begitu sunyi, seolah hanya suara napas mereka yang terdengar.
Aurora menatapnya, menunggu jawaban. Namun, Raka justru berbalik, mengambil jaketnya, lalu berjalan keluar dari kafe.
“Tuan Raka!” Aurora mengejarnya. “Kenapa kau selalu menghindar?”
Raka berhenti, tetapi tidak menoleh.
“Aku tidak menghindar, Aurora.” Suaranya terdengar lelah. “Aku hanya tidak ingin mengingatnya lagi.”
Aurora mengepalkan tangannya. “Tapi kau masih hidup dalam bayangannya.”
Hening.
Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Raka melangkah pergi, meninggalkan Aurora yang berdiri di depan kafe, dengan hati yang semakin dipenuhi oleh pertanyaan yang belum terjawab.
Bab 6: Kembali ke Senja yang Sama
Raka tidak kembali ke kafe malam itu. Aurora menunggunya hingga larut, tapi pria itu tidak muncul. Ada sesuatu yang bergemuruh dalam hatinya—kecemasan, penasaran, dan mungkin… sedikit rasa sakit.
Pagi harinya, ia berusaha bersikap seperti biasa, tapi pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Raka dan nama yang ia temukan kemarin—Alya Prameswari.
Sampai akhirnya, sore itu, Raka datang.
Pria itu melangkah masuk seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Ia tampak lebih lelah, lebih dingin, dan lebih jauh.
Aurora menelan ludah, lalu menguatkan hatinya. Ia harus berbicara.
“Tuan Raka…” panggilnya pelan.
Raka berhenti di dekat meja bar, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak.
“Kau pergi ke Bukit Lintang Senja,” katanya datar.
Aurora mengangguk. “Aku ingin tahu kenapa senja begitu penting bagimu.”
Raka tertawa kecil—tawa yang lebih terdengar seperti helaan napas putus asa. “Dan kau pikir dengan pergi ke sana, kau akan menemukan jawabannya?”
Aurora menggigit bibirnya. “Aku hanya ingin mengerti.”
Pria itu menghela napas panjang, lalu berjalan ke sudut favoritnya di kafe. Ia duduk, menatap langit yang mulai berubah warna, dan untuk pertama kalinya, ia berbicara tanpa Aurora harus bertanya.
"Dulu, setiap kali matahari mulai terbenam, aku dan Alya selalu duduk di sana—di bangku kayu di Bukit Lintang Senja. Itu adalah tempat favorit kami, tempat di mana kami merencanakan banyak hal… termasuk masa depan.”
Aurora duduk di kursi di depannya, mendengarkan dalam diam.
“Tapi rencana itu tidak pernah terjadi.”
Hening.
Raka mengusap wajahnya dengan lelah. “Alya meninggal lima tahun lalu. Kecelakaan mobil.”
Aurora menahan napas.
“Aku menyalahkan diriku sendiri,” lanjut Raka, suaranya lebih pelan. “Hari itu, aku yang menyuruhnya pergi sendirian. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, terlalu yakin bahwa akan selalu ada hari esok untuk bertemu lagi. Tapi aku salah.”
Aurora menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat Raka tanpa dinding yang biasanya ia bangun di sekelilingnya.
Ia bukan pria yang dingin atau tak tersentuh. Ia hanya seseorang yang kehilangan, seseorang yang hidup dalam bayang-bayang penyesalan.
Sebuah Langkah untuk Maju
Matahari mulai tenggelam, dan warna jingga senja menyelimuti kafe. Aurora mengambil napas dalam-dalam sebelum berkata, “Tuan Raka, kau tahu apa yang kupikirkan tentang senja?”
Raka menoleh padanya, menunggu.
“Senja selalu datang kembali setiap hari, meskipun ia harus tenggelam lebih dulu,” kata Aurora pelan. “Mungkin kita tidak bisa mengulang masa lalu, tapi kita masih bisa membuat hari esok lebih baik.”
Raka terdiam.
Lalu, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, pria itu tersenyum kecil—samar, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Aurora tahu bahwa mungkin… hanya mungkin… Raka akhirnya siap untuk kembali ke senja yang sama, tapi dengan hati yang berbeda.
Bab 7: Akhir yang Terbuka, Cinta yang Bertahan
Hari-hari berlalu sejak malam itu. Sejak Raka untuk pertama kalinya membuka dirinya kepada Aurora, ada sesuatu yang berubah di antara mereka—bukan sesuatu yang besar atau dramatis, tetapi cukup untuk dirasakan.
Raka masih pria yang sama, masih dengan kebiasaannya menikmati kopi pahit dan menatap senja dalam diam. Tapi kini, ia tidak lagi terlihat seolah terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Ada ketenangan baru dalam sorot matanya, sesuatu yang tidak pernah Aurora lihat sebelumnya.
Dan Aurora… ia juga berubah. Jika dulu ia hanya ingin memahami Raka, kini ia tahu bahwa perasaannya telah tumbuh jauh lebih dalam dari sekadar rasa penasaran.
Ia jatuh cinta.
Tapi ia juga sadar bahwa cinta tidak selalu harus memiliki akhir yang pasti.
Sebuah Pilihan
Suatu sore, saat kafe mulai sepi, Raka menatap Aurora yang sibuk merapikan meja.
“Kau akan tetap bekerja di sini?” tanyanya tiba-tiba.
Aurora berhenti sejenak, lalu tersenyum. “Entahlah. Mungkin sampai aku menemukan sesuatu yang baru untuk kukejar.”
Raka menyesap kopinya, lalu berkata, “Kau selalu bicara tentang masa depan.”
Aurora terkekeh. “Dan kau selalu bicara tentang masa lalu.”
Raka menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu, bagaimana jika kita mulai berbicara tentang saat ini?”
Aurora tertegun. Ia tidak tahu apakah itu berarti Raka telah siap untuk melangkah maju bersamanya, ataukah hanya sekadar pernyataan tanpa makna.
Tapi saat ia menatap pria itu—dengan matanya yang kini tidak lagi dipenuhi kesedihan semata—Aurora sadar bahwa tidak semua kisah cinta membutuhkan akhir yang sempurna.
Terkadang, cukup dengan mengetahui bahwa cinta itu tetap ada, bertahan di antara dua hati yang saling memahami.
Dan senja pun kembali datang, seperti biasa.
Tidak untuk menutup cerita mereka, tetapi untuk mengingatkan bahwa esok selalu membawa kemungkinan baru.
— Tamat —