Di ujung kota yang sepi, ada sebuah kedai kopi kecil bernama Senja & Rindu. Kedai itu tak pernah benar-benar ramai, tapi selalu memiliki pelanggan setia yang datang hanya untuk menikmati secangkir kopi dan suasana tenangnya.
Salah satu pelanggan setia itu adalah Naya. Setiap sore, ia duduk di sudut kedai dekat jendela, menatap langit yang mulai berubah warna. Tangannya menggenggam buku, tetapi sering kali ia hanya menatap kosong ke luar. Seakan menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.
Hingga suatu sore, seseorang duduk di meja seberangnya. Lelaki itu berusia sebaya dengannya, dengan jaket denim lusuh dan mata yang tajam. Awalnya, mereka tak saling bicara, hanya sesekali bertukar pandang tanpa sengaja.
“Kau selalu di sini?” tanya lelaki itu akhirnya.
Naya mengangguk. “Aku suka senja.”
Lelaki itu tersenyum tipis. “Aku suka langit malam.”
Sejak percakapan singkat itu, mereka sering bertemu di kedai yang sama. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai Ray. Ia suka menulis, dan katanya, ia sering mencari inspirasi dari orang-orang yang duduk sendiri di sudut kedai.
Suatu hari, Naya bertanya, “Apa kau pernah menulis tentang seseorang yang menunggu?”
Ray terdiam. Matanya menatap Naya dalam-dalam sebelum menjawab, “Menunggu apa?”
Naya tersenyum kecil. “Entah. Mungkin menunggu seseorang yang bahkan tak tahu sedang dinanti.”
Ray tak langsung menjawab. Ia hanya menyesap kopinya perlahan. Tapi sejak hari itu, ia mulai menulis sesuatu yang berbeda.
Hari-hari berlalu. Mereka terus bertemu di kedai itu, berbincang tentang hal-hal kecil, tentang senja dan malam, tentang kopi dan buku, tentang impian dan kenangan. Hingga suatu sore, Ray datang membawa sebuah buku kecil bersampul cokelat.
“Aku menulis sesuatu,” katanya sambil meletakkan buku itu di depan Naya.
Dengan hati-hati, Naya membuka halaman pertama. Di sana, tertulis sebuah kalimat pembuka:
"Untuk seseorang yang selalu menunggu senja di sudut jendela. Mungkin, ia tak pernah sadar bahwa seseorang juga sedang menunggunya di sisi lain kedai."
Naya menutup buku itu perlahan. Ia menatap Ray, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin—hanya mungkin—ia tak lagi sendiri dalam menunggu.
Di luar jendela, senja perlahan memudar. Tapi di kedai kecil itu, sesuatu yang lain baru saja dimulai.