Angin sore menerpa wajah Arya saat ia duduk di bangku taman, pensilnya menari di atas kertas. Setiap goresan sketsa yang ia buat bukan sekadar gambar, melainkan jendela menuju dunia yang ia impikan.
Sejak kecil, Arya telah jatuh cinta pada seni. Tangannya lihai menangkap detail yang luput dari mata orang lain—bayangan yang jatuh di sudut bangunan, garis ekspresi di wajah seorang tua, atau gerakan angin yang menyapu dedaunan. Namun, dunia tak selalu berpihak padanya.
“Kamu yakin bisa hidup dari menggambar?” pertanyaan itu berulang kali menghantuinya. Orang-orang di sekitarnya meragukan, bahkan meremehkan mimpinya. Tapi Arya tidak pernah berhenti.
Suatu hari, seorang pria tua duduk di sampingnya di taman. Ia memperhatikan sketsa Arya dengan kagum. “Anak muda, ini luar biasa,” katanya. “Kenapa kau terlihat ragu?”
Arya tersenyum tipis. “Kadang aku merasa, apa yang kulakukan ini sia-sia. Banyak yang bilang menggambar hanya hobi, bukan jalan hidup.”
Pria itu tertawa kecil. “Tahukah kamu? Setiap karya besar di dunia ini lahir dari keberanian seseorang yang menolak menyerah. Jika kau percaya pada bakatmu, maka asahlah. Jadikan ia lebih dari sekadar hobi. Biarkan dunia melihat duniamu melalui goresanmu.”
Kata-kata itu menusuk ke dalam hati Arya. Ia sadar, bukan bakat yang membuat seseorang sukses, tapi ketekunan dan keberanian untuk terus melangkah.
Sejak hari itu, Arya tak lagi menggambar hanya untuk dirinya sendiri. Ia mulai membagikan karyanya, mengikuti lomba, bahkan menjual beberapa sketsanya. Tidak semua orang langsung menghargai, tapi sedikit demi sedikit, jalannya terbuka.
Di pameran kecil pertamanya, ia berdiri di depan karyanya dengan senyum penuh keyakinan. Ia akhirnya mengerti, bahwa seorang pemimpi bukanlah mereka yang hanya berharap, tetapi mereka yang berani berjuang.
"Jangan biarkan suara orang lain membungkam mimpimu. Sebab, jika kau sendiri tidak percaya pada dirimu, siapa lagi?"
(Jangan lupa mampir ke novelku yaitu jejak Pena dan kuas Jagan lupa like juga kalo bisa komen ya).