Hari pertama di SMA menjadi awal baru bagi Chalisa. Ia melangkah masuk ke gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk, senang, gugup, dan sedikit takut. Ruang kelas terasa begitu asing, penuh dengan wajah-wajah yang belum pernah ia temui sebelumnya. Namun, di minggu pertamanya, ia berkenalan dengan dua gadis yang membuatnya merasa lebih nyaman. Dua gadis itu bernama Adinna dan Arini. Dalam waktu singkat, mereka bertiga menjadi sahabat.
Di minggu kedua, Chalisa memutuskan untuk bergabung dengan ekstrakurikuler Rohis. Ia menyukai kegiatan yang menenangkan hati dan menambah ilmu agama. Sejak awal, ia bertekad untuk menjadi anggota yang rajin, selalu hadir di setiap pertemuan, dan tidak pernah bolos. Ia menikmati ekstrakurikuler yang telah lama ia idam-idamkan, merasa tenang dalam lingkungan yang baik dan religius.
Namun, ketenangan itu mulai berubah ketika suatu malam, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal.
"Assalamu’alaikum, Chalisa. Boleh kenalan?"
Awalnya, Chalisa mengabaikan pesan itu. Namun, laki-laki itu terus menghubunginya dengan cara yang sopan. Perlahan, percakapan mereka mulai mengalir. Beberapa minggu kemudian, Chalisa mulai mengenal sosok di balik pesan itu adalah Abizar, seorang kakak kelas yang ternyata juga anggota Rohis.
Awalnya, Chalisa tidak menyukai Abizar. Ia merasa laki-laki itu terlalu banyak bicara dan sering bertingkah jail. Namun, seiring waktu, Abizar menunjukkan bahwa ia bersedia melakukan apa pun demi membuat Chalisa senang. Ia selalu ada, selalu berusaha mengerti hal-hal kecil dari Chalisa, dan perlahan, benteng yang Chalisa bangun seketika runtuh.
Setelah satu bulan pendekatan, akhirnya mereka resmi berpacaran. Hubungan mereka terasa begitu indah. Chalisa semakin bersemangat datang ekstrakurikuler, bukan hanya karena kegiatan di dalamnya, tetapi juga karena kehadiran Abizar. Bahkan, kebiasaannya yang dulu paling malas nongkrong di luar kelas mulai berubah. Kini, ia sering mengajak Adinna dan Arini mampir ke kantin, hanya untuk sekadar melihat Abizar dari jauh.
Mereka adalah pasangan yang terlihat cocok di mata banyak orang. Abizar yang banyak bicara dan suka bercanda, sedangkan Chalisa yang pendiam dan lebih banyak mendengar. Setiap kali mereka bersama, ada tawa yang tercipta. Abizar selalu memberikan perhatian lebih padanya, dan Chalisa membalasnya dengan perasaan yang lebih besar.
Namun, cinta yang terlalu besar sering kali berujung pada luka yang sangat dalam.
Suatu hari, tanpa sengaja, Chalisa mengetahui bahwa Abizar telah berselingkuh. Hatinya hancur seketika. Rasanya ingin menangis, ingin marah, ingin bertanya mengapa semua ini harus terjadi. Tapi pada akhirnya, yang ia lakukan hanyalah memaafkan. Ia memberi kesempatan kedua, berharap Abizar berubah dan kembali baik-baik saja.
Dan memang, setelah itu, hubungan mereka kembali berjalan baik-baik saja. Chalisa berusaha melupakan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua orang bisa berubah. Ia memilih tetap mencintai Abizar meskipun hatinya pernah dikhianati.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Saat kenaikan kelas tiba, semuanya berubah. Abizar tiba-tiba mengirim pesan yang menghancurkan segalanya.
"Maaf, Chalisa. Aku mau kita udahan dulu."
Hanya itu. Tanpa ada alasan yang jelas. Chalisa membaca pesan itu berulang kali, berharap ada sesuatu yang bisa membuatnya mengerti. Tapi tidak ada. Semua terasa kosong.
Ia ingin bertanya, ingin menuntut penjelasan, ingin memohon agar Abizar tidak pergi begitu saja. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa dirinya bukan tipe perempuan yang akan mengemis cinta. Dengan hati yang berat, ia menerima keputusan itu.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Chalisa menangis karena masalah percintaan. Bukan hanya karena kehilangan Abizar, tetapi karena ia menyadari sesuatu yang lebih menyakitkan, ia telah menaruh cintanya pada orang yang salah.
Penyesalan menyelimutinya. Ia merasa bodoh karena telah membiarkan dirinya terbuai oleh perasaan yang fana. Ia merasa jauh dari dirinya yang dulu ia seorang perempuan yang selalu menempatkan Tuhan sebagai cinta pertama dan utamanya.
Dalam tangis yang lirih, ia berdoa.
"Ya Allah, maafkan aku. Aku telah salah dalam mencintai. Aku telah lupa bahwa cinta yang benar adalah cinta yang mendekatkanku pada-Mu, bukan yang membuatku lalai dan membuatku semakin jauh dari-Mu."
Di dalam hatinya, ia berjanji.
Tidak akan ada lagi kesalahan yang sama. Tidak akan ada lagi cinta yang membutakannya. Mulai saat ini, ia akan kembali menjadi dirinya yang dulu, perempuan yang mencintai Tuhan di atas segalanya.