Namaku Feni. Seumur hidupku, aku selalu merasa hidup dalam keluarga yang sempurna. Ayahku Surya, adalah seorang pengusaha sukses, dan ibuku Lestari, adalah sosok yang lembut dan penyayang. Mereka selalu memenuhi kebutuhanku, memberiku pendidikan terbaik, dan memastikan aku tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang.
Namun, ada sesuatu yang selalu terasa janggal. Tidak pernah ada foto ibuku saat mengandungku. Tidak ada cerita tentang bagaimana mereka menantikan kelahiranku. Setiap kali aku bertanya, jawaban mereka selalu mengambang. "Dulu itu masa sulit," kata ibu. "Yang penting sekarang kita bahagia."
Aku ingin percaya bahwa tidak ada yang perlu dipertanyakan. Sampai suatu hari, aku menemukan sesuatu yang mengubah hidupku selamanya.
Hari itu aku sedang mencari dokumen penting di ruang kerja ayah. Laci yang biasanya terkunci ternyata tidak dikunci hari itu. Aku membuka laci tersebut dan menemukan sebuah map cokelat tua dengan namaku tertulis di atasnya. Rasa penasaran membawaku membuka isinya.
Darahku seakan berhenti mengalir saat membaca tulisan di dalamnya.
"Surat Adopsi"
Namaku tertulis jelas di sana, tetapi nama orang tua kandungku bukan Surya dan Lestari. Nama mereka adalah Hadi dan Sari. Aku menelusuri setiap halaman, berharap ada kesalahan. Tapi tidak. Ini nyata. Aku diadopsi saat berusia dua tahun.
Aku bukan anak kandung mereka.
Dengan napas terengah-engah dan dada yang sesak, aku berlari ke ruang keluarga. Mereka sedang duduk di sofa, terlihat terkejut melihat ekspresi panikku.
"Apa maksudnya ini?" suaraku bergetar saat memperlihatkan dokumen itu.
Wajah ibu langsung pucat. Ayah menghela napas panjang. Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya ayah berkata, "Kami akan menjelaskan, Feni. Tapi tolong duduk dulu."
Aku menggeleng. "Tidak! Aku ingin tahu sekarang! Apa aku benar-benar bukan anak kandung kalian?"
Ibu mulai menangis, sementara ayah akhirnya mengakui segalanya.
"Kami memang mengadopsimu," kata ayah. "Tapi bukan karena kami tidak bisa punya anak… Melainkan karena kami harus menyembunyikan sesuatu."
Aku mengerutkan kening. "Menyembunyikan apa?"
Ayah menundukkan kepala, seolah menimbang kata-kata yang harus diucapkan. Lalu, dengan suara berat, ia berkata, "Kami punya anak kandung. Seorang anak laki-laki. Dia kakak kandungmu, Raka."
Aku membeku. "Kakak? Aku punya kakak?"
Ibu terisak. "Ya… tapi kami tidak pernah memperkenalkannya padamu karena… karena Raka lahir dengan kondisi yang berbeda."
Ayah melanjutkan, "Kami takut orang-orang akan menghakimi. Takut keluarga besar akan menolak kami. Jadi… kami menyembunyikannya."
Hatiku serasa remuk. "Jadi kalian mengadopsiku untuk menggantikannya? Agar orang-orang melihatku sebagai anak kalian, sementara kakakku dikurung dan dilupakan?"
"Tidak, Feni!" Ibu menangis. "Kami mencintaimu! Kau bukan pengganti, kau adalah anak kami juga!"
Aku menggeleng. "Tapi kalian membiarkan darah daging kalian sendiri terbuang begitu saja… dan menjadikanku alat untuk menutupi keberadaannya."
Aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja. Aku harus bertemu dengan kakakku.
Tanpa sepengetahuan mereka, aku mencari informasi tentang Raka. Aku menemukan alamat sebuah rumah perawatan khusus di luar kota. Tanpa pikir panjang, aku pergi ke sana.
Saat akhirnya aku menemukannya, hatiku hancur berkeping-keping.
Raka adalah seorang pemuda berusia 24 tahun, dua tahun lebih tua dariku. Ia memiliki sorot mata yang sendu namun hangat. Yang lebih menyakitkan adalah, dia tahu tentang aku.
"Aku sudah lama menunggumu," katanya dengan suara serak.
Aku menatapnya tak percaya. "Kau tahu tentang aku?"
Dia mengangguk. "Aku tahu mereka mengadopsimu. Aku tahu mereka menyembunyikanku. Aku tahu segalanya."
Dadaku sesak. "Kenapa mereka melakukan ini padamu?"
Raka tersenyum pahit. "Karena mereka malu."
Aku merasa marah, kecewa, dan terluka. Tapi yang lebih menyakitkan, aku merasa bersalah. Aku telah hidup nyaman selama ini, sementara kakakku terkurung dalam kesepian.
Aku kembali ke rumah dengan hati yang berkecamuk. Aku mencintai orang tuaku, tapi aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Saat aku berdiri di hadapan mereka, aku berkata dengan suara yang lebih tenang, tapi tegas.
"Aku tidak bisa pura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku tidak bisa tinggal di sini sementara kakakku dikucilkan."
Mereka mencoba membela diri, mengatakan bahwa mereka hanya ingin melindungi keluarga dari stigma. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku sudah mengambil keputusan.
Aku mengemasi barang-barangku dan pergi.
Aku memilih untuk tinggal bersama Raka dan membantunya menemukan kehidupan yang lebih baik. Aku memilih untuk tidak menjadi bagian dari kebohongan ini lagi.
Di belakangku, ibu menangis dan ayah memanggil namaku, tapi aku tidak menoleh.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memilih jalanku sendiri.
Aku memilih kebenaran.
**TAMAT**
---
P!