Saat itu hujan turun begitu deras seakan menciptakan irama samar yang berpadu dengan deru angin dingin dan terasa menusuk, kilatan petir sesekali menerangi langit kelam, memperlihatkan barisan gedung gedung tua tengah berdiri kokoh membisu di tengah derasnya hujan
Di salah satu sudut kota, sebuah bangunan indah berdiri dengan pintu kayu yang tertutup rapat seakan tengah menutupi rahasia gelap di baliknya.
Dalam ruangan dengan cahaya remang remang, udara dipenuhi logam khas—bau darah yang telah mengering bercampur dengan kelembapan dari udara dingin, lampu redup berayun secara perlahan.
Menciptakan bayangan tampak tengah menari di sepanjang dinding batu kasar, meja kayu dengan bercak darah gelap berdiri di tengah ruangan, menjadi saksi bisu atas banyaknya peristiwa kejam yang terjadi di dalam ruangan tersebut.
Dari balik meja, seorang pria duduk dengan tenang, wajahnya tampak tak memiliki emosi, hanya menunjukan dua apakah mata berwarna Amber yang sepertinya bisa mengintip sampai ke dalam jiwa seseorang.
Matanya tampak tajam memancarkan kesan dingin, penuh dengan perhitungan, namun di balik itu ada sebuah kesenangan terselubung, kesenangan dari seorang pemangsa ketika tengah memperhatikan jejak dari mangsanya saat tengah putus asa seolah menikmati penderitaan di depannya.
Di hadapannya seorang pria muda berlutut dengan tubuh gemetaran, bajunya setengah sobek karena berlarian sepanjang hari, tubuhnya di penuhi luka sayatan yang terlihat masih mengalirkan darah segar, nafasnya berat, nyaris putus putus, seolah setiap tarikan udara adalah sebuah usaha terakhir untuk bertahan.
Mata itu dulu memancarkan semangat penuh kehidupan namun kini tampak redup, dipenuhi keputusasaan mendalam, ia tahu bahwa tak ada lagi jalan keluar, di dalam ruangan itu, tak ada harapan, apalagi jejak dari belas kasihan.
“Tolong…” suara pemuda itu serak dan parau, hampir tertelan oleh suara hujan yang menghantam atap. “aku bahkan udah ngikutin semua aturan…”
Pria berambut biru gelap itu mencondongkan tubuhnya ke depan, sambil menyandarkan siku di atas meja kayu, terlihat bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, sebuah ekspresi yang lebih menyerupai penghinaan ketimbang rasa kasihan.
“Memang begitu, dan aku merasa bangga karena—” katanya pelan, suaranya rendah dan nyaris berbisik. “kamu udah bertahan lebih lama dari anggota yang lain.”
“Ampuni nyawa aku, di rumah aku masih punya keluarga dan kalo pergi gitu aja, orang tua aku bakal sedih.” pinta pemuda tersebut, suaranya terdengar lirih.
Namun si pria berambut biru gelap itu terus menatap dan tampak fokus, bahkan tatapannya tetap mengarah pada pria muda yang tak berdaya di hadapannya sambil menyunggingkan senyuman lebar.
Seakan tengah mengamati setiap ekspresi ketakutan yang terpampang jelas di wajah pemuda itu, ia tampak menikmati momen ini—momen ketika mangsanya akhirnya menyadari bahwa takdir mereka telah ditentukan sejak awal.
“Tapi permainan ini gak pernah berakhir buat para pecundang.” ucap pria berambut biru gelap itu. “sampah kayak kamu yang cuma bisa ngorbanin teman itu gak layak buat hidup.”
Pemuda itu terdiam sejenak dan hampir menitihkan air mata. “tapi—peraturannya berkata—”
Namun sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, sebuah pisau panjang dengan mata berkilat dingin terangkat tinggi di udara, dari arah belakang, sepertinya ada orang lain selain mereka berdua di dalam ruangan tersebut.
Cahaya lampu yang redup memantulkan kilauan tajamnya sebelum akhirnya meluncur ke bawah, beberapa detik kemudian terdengar suara jeritan memilukan memenuhi seluruh ruangan, bahkan bergema di antara dinding batu.
Darah menyembur liar, membuat lukisan abstrak memenuhi lantai dan serta dinding dengan warna merah pekat.
Pria berambut biru gelap itu tetap duduk dengan tenang, tak sedikit pun terusik oleh pemandangan mengerikan yang baru saja terjadi, di depan matanya seolah hal tersebut hampir sering ia saksikan.
Secara perlahan pria itu mengamati tubuh yang kini tak lagi bergerak di hadapannya, matanya menelusuri setiap detail dengan tatapan penuh kepuasan.
Setelah beberapa saat, ia mengulurkan tangan bersarung hitamnya ke atas meja, mengambil selembar kertas yang dipenuhi dengan nama-nama.
Dengan gerakan santai, ia mencoret salah satu nama yang kini tak lagi memiliki masa depan, kemudian, ia mengalihkan perhatiannya ke baris berikutnya.
Vael Kessler.
Senyum kecil kembali menghiasi wajahnya, menciptakan aura misterius di ruangan yang diterangi cahaya redup, dengan gerakan tenang, Rizky membuka sebuah laci di samping meja, jari jarinya menyentuh permukaan kayu sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah amplop hitam.
Segel berlambang mata terpampang jelas di tengahnya, menambah kesan rahasia yang terkandung di dalamnya, dengan penuh kehati hatian, ia menyelipkan selembar kertas ke dalam amplop tersebut, lalu meletakkannya ke dalam sebuah kotak kayu berukir.
Kotak itu bukan sekadar tempat penyimpanan—ia adalah bagian dari sebuah ritual dan tampaknya telah berlangsung lama, sebuah tradisi yang hanya diketahui segelintir orang.
Di tengah kesunyian yang menggantung, Rizky mengangkat wajahnya. “Raziel, Vanessa.” suaranya terdengar datar namun penuh otoritas.
Vanessa segera merespons, suaranya tegas namun tetap mengandung rasa hormat. "ada apa, tuan Rizky?"
Tatapan Rizky tajam saat ia menyampaikan perintahnya. "aku mau kalian buat nyari tujuh anggota baru buat ngikutin permainan ini, dan pastikan salah satunya adalah Vael Kessler."
Saling bertukar pandang sekilas, Vanessa dan Raziel memahami makna di balik instruksi itu, tanpa ragu, Vanessa mengangguk sebelum menjawab dengan mantap, "Siap laksanakan, tuan Rizky."
Dengan gerakan anggun, Vanessa berbalik dan meninggalkan ruangan, langkahnya mantap menuju area lebih luas—sebuah lapangan yang akan menjadi arena permainan perburuan, rambut pirang keperakannya berkilau indah di bawah cahaya bulan, menciptakan aura misterius seakan menyatu dengan malam.
“Raziel,” panggil Rizky dengan suara rendah namun tegas.
Raziel menoleh dengan sedikit malas. “iya?”
Rizky melambaikan surat undangan di tangannya. “kayaknya Vanessa lupa bawa surat undangannya lagi… dan pergi gitu aja.”
Raziel mendengus pelan, tidak terkejut. “Vanessa emang kayak gitu, selalu aja lupa hal penting, apalagi kalau itu nyangkut permainan ini.”
Rizky menyilangkan tangan di depan dada. “Aku mau kau berikan tiga surat undangan padanya.”
Raziel mengangguk tanpa ragu. “siap, laksanakan.”
Tanpa membuang waktu, Raziel mengambil tiga surat undangan yang tersegel dalam amplop hitam pekat—segelap malam yang melingkupi mereka.
Pakaiannya masih bersimbah darah, namun itu bukan sesuatu dan tak telalu penting hingga perlu dikhawatirkan, dengan tatapan dingin, ia berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan ruangan untuk menemukan gadis yang baru saja pergi.
Sementara itu, Vanessa kini berdiri di dekat jendela sebuah ruangan lain, matanya menatap lapangan di luar sebelum beralih ke derasnya hujan yang menghantam kaca, mata merahnya bersinar dengan kilatan antusias, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh arti.
Ketika suara langkah bergema di belakangnya, Vanessa menoleh, tatapannya bertemu dengan Raziel yang baru saja keluar dari ruang eksekusi, sorot matanya memancarkan rasa ingin tahu yang dalam, seakan menanti jawaban atas pertanyaan meski itu belum terucap.
“Udah waktunya buat ngundang pemain baru?” tanya Vanessa, suaranya terdengar lembut—hampir seperti bisikan manis, namun ada sesuatu yang lebih dalam di sana… sesuatu yang berbahaya.
Raziel menatapnya sesaat sebelum mengangguk pelan. “ya,” jawabnya. “kita bakal lihat apakah pemain baru ini bisa menghibur lebih lama.”
Senyum Vanessa melebar, meski ia berusaha menyembunyikan kegembiraannya, namun akhirnya, tawa pelannya pecah—sebuah tawa yang dipenuhi kepuasan.
Baginya, menjadi pemburu dan menanamkan keputusasaan pada orang lain bukan sekadar pekerjaan, tapi itu adalah kenikmatan yang tak tertandingi.
Malam itu, hujan turun semakin deras, menambah suasana muram di dalam kamar sempit yang ditempati Vael, di balik jendela kaca yang berembun, kilatan petir menerangi langit, menciptakan bayangan panjang di dinding kamar.
Vael duduk di tepi ranjang, wajahnya tertunduk dengan tangan terkepal di atas paha, merasa terpuruk dalam keadaan keluarganya, dan meskipun telah bekerja paruh waktu semuanya terasa kurang.
Pikiran Vael penuh dengan kegelisahan, biaya sekolah yang belum terbayar terus menghantui, seperti beban berat dan terus menekan dadanya, ia tahu betul kondisi keuangan orang tuanya yang tengah terpuruk.
Ayahnya hanya seorang buruh pabrik dengan penghasilan pas pasan, sementara ibunya bekerja sebagai penjaga toko kecil di sudut jalan.
Mereka sudah berusaha sekuat tenaga, dan Vael tak ingin menambah beban mereka dengan masalah kuliahnya.
Namun, kenyataan berkata lain, jika ia tak segera membayar biaya sekolah dalam waktu dekat, ia bisa dikeluarkan padahal ia telah berusaha keras untuk menjadi orang yang bisa meningkatkan ekonomi keluarga dengan kuliah.
Jika ia berhasil mencapai sarjana, maka akan membuka peluang kerja lebih tinggi, dengan kata lain gaji yang ia dapatkan tentu tak sedikit, namun sepertinya semua itu hanya tinggal impian semata, dan mungkin tak akan pernah terwujud.
Vael berjalan menuju ke lemari tempat ia menyimpan gaji hasil kerja paruh waktu, tapi—harus di belikan kebutuhan sehari hari, membantu keluarganya, apalagi ia adalah anak tunggal, jadi harus bekerja keras untuk keluarga.
Saat hendak beristirahat panjang, Vael memimpikan mendapatkan uang sebesar 50 miliar, agar hidupnya dan keluarga, ia pun menghela nafas panjang, sembari mengusap wajah dengan kasar, ia menolak meminta bantuan, dan memilih untuk mencari jalan keluar sendiri.
Saat itu, suara ketukan pelan terdengar di pintu rumah, Vael mendongak, sedikit heran, tak ada yang biasanya datang berkunjung di jam selarut ini.
Ibunya yang baru saja keluar dari dapur berjalan ke arah pintu, setelah mengintip dari celah, ia membuka pintu dengan sedikit ragu.
Di depan rumah, seorang pria berdiri di bawah guyuran hujan, mengenakan jas hitam panjang dengan topi fedora yang menutupi sebagian wajahnya, ia tampak tenang meskipun hujan membasahi bahunya.
“Selamat malam,” ucap pria itu dengan suara datar. Ia merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop hitam, lalu mengulurkannya ke arah ibu Vael. “Tolong berikan ini kepada Vael Kessler.”
Ibu Vael, nona Marlene tampak ragu. Matanya menatap amplop itu dengan kecurigaan, tapi pria itu hanya tersenyum tipis, seolah tahu ia tak akan menolak.
Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya ia menerima amplop itu, namun saat hendak bertanya lebih lanjut, pria itu sudah berbalik dan menghilang dalam gelapnya malam, seakan menyatu dengan bayangan di antara hujan.
Marlene menutup pintu, lalu menatap amplop di tangannya, ada segel berbentuk mata di bagian depannya, sesuatu yang terasa aneh dari surat ini.
“Vael, ini ada surat untukmu,” kata Marlene sambil berjalan ke kamar anaknya.
Vael mengernyit heran. “Surat?”
Namun tangannya meraih amplop hitam itu dan menatapnya dengan perasaan tak menentu, ada aura misterius yang menyelubunginya, seakan amplop itu bukan sekadar surat biasa.
Dengan hati hati Vael membuka segel dan mengeluarkan selembar kertas berwarna gelap, tulisan berwarna emas terukir di atasnya, seakan ditulis dengan tinta khusus.
“Selamat, Vael Kessler. kamu terpilih untuk bergabung dalam sebuah permainan eksklusif untuk diberikan pada orang spesial seperti dirimu, hadiah besar menanti mereka yang bertahan. kamu memiliki waktu 24 jam untuk mempertimbangkan. Jika kamu menerima, datanglah ke lokasi yang tertera di bawah ini. Jika tidak… maka kami akan menganggap kamu sebagai bagian dari permainan dengan cara lain. Pilih dengan bijak.”
Di bawah tulisan itu, ada sebuah alamat.
Vael menatap surat itu dengan nafas tertahan, seolah berkata apa maksud dari "bagian dari permainan dengan cara lain"? Tapi siapa yang mengirim surat ini?
Jantungnya berdebar kencang, ada sesuatu yang sangat salah dengan ini. Namun, di sisi lain…
Hadiah besar.
Jika ini adalah kesempatan untuk keluar dari kesulitan keuangan, bukankah ia seharusnya mengambilnya?
Vael menggenggam surat itu erat, pikirannya dipenuhi kebimbangan.
“Apa aku harus menerimanya?” tanya Vael kepada dirinya, sendiri.
Sementara itu Marlene hanya menatap anaknya lalu menyunggingkan sebuah senyuman. “Nak, kamu kan capek kerja sambil kuliah, gimana kalo makan malam bersama?”
“Aku... akan segera ke ruang makan, nanti...” ucapnya setengah berbohong, ia ingin memperhatikan alamat tempat itu dengan seksama.
Meski ada sebagian dalam dirinya berkata kalau semua ini mungkin bagian dari jebakan, tapi kalau itu berarti ia bisa mendapatkan banyak yang dalam waktu singkat, mungkin itu patut untuk dicoba.
Vael ingin pergi ke tempat yang tertulis dalam surat itu, tapi ia tak mau membuat orang tuanya merasa khawatir, jadi ia mempersiapkan cara tanpa diketahui.
Setelah persiapan mental, Vael berjalan turun ke ruang makan, di sana sang ibu sedang menyiapkan meja, sementara ayahnya terlihat sedang kelelahan sambil menyeka keringat dengan handuk kecil melingkar di leher.
“Nak, mama buatin makan malam kesukaan kamu.” ucap Marlene dengan suara lembut. “besok mama bakal nyari pinjaman—”
“Gimana kalo itu rentenir?” potong Vael. “hidup kita aja udah sulit, apa mama mau kita sampe jual ginjal buat bayar utangnya?”
“Tapi—”
Sebelum Marlene sempat menyelesaikan kalimatnya, sang suami Pedro angkat bicara. “Vael bener, kalo misal kita malah kejebak utang ke rentenir malah bikin hidup kita makin sulit, rumah ini saja milik keluarga aku, dan—aku gak tau kapan mereka bakal nyoba ngambil hak atas rumah.”
Marlene terdiam karena ia tak mungkin menentang perkataan sang suami, namun ia juga tak tahu apa ada cara selain meminjam uang, karena di jaman sekarang ketika uang sulit di dapatkan, pekerjaan juga hanya untuk orang berpendidikan, sementara mereka hanya orang miskin dan tak sekolah.
Dan tanpa Vael sadari, dari kejauhan, sepasang mata merah mengawasinya dari bayangan, menunggu keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Di luar, hujan masih mengguyur deras. Petir menyambar, menerangi sepasang mata merah yang masih menatap ke arahnya dari kejauhan.
Vanessa menarik nafas panjang, menghirup aroma hujan yang bercampur dengan udara dingin malam itu, ia kemudian mengangkat tangannya dan membentuk pistol dengan jarinya, mengarahkannya ke rumah Vael dan ‘menembakkan’ jari itu dengan senyum lebar.
“Baiklah, mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan dalam permainan ini, Vael Kessler.”
Raziel hanya menggeleng pelan sebelum membalikkan badan. “Kita bakal ketemu sama dia dalam waktu dekat.”
Vanessa mengikuti di belakang, langkahnya ringan namun penuh dengan keyakinan, di dalam pikirannya, ia sudah bisa membayangkan ekspresi keputusasaan yang akan terukir di wajah Vael ketika berada dalam permainan itu.
Dan dengan begitu permainan ini baru saja dimulai.
Setelah berpikir panjang malam itu, Vael memutuskan untuk ikut dalam permainan yang bahkan tidak ia ketahui, cara bermain atau segala aturannya.
Vael memutuskan untuk makan dengan cepat, karena ia masih harus mempersiapkan mentalnya, ia pun berdiri dari meja makan, tanpa mengatakan apa apa lalu berjalan ke arah kamarnya, tak lupa ia mengunci pintu agar tak ada seorangpun menganggu tidurnya.
Setelah penantian panjang, akhirnya pagi hari pun telah tiba, Vael menggeliat di kasurnya dan berdiri dari kasur, pagi itu matahari masih bersembunyi.
Dengan perlahan Vael berjalan keluar dari rumahnya, memastikan langkahnya begitu pelan agar tak membangunkan kedua orang tuanya, sembari menghindari sejuta pertanyaan kalau tahu ia pergi keluar.
Setelah berjalan lama, akhirnya Vael tiba di depan pintu gerbang, sesuai dengan lokasi yang tertera di dalam surat misterius itu, tempat itu terlihat sedikit mencurigakan.
Vael berdiri di depan bangunan tua yang tertulis dalam surat itu, gedung itu tampak sepi dan terbengkalai, dindingnya penuh lumut, dengan jendela jendela tinggi yang kacanya telah retak atau pecah.
Meski matahari belum bersinar terang, bayang bayang dari gedung itu terasa menelan cahaya, menciptakan perasaan suram yang menekan dadanya.
Vael menarik nafas dalam, menggenggam erat tali ranselnya, ia datang ke sini karena satu alasan—kesempatan untuk mengubah hidupnya.
Tapi saat berdiri di depan pintu kayu yang tinggi dan usang itu, Vael mulai bertanya-tanya apakah ini keputusan yang benar.
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah terdengar dari arah belakang, Vael menoleh dan melihat tujuh orang lain berdiri tidak jauh darinya.
Mereka semua tampak berbeda beda, beberapa tampak percaya diri, beberapa tampak ragu, dan ada juga yang terlihat waspada seperti dirinya.
Seorang pemuda dengan rambut putih keperakan dan mata tajam berwarna biru gelap berjalan mendekatinya. “Charlie,” katanya singkat, memperkenalkan dirinya.
Vael mengangguk pelan. “Vael.”
Satu per satu, mereka mulai saling mengenalkan diri.
“Aku Amyra.” ucap seorang gadis dengan rambut hitam panjang dan sedikit di cat berwarna merah di beberapa bagian, ia tersenyum penuh arti ketika mengulurkan tangan pada Vael.
“Senang bertemu dengan kamu, Amyra, aku Vael.” jawabnya sambil menjabat tangan wanita itu.
“Aku harap kita bisa setim.” Amyra berkata sambil berkedip kepada pemuda itu.
Di sisinya seorang pria tinggi dengan rambut merah namun terlihat santai. “Victor.” ucapnya singkat.
“Kalian kok tegang gitu sih, btw—aku Lisandre, semoga kita temenan ya.” ucap seorang pria yang mengenakan kacamata kotak.
“Kalian buang buang waktu aja bikin tim,” ucap seorang gadis yang tampak memperhatikan sekeliling. “Membuat tim? Itu hal terbodoh yang pernah aku dengar di tempat ini.”
“Setidaknya kamu harus buat perkenalan yang benar, Stella.” Seorang pria bertubuh besar yang sepertinya adalah petarung jalanan berkata pada gadis di sampingnya. “Musuh kita bukan satu sama lain...”
“Ho’oh! Apa sekarang kamu udah jadi filosofis, Maximus?” jawab Stella dengan suara setengah sinis.
Sementara dua orang itu terus berdebat tanpa henti, seorang gadis kecil dengan boneka beruang di tangannya, mendekat ke arah Vael.
“Nama aku Mirabelle.” gadis itu berkata dengan suara kecil hampir tertelan oleh angin.
“Halo, Belle.” ucapnya dengan suara lembut. “Aku Vael, semoga bisa saling bantu.”
Sebenarnya ia ingin bertanya alasan seorang gadis datang ke tempat mencurigakan seperti itu, tapi sebagian dari dirinya memberitahu kalau itu bukan urusannya, karena semua orang pergi ke sana pasti dengan tujuan berbeda.
“Apa alasan kalian datang ke sini?” tanya Charlie, suaranya terdengar tenang namun penuh rasa penasaran.
Namun sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh ketika pintu gedung tua itu berderit terbuka dengan sendirinya, udara dingin langsung menyambut mereka dari dalam, seperti sebuah undangan yang menuntut mereka masuk.
Hal itu sontak membuat mereka semua saling bertukar pandang, lalu setelah beberapa saat akhirnya mereka memilih melangkah masuk satu per satu.
Kini mereka tengah berada di dalam sebuah ruangan, yang lebih mirip sebuah hutan pribadi karena di sana tampak beberapa bangunan dan juga lapangan luas.
Ruangan utama bangunan itu luas, dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung tua yang berayun perlahan, udara di dalam terasa lebih dingin dari luar, dan entah mengapa ada aroma samar logam yang menggelitik hidung Vael.
Karena penasaran Vael memperhatikan sekeliling, di tengah ruangan, ada sebuah meja panjang dengan delapan kursi berjajar rapi.
Di ujung meja, dua sosok berdiri menunggu mereka—seorang pria berambut hitam dengan mata merah yang tampak bosan, dan seorang gadis berambut pirang keperakan dengan ekspresi setengah bermain main di wajahnya.
“Selamat datang para anggota terpilih,” kata gadis itu, suaranya lembut tapi ada nada aneh di dalamnya, seakan menikmati situasi. “Kami adalah Pencari, dan kalian adalah peserta, atau kalau mau disebut sebagai para manusia spesial—aku Vanessa, dan ini Raziel.”
Raziel hanya menatap mereka tanpa ekspresi sebelum melangkah maju. “Duduk.”
Tak ada yang bergerak sejenak, tapi akhirnya mereka mengikuti perintah itu, meski wajah mereka tampak waspada.
Ketika semua orang telah duduk di bangku yang telah di sediakan, Vanessa menepuk tangannya sekali, dan pintu di belakang mereka tertutup rapat dengan suara keras.
“Baiklah,” Vanessa berkata dengan senyum lebar. “Mari kita mulai permainannya.”
Udara di dalam gedung tua itu terasa semakin menyesakkan, lampu gantung di langit langit berayun pelan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak liar di sepanjang dinding.
Di meja panjang tempat para peserta duduk, suasana hening—hanya terdengar napas tertahan dan detak jantung yang mulai berpacu lebih cepat.
Raziel menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan malas seolah tak tertarik dengan keheningan atau bahkan kedamaian di sekitarnya.
Sementara Vanessa masih berdiri dengan ekspresi penuh kegembiraan seolah menikmati semua ketegangan yang timbul di tempat itu.
“Baiklah,” Vanessa berkata, suaranya terdengar begitu ceria yang kontras dengan atmosfer menekan menekan. “Sebelum kita benar benar memulai permainan, ada satu peraturan dasar yang perlu kalian ingat.”
Vanessa membungkuk sedikit, menatap mereka dengan mata merahnya yang berkilat kilat. “Kalian gak bisa melarikan diri dari ruangan ini.”
“Vanessa, itu bahkan bukan peraturannya.” Raziel berkata tanpa bergerak sedikitpun. “Kenapa kamu gak ngasih mereka makan atau minum dulu, aku yakin mereka belum sarapan pas kesini.”
Vanessa mendecakkan lidahnya, tampak sedikit terusik. “Kamu terlalu lemah, Raz!!”
“Dan kamu terlalu agresif, bahkan aku sampe gak dapet satupun.” Raziel berkata tanpa melirik ke arah gadis itu.
“Tapi kamu tetep dapet bagian kan?” Vanessa menoleh sebentar sebelum akhirnya berbalik ke arah para peserta. “Kalau gitu, peraturannya adalah menyelesaikan misi sebelum tengah malam, atau dapat hukuman.”
Tiba-tiba, suara gerakan cepat memecah kesunyian di salah satu sisi ruangan, Mirabelle, gadis kecil yang sejak tadi hanya duduk diam tanpa sepatah kata, mendadak bangkit dari kursinya dan melesat ke arah pintu yang tertutup rapat.
“Ini gila! Aku nggak mau jadi bagian dari ini!” serunya panik, tangannya menggempur permukaan pintu dengan putus asa.
Mirabelle meraih gagangnya, memutar sekuat tenaga, lalu mendorong dan bahkan menendang—namun pintu itu tetap tak bergeming, seolah terbuat dari baja.
Dari sudut ruangan, suara tawa kecil terdengar. Vanessa, perempuan dengan senyum yang selalu menyiratkan bahaya, menatap Mirabelle penuh minat. “Oh, aku suka yang memberontak lebih awal,” ujarnya riang. “Aku jadi deg-degan.”
Di sampingnya, Raziel—pria dengan sorot mata tajam dan sikap lebih terkendali—menegakkan tubuhnya. “Vanessa, kita harus tetap pada peraturan,” ia mengingatkan dengan nada serius. “Ingat, peraturan itu berlaku untuk kita juga.”
Vanessa hanya meliriknya sekilas sebelum tersenyum sumringah. “Aturan? Akulah aturan itu.”
Raziel menghela nafas, tampak sedikit geram. “Hei, kamu bahkan belum memberitahu mereka soal hukuman itu, ingat?”
Alih-alih menjawab, Vanessa mendongak sedikit, suaranya turun lebih dalam. “Apa itu penting?”
Kini, gadis berambut pirang keperakan itu tampak seperti pemangsa yang baru menemukan buruannya, Matanya tampak merah kelam—walau mungkin hanya pantulan cahaya—bersinar dengan ketertarikan yang nyaris berbahaya.
Dan tanpa berkata apa apa dengan kecepatan luar biasa, Vanessa sudah menghilang dari tempatnya berdiri dan muncul tepat di belakang Mirabelle dalam sekejap.
Sebelum siapa pun bisa menyadari apa yang terjadi, tangan Vanessa sudah mencengkeram rambut Mirabelle, lalu—
DUG!
Suara benturan keras menggema saat kepala Mirabelle menghantam lantai batu dengan kekuatan besar.
“Argh!!” jeritannya pecah, memenuhi ruangan, tubuhnya mengejang, diliputi rasa sakit yang begitu brutal.
Bahkan boneka yang tadinya di pegang oleh Mirabelle, kini langsung terlempar begitu jauh, seolah tak ingin melihat kebrutalan yang tengah terjadi di dalam ruangan tersebut.
Namun, Vanessa tidak menunjukkan tanda tanda akan berhenti, dengan satu tangan masih erat menggenggam rambut Mirabelle, ia menyeret tubuh gadis itu ke tengah ruangan, jejak darah mengotori lantai, mengalir dari luka terbuka di dahinya.
Vael dan yang lainnya hanya bisa membeku, rasa takut merayapi tulang punggung mereka, mencengkeram setiap saraf hingga tubuh mereka seolah kehilangan kemampuan untuk bergerak.
Victor tersentak, nyaris berdiri untuk menolong—tapi sepasang mata tajam milik Raziel langsung menghentikannya, tatapan itu dingin penuh peringatan, seolah mengikatnya di tempat.
Victor menatap mata pria itu, nafasnya sedikit goyah. Suaranya terdengar bergetar saat bertanya, “Kamu gak ada niat buat hentiin itu?”
“Gak…” jawab Raziel singkat, nyaris tanpa emosi.
“Ta-tapi...” Victor terdiam sejenak, meski tangannya mengepal di bawah meja.
Dengan wajah sulit di artikan, Victor menatap ke arah pria itu sambil mencoba meyakinkan untuk menghentikan pembantain tersebut.
Padahal, Raziel tahu betul, sudah seharusnya ia menghentikan tindakan brutal rekan kerjanya, permainan ini belum boleh dimulai sebelum para peserta mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Namun di seberang ruangan, Vanessa sama sekali tak peduli, dengan gerakan tanpa ragu, ia melepaskan cengkeramannya—membiarkan Mirabelle jatuh ke lantai—lalu, dengan kejam, menginjak punggung gadis itu.
KRAK!
Sebuah retakan halus terdengar, jeritan Mirabelle pecah di udara, menggema di ruangan sunyi.
Tapi Vanessa hanya terkekeh, menikmati setiap detiknya seperti telah kehilangan kendali atas kewarasannya, lebih mirip kelakuan dari seorang psikopat.
“Kamu pikir ini cuma permainan?” bisiknya, suaranya beracun, menusuk hingga ke tulang.
Kilatan dingin melintas saat ia menarik sebilah pisau panjang dari balik bajunya, cahaya redup di ruangan memantulkan kilatan tajam di mata pisaunya.
Mirabelle terlihat begitu panik, nafasnya memburu, tubuhnya bergetar hebat saat ia merangkak menjauh, darah dari kepalanya mengalir deras, membasahi lantai di bawahnya.
Namun sebelum ia bisa pergi lebih jauh—
BUGH!
Sebuah tendangan brutal menghantam perutnya, membuat tubuhnya terpental ke udara sebelum akhirnya jatuh kembali dengan keras.
KRUK!
Suara tulang patah terdengar jelas, hingga Mirabelle terbatuk—darah segar menyembur dari bibirnya, tubuhnya menggigil, wajahnya memucat akibat darah yang terus mengalir.
Dengan perlahan Vanessa berlutut di samping gadis itu, menatap dengan sorot mata penuh kepuasan.
“Kamu tau gak?” bisiknya lembut, mengangkat pisaunya tinggi tinggi. “Aku sangat suka melihat momen ketika seseorang menyadari… bahwa ini adalah akhir dari kehidupan mereka.”
Tatapan Mirabelle yang awalnya penuh panik perlahan berubah, keputusasaan menyelimuti sorot matanya, air mata bercampur darah menetes dari bibirnya yang gemetar.
“Ti—tidak… aku mohon padamu.” isaknya pelan.
Vanessa berhenti sejenak mendengar permintaan dari seseorang, ekspresi di wajahnya seketika berubah datar hingga semua itu berubah menjadi sebuah senyuman menakutkan.
Vanesa tertawa lebih keras seperti seorang yang tengah bersenang-senang dengan mainannya, dalam satu gerakan cepat, ia menghunjamkan pisaunya ke dalam perut Mirabelle.
SRAT!
Darah segar seketika menyembur liar, membasahi tangan dan pakaian Vanessa, tapi ia tak peduli, jusru sebaliknya, ia merasa seperti baru saja melakukan hal yang paling menyenangkan di dunia.
Mirabelle hanya bisa melengkungkan tubuhnya, berharap bisa bertahan dari serangan brutal itu, mulutnya menganga dalam jeritan bisu saat rasa sakit luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya.
Tapi hal itu tak membuat Vanessa berhenti, ia menarik pisaunya keluar dari tubuh Mirabelle, lalu menusukkannya lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
SRAT! SRAT! SRAT!
Suara daging yang robek bercampur dengan percikan darah terdengar semakin liar, meski membuat semua pakaian yang tengah di kenakan oleh Vanessa hampir tertutupi oleh darah segar seperti sedang berada di bawah shower.
Tangan Mirabelle yang tadinya berusaha melawan kini melemah, matanya membelalak kosong, tubuhnya gemetar hebat sebelum akhirnya terkulai lemas.
Lalu dalam sekejap—ruangan itu kembali sunyi hanya di penuhi oleh tetesan datang yang jatuh dari pisau di tangan Vanessa.
Vanessa menghela nafas panjang, seolah menikmati sensasi yang tersisa, dengan ekspresi puas, ia bangkit perlahan, menatap para peserta lain yang kini duduk terpaku dengan wajah pucat pasi.
Darah masih menetes dari pisau yang ia genggam, sementara di lantai, tubuh Mirabelle kini hanya seperti sebuah cangkang kosong yang tak lagi bernyawa.
Senyuman lebar terhias di wajah Vanessa. “Jadi,” katanya, sambil memainkan pisaunya di tangan. “Siapa yang ingin mencoba melarikan diri lagi?”
Sementara itu Raziel tampak hanya tersenyum, seolah menikmati drama di depan matanya, ia bahkan tak bergerak dari kursinya, tampak begitu santai dengan tangan dilipat di dada.
Keheningan memenuhi seluruh ruangan tersebut, karena tak ada satupun dari mereka yang berani bersuara.
Karena semua orang di sana tahu satu hal yang pasti—yaitu Permainan ini bukan sekadar permainan, melainkan sebuah neraka yang nyata.