Bayangan di Balik Kasus Lama)
Darah. Aku masih ingat baunya.
Hangat, logam, dan menyengat.
Tubuh rekanku, Agent Carter, tergeletak di tanah, napasnya tersengal, darah mengalir membentuk genangan gelap di bawah tubuhnya. Aku menekan luka tembak di dadanya, mencoba menghentikan pendarahan, tetapi aku tahu... aku tahu dia tidak akan bertahan lama.
"Jangan bicara, Carter! Aku akan memanggil bantuan!" Aku meraih radio komunikasiku, suaraku bergetar.
Dia menggeleng, matanya yang memudar menatapku dengan sorot yang tidak akan pernah kulupakan. "Sedna... jangan percaya siapa pun..."
Dan dalam hitungan detik, ia menghembuskan napas terakhir.
Aku tidak pernah bisa melupakan kejadian itu. Malam yang dingin di lorong kumuh itu menjadi batas antara masa lalu dan masa kini. Kasus yang kami selidiki? Cold case yang sudah terkubur selama lebih dari satu dekade. Tapi Carter menggali terlalu dalam... dan dia dibungkam selamanya.
Sekarang, enam bulan setelah kematiannya, aku masih tidak mendapatkan jawaban. FBI menutup penyelidikan dengan alasan "tidak cukup bukti." Itu omong kosong. Ada seseorang di luar sana yang tidak ingin kebenaran terungkap. Dan aku berjanji, aku tidak akan berhenti sampai menemukannya.
Namun, hari ini ada kejutan lain menungguku.
Aku melangkah ke dalam kantor, aroma kopi basi bercampur dengan kertas laporan yang berserakan. Direktur Thompson berdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya, dan di sampingnya—seorang pria yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Agent Gilroy," suara Thompson berat, matanya tajam. "Kenalkan, ini rekan barumu. Special Agent Trevor McCall."
Aku mengamati pria itu.
Tinggi, berotot, dengan ekspresi yang sama dinginnya seperti ruangan interogasi. Rahangnya tegas, matanya abu-abu gelap, dan ada sesuatu dalam caranya berdiri—terlalu kaku, terlalu terkendali.
Dia tidak mengulurkan tangan. Aku juga tidak.
"McCall," aku menyebut namanya tanpa ekspresi.
"Gilroy," jawabnya pendek.
Aku sudah bisa menebak. Ini tidak akan menjadi kerja sama yang mudah.
-----
Aku tidak pernah menyukai perubahan mendadak, apalagi jika itu melibatkan seseorang yang harus bekerja denganku setiap hari. Tapi aku juga bukan tipe yang membuang waktu untuk basa-basi.
"Baiklah, McCall," aku menyilangkan tangan, menatap pria itu yang masih berdiri seperti patung. "Apa yang membuatmu cukup spesial sampai FBI menugaskanmu jadi rekanku?"
Dia tidak langsung menjawab. Matanya meneliti ruangan, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak terlihat olehku. Setelah beberapa detik yang terasa lebih lama dari seharusnya, dia akhirnya berbicara.
"Aku tidak spesial," katanya singkat. "Aku hanya tahu cara bekerja."
Jawaban yang dingin dan lugas. Oh, ini akan menyenangkan.
Direktur Thompson, yang sejak tadi mengawasi kami, hanya mendesah. "Gilroy, aku tahu kau lebih suka bekerja sendiri, tapi pertimbangkan ini sebagai kesempatan untuk menyelesaikan kasus Carter."
Aku menegang. "Kasus Carter sudah ditutup."
Thompson menatapku dengan ekspresi penuh arti. "Resmi, iya. Tapi tidak secara pribadi, bukan?"
Aku mengerjap, lalu beralih menatap McCall. Apakah dia tahu sesuatu?
Seolah bisa membaca pikiranku, pria itu hanya berkata, "Aku di sini bukan untuk menghalangimu, Gilroy. Aku di sini untuk membantu."
Kali ini, aku tertawa kecil, tanpa humor. "Oh ya? Kalau begitu, kita lihat sejauh mana kau bisa mengikuti langkahku."
---
Satu jam kemudian, aku dan McCall sudah berada di dalam mobil FBI, meluncur ke sebuah lokasi yang sudah aku telusuri berbulan-bulan.
"Apa yang kita cari?" McCall akhirnya membuka suara setelah lima belas menit perjalanan dalam keheningan.
Aku tetap fokus ke jalan. "Enam bulan lalu, Carter dan aku menemukan pola dalam serangkaian kasus pembunuhan di New York. Korban-korban tampaknya tidak saling berhubungan, tapi ada satu kesamaan—semua kasus itu mengarah ke sebuah bangunan tua di Lower Manhattan."
McCall menyimak tanpa menyela.
Aku melanjutkan, "Kami tidak pernah sempat mengecek bangunan itu. Malam itu, Carter lebih dulu ditembak seseorang sebelum kami sampai ke sana."
McCall menoleh ke arahku, sorot matanya tajam. "Jadi kau berpikir si pembunuh tidak ingin siapa pun mendekati tempat itu?"
Aku tersenyum tipis. "Tepat."
McCall mengangguk, ekspresinya tetap datar. "Lalu kenapa baru sekarang kita ke sana?"
Aku menghela napas. "Karena sebelumnya aku tidak bisa menyelinap masuk sendirian tanpa menarik perhatian." Aku menoleh ke arahnya. "Tapi sekarang, aku punya rekan baru, bukan?"
Aku hampir bisa melihat rahangnya mengencang sedikit.
"Bagus," katanya akhirnya. "Kita mulai malam ini."
Aku tidak tahu apa yang lebih mengejutkan—McCall yang menerima idenya tanpa perlawanan, atau perasaan samar bahwa aku baru saja bekerja sama dengan seseorang yang mungkin jauh lebih berbahaya daripada yang aku duga.
---
Bangunan itu berdiri di tengah-tengah Lower Manhattan, diapit oleh gedung-gedung yang jauh lebih modern. Dulu, tempat ini adalah pabrik tua yang ditinggalkan sejak tahun 1980-an. Sekarang, hanya tinggal bayangan dari masa lalunya—dinding bata yang menghitam, jendela pecah, dan pintu besi berkarat yang tertutup rapat.
McCall berdiri di sampingku, tangannya terselip di dalam jaketnya. "Bagaimana kita masuk?"
Aku mengeluarkan alat pembuka kunci dari kantongku dan tersenyum. "Dengan sopan, tentu saja."
Dengan sedikit usaha, kunci tua itu terbuka, dan pintu berdecit ketika aku mendorongnya perlahan. Aroma debu, karat, dan sesuatu yang lebih samar—mungkin jamur atau sesuatu yang lebih tua dari itu—menyambut kami.
Aku melangkah masuk lebih dulu, McCall mengikutiku dalam diam. Lampu senter di tanganku menyoroti dinding yang dipenuhi grafiti dan lantai beton yang retak.
"Laporan kepolisian menyebutkan tempat ini kosong," kataku pelan. "Tapi Carter dan aku menemukan bukti bahwa beberapa korban pembunuhan terakhir ada di sekitar area ini sebelum menghilang."
McCall berjongkok, jarinya menyentuh debu di lantai. "Ada jejak yang baru," katanya.
Aku mengerutkan dahi. "Kau yakin?"
Dia hanya memberiku tatapan yang seolah berkata, aku tidak pernah tidak yakin.
Aku menghela napas. "Baiklah. Kita cari sesuatu yang bisa menghubungkan tempat ini dengan korban."
Kami mulai menyusuri lorong, menghindari pecahan kaca dan puing-puing yang berserakan. Aku bisa merasakan udara di sini lebih berat, lebih... sunyi dari yang seharusnya.
Lalu aku mendengarnya.
Sebuah bisikan.
Aku berhenti, jantungku berdegup lebih cepat.
"McCall," aku berbisik.
Dia sudah berhenti beberapa langkah di depan, ekspresinya berubah serius. "Kau juga mendengarnya?"
Aku mengangguk.
Suara itu tidak datang dari mulut seseorang—lebih seperti sesuatu yang melayang di udara, samar dan terputus-putus, seperti seseorang yang mencoba berbicara dari dunia lain.
Aku menyalakan kembali lampu senterku, menyorot ke arah lorong yang lebih gelap di depan.
Kemudian, di tengah cahaya itu, aku melihat sesuatu yang membuat darahku membeku.
Bayangan.
Berdiri di ujung lorong, tinggi dan tidak berbentuk, seperti kabut hitam yang bergerak perlahan.
Aku menarik napas tajam. McCall langsung meraih senjatanya, refleksnya tajam.
Tapi sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, bayangan itu menghilang.
Hanya dalam sekejap.
Aku menoleh ke McCall, dan untuk pertama kalinya sejak bertemu dengannya, aku melihat sesuatu di matanya.
Bukan ketakutan.
Tapi pengakuan.
Dia pernah melihat ini sebelumnya.
Dan itu berarti, apapun yang kami kejar... bukan hanya sekadar pembunuh biasa.
---
Aku berdiri diam di lorong itu, merasakan sesuatu yang dingin merayapi kulitku. Bayangan tadi menghilang dalam sekejap, tapi bekas keberadaannya masih tertinggal di udara—seperti gema suara yang tidak sepenuhnya lenyap.
McCall menurunkan senjatanya perlahan. "Kau melihatnya juga, kan?"
Aku mengangguk. "Dan aku yakin itu bukan hanya pantulan cahaya."
Dia menatapku tajam, lalu menghela napas pelan. "Kita harus bergerak."
Kami melangkah lebih dalam ke dalam bangunan, melewati pintu besi yang sedikit terbuka. Ruangan di baliknya lebih gelap, berbau lembab, dengan dinding yang tertutup lapisan lumut tipis.
Di tengah ruangan, ada sesuatu yang aneh.
Meja tua. Di atasnya, berserakan beberapa dokumen yang tampak usang, kertas-kertas menguning dengan tulisan tangan yang nyaris pudar.
Aku mengambil salah satunya.
"Eksperimen Subjek 44 berhasil mencapai tahap transisi. Kontak dengan entitas tak dikenal telah terjalin. Efek samping belum sepenuhnya teridentifikasi."
Aku mengerutkan dahi. "Eksperimen?"
McCall berdiri di sampingku, membaca catatan itu bersamaku. "Ini tidak seperti catatan biasa. Ada sesuatu yang mereka coba lakukan di sini."
Aku membalik halaman berikutnya, menemukan sesuatu yang lebih mengganggu—sebuah sketsa kasar dari seseorang yang memakai topeng, dengan simbol aneh di dahinya.
Dibawahnya, hanya ada satu kalimat tertulis dengan tinta merah.
"Mereka melihat. Mereka menunggu."
Aku menelan ludah.
Sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, sesuatu berubah di dalam ruangan.
Udara terasa lebih berat. Aku merasakan tekanan di dadaku, seolah-olah ada sesuatu yang tidak terlihat mengawasi kami.
McCall langsung siaga. "Gilroy, kita tidak sendi—"
Lalu suara itu datang.
Bukan sekadar bisikan kali ini.
Lebih jelas, lebih menyeramkan.
"Kau telah membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup."
Aku berbalik, menarik senjataku insting. Tapi ruangan itu tetap kosong.
Tidak ada siapa pun.
Hanya kami.
Dan sesuatu yang bersembunyi dalam bayangan.
---
Suara itu bergema di dalam ruangan, membuat udara seolah membeku. Aku menajamkan pendengaranku, mencoba mencari sumbernya, tapi yang kudapatkan hanya keheningan.
Lalu, tanpa peringatan, sesuatu bergerak cepat di pinggir pandanganku.
Aku refleks berbalik, menarik senjata.
"McCall, hati-hati!"
Tapi sebelum aku sempat bereaksi lebih jauh, sesuatu menerjang ke arahku dari bayangan!
Aku melompat ke samping, menghindari serangan itu dengan cepat. Dalam sekejap, aku melihatnya—sosok bertudung, dengan gerakan yang tidak wajar, seolah tidak sepenuhnya manusia.
McCall bertindak secepat kilat. Dia menendang meja ke arah makhluk itu, menciptakan penghalang sesaat. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang balik—satu tendangan berputar mengarah ke kepala sosok itu.
Tapi sesuatu yang tidak kuduga terjadi.
Tubuh makhluk itu bergetar, lalu menghilang seperti asap sebelum pukulanku mengenainya.
Aku mundur selangkah, napasku memburu. "Apa-apaan ini?"
McCall tidak menjawab. Dia hanya mengamati sekeliling dengan waspada.
Lalu aku mendengar suara langkah kaki. Cepat. Banyak.
"Kita tidak sendiri," bisikku.
Dari bayangan lorong, tiga sosok lain muncul—mereka mengenakan pakaian hitam dengan simbol aneh di dada mereka. Mata mereka kosong, seperti boneka yang digerakkan oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Salah satu dari mereka melompat ke arah McCall, menyerang dengan kecepatan yang mengejutkan.
Tapi McCall sudah siap.
Dia bergerak lebih cepat dari yang seharusnya mungkin untuk manusia biasa. Dengan gerakan yang presisi, dia menangkis serangan itu, lalu membalas dengan pukulan kuat ke dada lawannya, membuatnya terpental ke belakang.
Aku tidak sempat terkejut. Dua lainnya langsung menyerangku.
Aku menghindar dengan gesit, lalu menangkap lengan salah satu dari mereka, memutarnya hingga terdengar bunyi retakan halus. Aku menggunakan momentumnya untuk membantingnya ke lantai, lalu berputar ke arah lawan kedua.
Dia mencoba menyerang dari belakang, tapi aku merunduk, lalu meluncurkan tendangan ke perutnya yang membuatnya tersungkur.
McCall menyelesaikan lawannya dengan cara yang lebih... brutal. Dia menangkap kepala pria itu, memutarnya ke samping dengan tenaga cukup untuk membuatnya pingsan seketika.
Aku berdiri dengan napas sedikit berat, menatap tubuh-tubuh yang tergeletak di sekitar kami.
Mereka bukan orang biasa.
Aku menoleh ke McCall. "Kau tahu sesuatu yang tidak kau katakan padaku, bukan?"
Dia hanya menatapku sebentar, lalu menghela napas. "Kita harus pergi dari sini dulu."
Aku ingin mendesaknya untuk menjawab, tapi sesuatu memberitahuku bahwa ini belum waktunya.
Kami baru saja membuka sesuatu yang lebih besar.
Dan aku mulai merasa bahwa kasus ini bukan hanya tentang menemukan pembunuh.
Tapi tentang bertahan hidup.
---
Kami meninggalkan bangunan itu dengan cepat. Hanya suara langkah kaki kami yang terdengar di lorong sempit yang berbau lembap. Setiap sudut terasa seperti jebakan, setiap bayangan terasa mengintai.
Saat kami keluar ke jalan belakang, aku menyadari sesuatu.
"McCall," bisikku, mataku tertuju pada lantai beton di bawah kami. "Jejak kita… hilang."
Dia menoleh ke belakang dan melihat hal yang sama. Tanah yang seharusnya penuh dengan bekas langkah kaki kami, kini bersih seperti tak pernah diinjak siapa pun.
Aku menggigit bibir, merasa ada yang tidak beres. "Seseorang… atau sesuatu… sedang menghapus keberadaan kita dari tempat ini."
McCall menatapku serius. "Kita harus kembali ke markas sebelum—"
BRAK!
Sebuah ledakan mengguncang udara. Aku refleks menunduk, menarik pistol. Asap membumbung dari dalam gedung yang baru saja kami tinggalkan. Api mulai menjalar ke jendela-jendela pecah, suara kaca runtuh bergema di malam yang sunyi.
"Sial!" Aku menggeram. "Mereka menghapus bukti."
McCall menyentuh alat komunikasi di telinganya. "McCall ke markas. Kami butuh unit pemadam dan tim forensik di lokasi, segera!"
Tidak ada jawaban.
Hanya dengungan statis.
Aku bertukar pandang dengan McCall. Ini bukan kebetulan.
"Kita sudah masuk terlalu dalam," katanya pelan. "Dan mereka tahu kita ada di sini."
Aku mengepalkan tangan. Jika seseorang berusaha menghapus jejak kasus ini, itu berarti kami semakin dekat pada sesuatu yang mereka tak ingin kami temukan.
Dan aku tidak akan mundur.
---
Asap masih membumbung di belakang kami, menghapus setiap bukti yang bisa membawa kami lebih dekat pada kebenaran. Aku menggenggam pistolku lebih erat, merasa ada sesuatu yang mengintai di balik kegelapan.
McCall berjalan mendahuluiku, matanya waspada. "Kita tidak bisa kembali ke markas sekarang. Jika mereka bisa mengganggu komunikasi kita, itu berarti mereka sudah menyusup ke dalam sistem FBI."
Aku menelan ludah. "Jadi kita benar-benar sendirian?"
Dia menatapku sekilas. "Bukankah itu sudah biasa?"
Aku mendengus kecil. "Benar juga."
Kami bergerak menyusuri gang sempit, mencari jalan keluar sebelum lebih banyak mata-mata mereka menemukan kami. Tapi sebelum kami bisa keluar ke jalan utama, sesuatu menarik perhatianku.
Sebuah suara.
Bukan suara langkah kaki. Bukan suara seseorang berbicara.
Tapi bisikan.
Aku menghentikan langkahku, menoleh ke sumber suara—pojok gang yang gelap, tempat cahaya lampu jalan tak bisa menjangkau.
"Gilroy?" McCall menatapku, menyadari aku berhenti.
Aku mengangkat tangan, meminta diam.
Bisikan itu terdengar lagi.
Seperti ribuan suara berbicara bersamaan, mengalir seperti air di dalam kepalaku. Aku mengerjap, mencoba menahan rasa pusing yang tiba-tiba muncul.
"Sedna Gilroy… kau tak seharusnya ada di sini."
Mataku melebar.
Aku mengenal suara itu.
Suara rekanku yang sudah mati.
---
Aku mematung. Dada terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena sesuatu dalam diriku menolak mempercayai apa yang baru saja kudengar.
"Sedna Gilroy… kau tak seharusnya ada di sini."
Aku mengenal suara itu.
Suara Patrick. Rekan lamaku yang mati ditembak dalam tugas.
Aku menoleh ke arah McCall, memastikan dia juga mendengarnya. Tapi ekspresinya tetap dingin, seolah tidak ada yang terjadi.
"Kau tidak mendengarnya?" bisikku.
Dia menyipitkan mata. "Mendengar apa?"
Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Jika McCall tidak mendengar apa-apa, berarti… suara itu hanya ada di kepalaku.
Atau sesuatu yang lebih buruk.
Tiba-tiba, gang yang semula sunyi terasa lebih gelap. Udara menjadi lebih dingin. Aku bisa melihat embusan napasku di udara, sesuatu yang seharusnya mustahil di malam seperti ini.
Lalu, di sudut kegelapan itu, aku melihatnya.
Siluet seseorang berdiri di sana, tertutup bayangan.
Aku mengangkat senjata, tapi tanganku sedikit gemetar. Itu bukan karena takut.
Itu karena aku mengenali jas yang dikenakannya.
Jas hitam dengan bekas sobekan di bahu kiri. Jas yang terakhir kali kulihat saat Patrick terbaring bersimbah darah di pangkuanku.
"Sedna…"
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
Aku mengedipkan mata—dan dalam sekejap, sosok itu menghilang.
Aku mundur selangkah, jantung berdebar keras. Apa aku sedang berhalusinasi? Atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi?
"Gilroy," suara McCall menarikku kembali. "Apa yang kau lihat?"
Aku menatapnya, mencoba mencari penjelasan rasional. Tapi saat aku akan menjawab, sesuatu mengganggu pikiranku.
Jika ini memang halusinasi, kenapa aku bisa merasakan hawa dingin itu?
Dan kenapa aku merasa… seolah Patrick sedang mencoba memperingatkanku?
---
Aku masih terpaku di tempat, napasku memburu. McCall menatapku tajam, menunggu jawabanku.
"Aku… melihat sesuatu," kataku pelan.
Matanya menyipit. "Sesuatu atau seseorang?"
Aku ragu sejenak. "Patrick."
McCall tetap diam, tapi aku melihat perubahan di ekspresinya—bukan terkejut, lebih seperti… memahami sesuatu.
"Aku tahu kedengarannya gila," kataku cepat, "tapi aku bersumpah aku mendengar suaranya, dan—"
"Dia berkata apa?" potong McCall.
Aku mengerutkan kening, mencoba mengingat dengan jelas. "Dia bilang aku tak seharusnya ada di sini."
McCall menghela napas dalam. "Kita harus pergi sekarang."
Aku tidak membantah. Kami bergegas keluar dari gang itu, menuju mobil yang kami parkir beberapa blok dari sini. Saat aku membuka pintu mobil, McCall tiba-tiba berhenti.
"Gilroy."
Aku menoleh dan melihatnya menatap sesuatu di kaca jendela mobil.
Kode.
Terukir samar di kaca dengan embun tipis: PX-94
Aku merasakan ketegangan dalam tubuhku meningkat. Itu bukan angka acak.
Itu adalah kode terakhir yang Patrick temukan sebelum dia mati.
"Ini bukan kebetulan," gumamku. "Seseorang ingin kita menemukannya."
McCall menatapku. "Atau seseorang ingin kita masuk lebih dalam."
Aku menatap kode itu sekali lagi, perasaan tidak nyaman menjalar di tubuhku. Apakah ini benar-benar pesan dari Patrick? Atau jebakan dari seseorang yang ingin kami terus mengejar bayangan?
Satu hal yang pasti: kami semakin dekat dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Dan aku tidak tahu apakah kami siap untuk menghadapinya.
Kami duduk di dalam mobil, menatap kode yang terukir di kaca dengan embun tipis: PX-94.
Aku menekan layar ponselku, mencari dalam database FBI, tapi hasilnya nihil. Tidak ada catatan resmi dengan kode itu.
McCall duduk di kursi pengemudi, matanya tetap waspada. "Kode itu hanya muncul di laporan internal. Patrick pasti menemukannya sebelum dia mati."
Aku mengangguk pelan. "Dan seseorang ingin kita melihatnya sekarang."
Pertanyaannya adalah: siapa?
Aku membuka laptopku, mengakses server rahasia yang hanya bisa dijangkau oleh agen dengan izin tertentu. Jari-jariku menari di atas keyboard saat aku menelusuri file lama, mencari petunjuk.
Lalu aku menemukannya.
PX-94: Proyek Eksperimen Rahasia. Subjek: 017-Alpha. Status: Dihentikan.
Mataku melebar. "Ini… proyek eksperimen manusia?"
McCall tidak bereaksi, tapi aku menangkap ketegangan di wajahnya.
Aku menggulir lebih jauh, menemukan catatan yang lebih spesifik.
"Subjek 017-Alpha menunjukkan resistensi terhadap obat percobaan. Dihapus dari program. Tidak ada catatan keberadaan lebih lanjut."
"Ini proyek pengembangan agen khusus," gumamku. "Mereka mencoba menciptakan prajurit yang lebih kuat. Tapi subjek ini menghilang."
Aku menatap McCall, tiba-tiba menyadari sesuatu.
"McCall…" suaraku merendah, penuh kehati-hatian. "Apa kau tahu sesuatu tentang ini?"
Dia tetap diam.
Aku mengingat sesuatu. McCall selalu merahasiakan masa lalunya. Tidak ada catatan jelas tentang asal-usulnya. Tidak ada informasi sebelum dia bergabung dengan FBI.
Jantungku berdetak lebih cepat. "Kau… bukan bagian dari ini, kan?"
Dia akhirnya menatapku, tapi tidak menjawab.
Itu cukup untuk memberiku jawaban.
Sebelum aku bisa berkata apa-apa lagi, suara keras terdengar dari luar.
BRAK!
Seseorang menabrakkan mobil ke sisi kendaraan kami, menghantamku ke pintu. Aku merasakan pusing sekejap sebelum suara tembakan menggema di udara.
McCall menarikku keluar sebelum mobil kami meledak. Aku jatuh ke tanah, sementara McCall menarik senjatanya dan menembak balik ke arah penyerang.
Mata kepalaku sendiri melihatnya.
Sosok pria berpakaian hitam, wajahnya tertutup, tapi ada sesuatu yang aneh.
Matanya.
Menyala merah di kegelapan.
-----
Tembakan terus menggema di udara. McCall menembak dengan presisi, tapi pria bermata merah itu bergerak terlalu cepat—tidak normal.
Aku mengabaikan rasa pusingku dan meraih pistol, menembak ke arah pria itu. Peluruku mengenainya di bahu, tapi yang terjadi membuat bulu kudukku meremang.
Dia tidak mundur.
Sebaliknya, dia menoleh ke arahku dengan senyum kecil—seolah peluru itu tidak berarti apa-apa baginya.
"Gilroy, lari!" McCall menarikku, tapi aku menolak.
Aku bukan tipe yang lari dari pertempuran.
Pria itu bergerak seperti kilat, tiba-tiba sudah ada di depan kami. Aku mengangkat pistolku lagi, tapi tangannya yang kuat meraih senjataku dan memelintirnya dengan mudah.
Aku menggunakan insting. Tinju kananku mengarah ke rahangnya, tapi dia menangkapnya di udara. Aku memanfaatkan momentum itu untuk melompat dan menendang dadanya dengan kekuatan penuh.
Dia terdorong ke belakang beberapa langkah—tidak banyak, tapi cukup memberi celah bagi McCall untuk menarikku menjauh.
"Kita tidak bisa menang di sini," katanya, rahangnya mengatup rapat.
Aku tahu dia benar. Tapi ini bukan sekadar pertarungan. Ini tentang kebenaran.
Aku melirik kembali ke pria bermata merah itu. Dia tidak mengejar.
Sebaliknya, dia hanya berdiri di sana… menatap kami.
Senyum kecil masih ada di wajahnya.
Seolah dia ingin kami pergi.
Dan itu membuatku semakin curiga.
---
Kami bersembunyi di sebuah apartemen tua, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Aku kembali menelusuri file PX-94.
Dan kemudian aku menemukannya.
Subjek 017-Alpha: Nama asli tidak diketahui. Status: Hilang dalam misi terakhir.
Aku menggulir lebih jauh… dan sesuatu menghentikan napasku.
Foto subjek:
Mataku membelalak.
Itu McCall.
Aku menatapnya, tubuhku menegang. "Ini kau."
Dia tetap diam.
"McCall… siapa kau sebenarnya?"
Dia akhirnya menghela napas. "Aku bagian dari proyek itu. Tapi aku bukan satu-satunya."
Aku tidak bisa mempercayainya. McCall adalah subjek eksperimen? Itu menjelaskan kemampuannya yang di luar normal…
Tapi kalau begitu, pria bermata merah itu juga bagian dari proyek ini.
Dan dia tidak mengincar McCall. Dia mengincarku.
Aku tidak punya banyak waktu untuk mencerna semuanya.
Pintu apartemen mendadak jebol, dan sosok bermata merah itu muncul lagi.
Dia bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Aku hanya punya sepersekian detik untuk bereaksi.
Aku berguling ke samping saat dia menebas udara dengan cakarnya—ya, cakarnya. Kuku hitam panjang seperti belati tajam.
McCall menyerangnya, tetapi pria itu menghindar dengan mudah. Dia menendang McCall hingga membentur dinding.
Aku tidak berpikir. Aku hanya bergerak.
Aku berlari ke arahnya dan meluncurkan serangan kombinasi: satu pukulan ke rahang, satu tendangan berputar ke dada, dan siku yang menghantam pelipisnya.
Untuk pertama kalinya, dia terhuyung.
Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku meraih pisau dari ikat pinggangku dan menusukkannya ke bahunya.
Dia meraung. Darah hitam mengalir dari lukanya.
Matanya masih menyala merah, tapi kini ada sesuatu yang berbeda di dalamnya.
Rasa sakit.
Dan… ketakutan?
Dia menatapku, lalu melompat keluar jendela dan menghilang ke dalam kegelapan.
Aku terengah-engah, berlutut di lantai.
McCall bangkit dengan susah payah. "Dia takut padamu."
Aku menatapnya. "Kenapa?"
Dia menggeleng. "Aku tidak tahu."
Tapi aku merasa… aku akan segera mengetahuinya.
---
Kami menemukan fasilitas lama milik PX-94.
Bangunan itu kosong, ditinggalkan bertahun-tahun lalu. Tapi masih ada file yang tersisa.
Aku membaca satu dokumen yang membuat jantungku berdegup lebih cepat.
Subjek 018-Beta: Sedna Gilroy.
Dunia terasa berhenti.
"Apa ini?" bisikku.
McCall menatap dokumen itu dengan ekspresi kaku. "Kau juga bagian dari mereka."
Aku tidak bisa mempercayainya.
Aku?
Aku adalah bagian dari eksperimen ini?
Dan tiba-tiba, semuanya masuk akal.
Instingku yang kuat. Refleksku yang luar biasa. Kemampuanku dalam membaca situasi.
Itu bukan sekadar pelatihan atau kecerdasan.
Itu sudah tertanam dalam diriku sejak awal.
Aku menggenggam dokumen itu erat. Jika ini benar… maka pria bermata merah tadi bukan hanya musuh.
Dia adalah… saudara eksperimenku.
Dan dia datang bukan untuk membunuhku.
Dia datang untuk membawaku kembali.
.
.
.
Kami tidak bisa lari selamanya.
Jika aku ingin jawaban, aku harus menghadapinya.
Aku dan McCall menelusuri jejak pria bermata merah itu hingga ke sebuah gudang terbengkalai.
Dia sudah menunggu.
Aku berjalan mendekat, meletakkan pistolku. "Apa yang kau inginkan?"
Dia menatapku. "Untuk mengingat."
Aku membuka mulut untuk bertanya, tapi sebelum aku bisa, sesuatu terjadi.
Gambaran aneh muncul di benakku.
Aku… di laboratorium. Kabel-kabel terpasang di tubuhku.
Dan pria bermata merah itu—dulu—memanggilku dengan nama lain.
"Bantu aku, Sedna!"
Aku terhuyung mundur, napasku tersengal.
Ingatan yang telah lama terkubur dalam pikiranku mulai bangkit.
Aku mengenalnya.
Dulu, sebelum eksperimen ini dihentikan, kami adalah bagian dari tim yang sama. Kami adalah anak-anak yang diubah menjadi senjata.
Tapi aku berhasil keluar.
Dan dia tertinggal.
"PX-94 tidak pernah berhenti," katanya pelan. "Mereka masih mengawasi kita."
Aku menatapnya. Aku tahu dia benar.
Aku juga tahu… kami harus menghentikan mereka.
Aku mengulurkan tangan. "Mari kita akhiri ini."
Dia ragu sejenak, lalu menyambut tanganku.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa tidak lagi dikejar bayangan.
Aku adalah bayangan itu.
Dan sekarang, aku akan menggunakannya untuk memburu mereka yang menciptakanku.
---
Pikiran masih berputar saat aku dan pria bermata merah itu saling menatap.
“Apa maksudmu PX-94 masih mengawasi kita?” tanyaku tajam.
Dia menoleh sekilas ke arah McCall, lalu kembali padaku. “Mereka tidak pernah benar-benar berhenti, Sedna. Kau pikir kau lolos dari mereka? Tidak.”
McCall menghela napas, tubuhnya menegang. “Bagaimana kau tahu?”
“Aku tahu karena aku masih terhubung dengan mereka.”
Kata-kata itu bagaikan pisau yang menusuk pikiranku.
Aku tidak tahu apakah aku lebih terkejut atau marah.
“Kau bekerja untuk mereka?” desisku.
Dia menggeleng. “Aku tidak punya pilihan. Mereka mengendalikan sesuatu dalam diriku—sama seperti yang mereka lakukan padamu dulu.”
Aku mencoba mencerna semuanya. Jika ini benar, maka PX-94 bukan hanya bayangan masa lalu. Mereka adalah ancaman nyata.
Aku menatap McCall. “Kita harus menghabisi mereka.”
Dia mengangguk. “Aku setuju.”
Pria bermata merah itu tersenyum kecil. “Mereka sudah menunggumu.”
Seketika, lampu di gudang berkelap-kelip.
Dan aku tahu… kami tidak sendirian.
---
Tembakan pertama meledak, menghantam dinding di dekat kami.
Refleksku langsung bekerja. Aku berlari ke belakang tumpukan peti, menarik pistolku. McCall sudah menyiapkan senjatanya juga.
Dari balik kegelapan, lima pria berseragam hitam muncul.
PX-94 mengirim pemburu mereka.
Aku menembak, satu tembakan mengenai dada salah satu dari mereka. Tapi anehnya, dia tetap berdiri.
“Armor khusus,” gumam McCall.
Aku mengumpat dalam hati. Ini bukan pertempuran biasa.
Pria bermata merah itu sudah bergerak lebih dulu. Dengan kecepatan supernaturalnya, dia menerjang salah satu agen, mencengkeram bahunya, lalu menghantamkan tubuhnya ke lantai.
Aku beraksi.
Aku melompat keluar dari perlindungan, menghindari peluru yang mengarah padaku, lalu menyerang seorang agen dengan teknik Krav Maga yang kupelajari selama bertahun-tahun.
Satu pukulan ke tenggorokan, satu tendangan ke lututnya, dan aku merampas senjatanya dalam satu gerakan cepat.
Agen itu tumbang.
Tapi ada lebih banyak lagi.
McCall bertarung dengan dua agen sekaligus. Dia bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak manusiawi—mungkin efek dari eksperimen yang pernah dia alami.
Aku dan pria bermata merah bertukar pandang.
Kami tahu ini bukan pertarungan biasa.
Ini pertempuran hidup dan mati.
Kami berhasil keluar dari gudang setelah pertempuran sengit.
Tapi aku tahu ini belum berakhir.
PX-94 tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Dan sekarang, aku tahu apa yang mereka inginkan.
Aku.
Kami berkumpul di sebuah tempat persembunyian. McCall mengeluarkan peta besar dan menunjuk satu titik.
“Markas utama mereka ada di sini.”
Aku menatapnya lekat-lekat.
Kami akhirnya menemukan mereka.
Sekarang tinggal satu hal yang harus dilakukan.
Aku menatap McCall dan pria bermata merah itu. “Kita harus mengakhiri ini.”
McCall mengangguk. “Aku sudah siap.”
Pria bermata merah tersenyum tipis. “Mari berburu.”
Aku menarik napas dalam.
PX-94 mengira mereka bisa terus memburu kami.
Mereka salah.
Sekarang, kamilah pemburu mereka.
---
Aku memandangi peta yang terbentang di meja. Markas PX-94 tersembunyi di bawah kompleks industri tua di pinggiran kota.
“Ini bukan sekadar fasilitas rahasia biasa,” kata McCall, menunjuk area tertentu. “Struktur bawah tanahnya dalam dan memiliki lebih dari satu jalan keluar.”
Pria bermata merah menyeringai. “Kita harus masuk tanpa mereka sadari.”
Aku menyelipkan pistol ke sarungnya. “Kita tidak punya pilihan lain. Jika kita tidak menghancurkan mereka sekarang, mereka akan terus memburu kita.”
McCall menatapku. “Kalau kita masuk, kita mungkin tidak bisa keluar lagi.”
Aku menatapnya balik tanpa ragu. “Aku tidak peduli.”
Dia mengangguk. “Kalau begitu, ayo selesaikan ini.”
Kami bergerak dalam kegelapan malam, menuju tempat yang selama ini menjadi bayangan di hidupku.
Kami berhasil masuk melalui jalur pembuangan tua yang tidak lagi digunakan.
Begitu kami menyusuri lorong sempit, suara langkah kaki terdengar.
Aku memberi isyarat pada McCall dan pria bermata merah untuk bersiap.
Dua agen PX-94 muncul di depan kami, tapi sebelum mereka bisa bereaksi, McCall sudah bergerak cepat. Dalam satu gerakan halus, dia meraih kepala salah satu agen dan membantingnya ke dinding.
Agen kedua mengangkat senjata, tapi aku lebih cepat. Aku menendang tangannya, membuat pistolnya terpental sebelum melumpuhkannya dengan pukulan ke pelipis.
Kami terus bergerak lebih dalam, semakin dekat ke pusat fasilitas.
Pria bermata merah menoleh padaku. “Mereka pasti tahu kita di sini.”
Aku menggenggam pistol lebih erat. “Biar mereka tahu.”
Saat kami mencapai pusat markas, sesuatu yang tidak kuduga terjadi.
Di tengah ruangan besar itu, layar raksasa menyala, menampilkan seorang pria tua dengan jas putih.
“Selamat datang kembali, Agent Gilroy,” katanya dengan suara yang dingin.
Aku mengernyit. “Siapa kau?”
Dia tersenyum tipis. “Aku adalah orang yang menciptakanmu.”
Darahku membeku.
Aku tidak ingin mempercayainya. Tapi sesuatu dalam diriku berkata bahwa ini bukan kebohongan.
McCall menegang di sampingku. “Apa maksudmu?”
Pria itu menghela napas. “Sedna… kau bukan hanya agen FBI. Kau adalah bagian dari eksperimen PX-94, sama seperti McCall.”
Aku merasakan dunia seakan berputar.
Tidak mungkin…
“Kenapa aku tidak ingat?” suaraku hampir berbisik.
“Karena kami menghapus ingatanmu.”
Aku merasakan kemarahan menggelegak di dadaku.
“Dan sekarang,” lanjutnya, “kau harus kembali kepada kami.”
Aku menatapnya tajam. “Tidak akan pernah.”
Dia tersenyum. “Sayang sekali.”
Tiba-tiba, gas beracun mulai memenuhi ruangan.
Kami terjebak.
Aku menahan napas dan berlari ke pintu keluar, tapi terkunci.
Pria bermata merah mengeluarkan pisau dan mencoba membobol panel keamanan, sementara McCall mengaktifkan alat hackingnya.
“Cepat!” desisku, paru-paruku mulai terbakar.
Saat pintu akhirnya terbuka, kami menerobos keluar, terbatuk-batuk.
Alarm berbunyi, dan lebih banyak agen PX-94 datang mengepung kami.
Aku menarik napas dalam.
Ini adalah pertempuran terakhir.
Aku bergerak lebih cepat dari yang pernah kulakukan sebelumnya. Dengan gerakan lincah, aku menghindari serangan, menangkis pukulan, dan menembakkan pistol ke arah musuh yang datang bertubi-tubi.
McCall bertarung di sisiku, gerakannya presisi dan brutal.
Pria bermata merah melawan tiga orang sekaligus, bergerak seperti bayangan, setiap pukulannya mengenai titik vital.
Satu per satu, agen PX-94 tumbang.
Tapi pria tua di layar tadi tidak menyerah.
Tiba-tiba, sebuah suara mekanis terdengar.
“Mode pertahanan aktif.”
Dinding ruangan terbuka, dan dari baliknya, sesuatu yang mengerikan muncul.
Sebuah humanoid mekanis—eksperimen terbaru PX-94.
Monster yang diciptakan dari teknologi dan genetik manusia.
Dan ia dikendalikan untuk membunuh kami.
Humanoid itu bergerak cepat, lebih cepat dari manusia biasa.
Aku melompat ke belakang, menghindari serangannya yang menghancurkan lantai.
McCall menembaknya, tapi pelurunya tidak berdampak.
Pria bermata merah menyerang dari sisi lain, tapi makhluk itu bahkan tidak tersentuh.
Aku harus menemukan kelemahannya.
Lalu aku melihatnya—sebuah celah kecil di punggungnya.
Aku memberi isyarat pada McCall.
“Kita harus menyerangnya dari belakang!”
Dia mengangguk.
Aku berlari ke depan, memancing humanoid itu agar fokus padaku.
Saat ia menyerang, aku berguling ke bawahnya, sementara McCall melompat dari belakang dan menembakkan peluru khusus ke celah itu.
Pria bermata merah ikut menyerang, menusukkan pisau tepat ke titik lemahnya.
Makhluk itu mengeluarkan suara elektronik yang melengking sebelum akhirnya jatuh dan meledak.
Kami terlempar ke belakang oleh ledakan.
Saat asap menghilang, hanya ada keheningan.
Kami menang.
PX-94 hancur.
Aku bangkit perlahan, tubuhku penuh luka.
McCall menatapku. “Kita berhasil.”
Aku menghela napas. “Ya.”
Tapi aku tahu… ini bukan akhir dari segalanya.
Aku mungkin telah menghancurkan PX-94 hari ini.
Tapi bayangan mereka akan selalu mengintai.
Aku hanya bisa berharap… aku siap menghadapi mereka lagi.
---
Epilog: Bayangan yang Masih Mengintai
Beberapa minggu setelah kejadian itu, aku duduk di kantorku, memandangi berkas-berkas kasus baru.
McCall mengetuk pintu dan masuk. “Kau baik-baik saja?”
Aku tersenyum kecil. “Aku akan baik-baik saja.”
Dia mengangguk. “PX-94 mungkin sudah jatuh, tapi kita tahu ada lebih banyak rahasia di luar sana.”
Aku menghela napas. “Dan aku akan menemukannya.”
Saat McCall pergi, aku menatap jendela, melihat bayangan malam di luar sana.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Tapi satu hal pasti.
Aku tidak akan pernah berhenti berburu kebenaran.
.
.°°°°°°° THE END °°°°°°°°°
Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerpenku. Jika ada kesamaan nama,tempat,kejadian dalam cerpen ini,itu hanyalah fiksi dan untuk hiburan semata. Pembaca diharap bijak dalam menyikapinya.
.
.
.
Jangan lupa untuk like,komen follow.
Follow juga Instagram Author :
@poembyselly
@psychicselly
Luv yuh🌹
~ Selly AWP ~
.
.
.
.
.
.
.
.
.
°°°°°°° Happy Reading °°°°°°°