Di bawah cahaya bulan pucat, pedang itu tergeletak di tanah yang basah oleh darah. Mata pedang hitam berkilauan, seolah haus akan nyawa berikutnya. Orang-orang menyebutnya "Lamenta", pedang terkutuk yang selalu mencari pemilik baru—bukan untuk melindungi, melainkan untuk menyeret mereka menuju kematian yang tragis.
Banyak yang mencoba membuangnya ke dalam jurang, membakarnya dalam api, atau menenggelamkannya di laut dalam. Namun setiap kali hilang, ia selalu kembali, seolah dunia tak bisa terlepas dari cengkeramannya. Sejarah mencatat bahwa setiap kali Lamenta dibuang, bencana besar akan melanda dunia. Gempa dahsyat, badai tanpa henti, atau wabah mematikan—selalu ada harga yang harus dibayar. Maka, meski dirundung ketakutan, manusia terus mewarisi pedang itu.
Sepuluh tahun lalu, pedang itu dimiliki oleh seorang ksatria bernama Rudrick, seorang pemimpin perang yang tak terkalahkan. Namun, tepat setelah kemenangan terbesarnya, ia ditemukan tewas di tengah malam. Kepalanya terpenggal oleh pedangnya sendiri, dan tubuhnya bersimbah darah di tempat tidurnya. Tak ada jejak perlawanan, seolah ia membiarkan dirinya dibantai.
Setelah kematian Rudrick, pedang itu berpindah ke tangan seorang pencuri yang menjualnya di pasar gelap. Orang yang membelinya, seorang bangsawan tamak, juga menemui ajalnya—tenggelam di sumur istananya sendiri.
Kini, pedang itu ada di tangan Erin, seorang pendekar wanita yang tidak percaya takhayul. Ia menemukannya di reruntuhan kastil tua, tertancap di dada mayat seorang mantan raja. Alih-alih takut, Erin merasa bahwa pedang ini adalah harta yang bisa membawanya menuju kejayaan.
"Sebuah pedang hanya akan membunuh mereka yang lemah," katanya, menggenggam gagangnya erat. "Kutukan hanyalah cerita orang bodoh."
Namun, di malam ketiga setelah memilikinya, Erin mulai bermimpi buruk. Dalam tidurnya, ia melihat dirinya dikepung oleh bayangan hitam, bisikan menyeramkan memenuhi kepalanya. Saat terbangun, ia menemukan goresan di lengannya—seolah ada sesuatu yang menyerangnya dalam tidur.
Hari demi hari, kejadian aneh terus terjadi. Suaranya terkadang bergema di ruangan kosong. Bayangannya sendiri tampak berbeda di cermin, seolah bergerak sendiri. Dan setiap kali ia menaruh pedangnya, benda itu selalu kembali ke sisinya, entah bagaimana caranya.
Hingga suatu malam, saat ia terjaga, Erin mendengar suara.
"Aku milik siapa pun yang memegangku. Tapi tak ada yang bisa memilikiku."
Suara itu bergema dari pedang yang tergeletak di dekatnya. Erin merasa tubuhnya membeku. Ia berusaha melempar pedang itu ke luar jendela, namun di saat yang sama, petir menyambar langit, mengguncang bumi dengan dahsyat. Kutukan itu nyata.
Erin tahu, ia harus menyerahkan pedang ini sebelum ajalnya tiba.
Ia menunggangi kudanya, pergi ke kota lain, dan diam-diam meninggalkan pedang itu di sebuah kuil tua. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, seorang biarawan tua keluar dari kuil dengan ekspresi ketakutan.
"Siapa yang meninggalkan ini?" tanya sang biarawan, suaranya bergetar.
Erin hanya diam.
"Sungguh malang," lanjut sang biarawan, "Pedang ini tidak mencari pemilik, melainkan korban. Dan ia telah memilihmu."
Erin merasakan darahnya membeku. Ia berusaha melarikan diri, namun langkahnya terasa berat. Pedang itu kini berada di pinggangnya, seolah mengikat takdirnya sendiri.
Di keheningan malam, Erin sadar akan satu hal—tidak ada yang bisa membuang pedang ini tanpa konsekuensi.
Dan ia hanya bisa menunggu… sampai ajalnya menjemput.
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Erin mengunci dirinya di dalam kamar penginapan kecil di desa terpencil. Tangannya gemetar saat menyentuh gagang pedang Lamenta, yang entah bagaimana selalu kembali ke sisinya.
Ia tak bisa tidur. Dalam keheningan, ia mendengar suara langkah-langkah samar di luar jendelanya, diiringi bisikan yang menggema di benaknya.
"Aku milik siapa pun yang memegangku. Tapi tak ada yang bisa memilikiku…"
Bisikan itu berubah menjadi suara jeritan, tawa melengking, dan suara besi beradu. Erin memejamkan mata, mengatur napasnya, mencoba menyangkal semua itu hanyalah ilusi.
Namun tiba-tiba—CREAAK!
Pintu kamarnya terbuka sendiri.
Erin langsung berdiri, menghunus pedangnya. Cahaya lilin bergetar di sudut ruangan, menciptakan bayangan yang berkelindan di dinding.
"Siapa di sana?" tanyanya.
Tak ada jawaban.
Langkah-langkahnya terasa berat saat ia mendekati pintu. Di luar, lorong penginapan kosong. Namun, di ujung lorong, sesosok pria tua berjubah gelap berdiri, menatapnya dengan mata kosong.
"Kau adalah pemilik yang berikutnya," gumam pria itu.
Erin mengangkat pedangnya. "Apa maksudmu?"
"Lamenta selalu memilih."
Pria itu tersenyum, tetapi bukan senyum ramah—melainkan senyum seseorang yang telah kehilangan kewarasannya.
"Kau akan mati, sama seperti yang lain," lanjutnya. "Tapi sebelum itu, kau harus menyerahkan pedang itu kepada seseorang. Jika kau menolaknya… kutukan akan memburumu tanpa henti."
Erin menggertakkan giginya. "Jadi… aku harus mencari korban lain?"
Pria itu mengangguk pelan. "Seperti yang dilakukan mereka sebelum kau. Pilihlah seseorang, dan kau akan selamat… untuk sementara."
Erin meninggalkan penginapan dengan hati yang diliputi kegelapan. Ia tahu bahwa kematian menunggunya jika terus memegang Lamenta, tetapi ia juga tak ingin mengorbankan orang lain.
Ia menunggangi kudanya tanpa arah, berharap menemukan jalan keluar dari kutukan ini.
Di tengah perjalanan, ia melihat seorang pemuda duduk di tepi sungai, mengasah pedang tumpul dengan ekspresi putus asa. Erin bisa langsung mengenali tatapan itu—tatapan seseorang yang ingin menjadi kuat, yang ingin bertahan hidup dengan segala cara.
Pemuda itu menoleh saat Erin mendekat. "Kau seorang pendekar?" tanyanya.
Erin menatapnya lama. "Apa kau ingin menjadi lebih kuat?"
Pemuda itu mengangguk. "Aku butuh senjata yang lebih baik. Pedangku sudah usang."
Dalam hening, Erin menarik Lamenta dari sarungnya dan mengulurkannya. "Gunakan ini."
Mata pemuda itu berbinar. Tanpa ragu, ia menerima pedang itu dengan kedua tangan.
Sesaat setelah pedang itu berpindah tangan, Erin merasakan beban yang menghimpit dadanya lenyap. Napasnya terasa lebih ringan, pikirannya lebih jernih. Ia sadar—kutukan telah berpindah.
Ia menatap pemuda itu untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan berjalan pergi.
Di kejauhan, ia masih bisa mendengar bisikan halus dari Lamenta…
"Aku milik siapa pun yang memegangku. Tapi tak ada yang bisa memilikiku."
Dan lingkaran kutukan pun kembali dimulai.