Di sudut kamar yang mulai berdebu, aku bersandar pada dinding dingin yang tak pernah memeluk. Malam yang kelam perlahan menyusup ke dalam hatiku yang telah lama hancur. Pandanganku kosong dan wajahku pucat.
Aku lelah.
Lelah akan suara-suara yang tak pernah berhenti dikepalaku.
Lelah akan ingatan masa lalu yang terus menari dalam batinku yang membuat lukaku tak juga kunjung pulih.
Aku menatap hampa lenganku yang sudah dipenuhi dengan ukiran-ukiran ciptaanku sendiri yang memberikan bukti bahwa aku pernah berusaha membungkam sakitku sendiri.
Perlahan tanganku yang sedikit gemetar kembali mengambil sebilah pisau kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu redup kamarku.
Aku menarik napas lirih lalu kembali menggoreskan mata pisau itu ke kulitku.
Tidak, ini bukan kulit. Bagiku ini adalah sebuah kanvas yang memang harus di isi dengan sebuah lukisan rasa sakit.
Tak lama, semburat merah baru mulai terlihat pelan-pelan dan menghasilkan tetesan-tetesan kecil disetiap goresannya.
Aku tersenyum nanar, hatiku menjadi sedikit tenang jika aku melakukan ini. Jika kau berteriak aku sudah gila, kau benar.
Aku takkan berontak. Aku takkan menolak. Karena aku sudah tak punya sesuatu yang membuatku merasa hidup.
Aku ingin lepas.
Aku ingin bebas.
Namun, terkadang aku ingin tenggelam meluruh bersama keheningan yang pekat ini. Atau menghapuskan diri dari dunia dan menjadi angin yang berhembus lembut melewati orang-orang yang tengah bahagia.
Perasaanku hampa. Aku tak tahu apa yang aku rasakan sebenarnya. Terkadang, saat aku menutup mata, aku berharap dunia tak lagi menyambutku saat pagi tiba. Namun, lagi-lagi aku tetap terbangun dengan hati yang masih juga hancur.
Mungkin, sesekali aku ingin orang-orang menanyakan keadaanku. Tapi lagi-lagi, aku terus mengatakan 'Aku baik-baik saja'.
Entahlah, aku benar-benar tidak tahu.
🍀🍀🍀
Aku keluar dari kamarku dengan langkah gontai. Ku lihat, seekor kucing tengah membersihkan tubuhnya dengan santai.
"Apakah ia bahagia?"
"Apakah ia pernah tersakiti oleh kucing lainnya?"
"Atau.. Apa ia pernah mencoba membunuh dirinya sendiri?"
Pertanyaan itu terus menghantuiku saat aku melihat binatang-binatang di luar sana.
Lalu aku mengambil segelas air di dapur dan kembali ke kamarku.
"Aku ingin bahagia." Ucapku.
Namun sialnya, lagi-lagi aku tidak tahu bahagia seperti apa yang aku mau.
Aku menghembuskan napas panjang. Jika aku mati, apakah manusia yang mengenalku akan sedih? Atau malah senang karena beban mereka berkurang?
"Meong.." Aku menoleh ke sumber suara—dijendela luar yang telah membuyarkan lamunanku.
Ah! Ternyata kucing itu sedang hamil.
Aku terdiam menatap lukaku, menekannya dengan kuat.
Untuk kali ini, hanya untuk kali ini. Aku kembali mencoba bertahan—hingga kucing itu melahirkan anak-anaknya.
Ya, sampai saat itu tiba, sama seperti minggu-minggu yang lalu ketika aku bertahan untuk melihat bunga-bunga itu tumbuh subur atau sekedar menunggu kepompong itu berubah menjadi kupu-kupu yang cantik dan terbang bebas.
🍀🍀🍀
(Terima kasih sudah membaca! Mari hidup lebih lama dan bahagia ya.. Maaf agak berantakan atau sedikit tidak nyambung. Terima Kasih💞)