Hujan turun deras di malam itu. Sinta berlari tanpa peduli air yang membasahi tubuhnya. Kantong plastik berisi obat yang ia genggam erat menjadi satu-satunya harapan bagi adiknya, Dika, yang sedang terbaring sakit di rumah kecil mereka.
Sejak orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu, Sinta harus menjadi kakak sekaligus ibu bagi Dika. Hidup dalam kemiskinan, mereka terbiasa makan dengan lauk seadanya dan mengenakan pakaian yang sudah bertahun-tahun tidak diganti. Namun, Sinta tidak pernah mengeluh.
Ketika ia tiba di rumah, Dika masih terbaring lemah di ranjang tipis mereka. Nafasnya tersengal, keningnya panas.
"Kakak dapat obatnya," ujar Sinta sambil tersenyum, berusaha menutupi kelelahan dan air mata yang menggenang di matanya.
Dika menatap kakaknya dengan mata redup. "Kak… aku takut…"
Sinta duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan adiknya erat. "Jangan takut, Dika. Kakak di sini. Kakak tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu."
Dika terdiam, lalu berbisik lemah, "Kak, kalau aku sembuh, aku janji akan belajar yang rajin. Aku ingin sukses, biar Kakak nggak usah capek kerja lagi."
Sinta tersenyum, meski hatinya terasa perih. "Kamu pasti sembuh. Kakak percaya kamu akan jadi orang hebat."
Malam itu, Sinta tidak tidur. Ia duduk di samping Dika, menggenggam tangannya sepanjang malam, berharap keajaiban datang.
---
Mengorbankan Mimpi
Dika akhirnya sembuh, tapi perjuangan Sinta belum selesai. Untuk membiayai sekolah adiknya, ia harus bekerja lebih keras. Ia mengorbankan mimpinya untuk kuliah, memilih menjadi buruh cuci, pekerja kebun, dan pelayan warung makan.
Ada kalanya ia hanya makan sekali sehari agar Dika bisa tetap mendapatkan buku pelajaran. Ada saat-saat ia pulang larut malam dengan tubuh penuh keringat dan luka di tangannya, tapi tetap menyambut adiknya dengan senyuman.
Sinta tidak pernah menunjukkan kelelahannya. Tapi di dalam hatinya, ia sering menangis diam-diam.
Suatu malam, ketika ia mengira Dika sudah tidur, ia terduduk di sudut kamar, menatap langit-langit dengan mata basah.
"Apa aku bisa terus kuat?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Tanpa ia sadari, Dika mendengar semuanya. Bocah itu menatap kakaknya dengan mata penuh tekad. Saat itu, ia berjanji dalam hati: suatu hari nanti, ia akan membalas semua pengorbanan kakaknya.
---
Menjemput Masa Depan
Tahun-tahun berlalu. Berkat kerja kerasnya, Sinta akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kota. Ia belajar menjahit di sela-sela waktunya, hingga akhirnya membuka usaha kecil sendiri.
Sementara itu, Dika semakin berprestasi di sekolah. Ia mendapat beasiswa hingga akhirnya masuk universitas.
Ketika hari kelulusannya tiba, Dika berdiri di atas panggung dengan mata berkaca-kaca. Dari kejauhan, ia melihat Sinta yang duduk di barisan belakang, mengenakan pakaian sederhana tapi dengan senyum paling bahagia di wajahnya.
Setelah acara selesai, Dika berlari menghampiri kakaknya dan langsung memeluknya erat.
"Kak… aku lulus. Aku benar-benar lulus," bisiknya dengan suara bergetar.
Sinta membalas pelukannya, menahan air mata yang hampir jatuh. "Kakak bangga padamu, Dika."
Dika melepaskan pelukannya dan menggenggam tangan kakaknya erat. "Sekarang giliranku, Kak. Kakak sudah berkorban cukup lama. Mulai sekarang, Kakak nggak perlu kerja keras lagi. Aku akan bahagiakan Kakak, seperti Kakak sudah membahagiakanku."
Sinta tersenyum, tapi kali ini, air matanya jatuh. Bukan karena kesedihan, tapi karena kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Di dalam hatinya, ia tahu—semua perjuangan, air mata, dan pengorbanannya tidak sia-sia. Cahaya yang selama ini ia kejar akhirnya bersinar terang di ujung jalan.
TAMAT.