Seperti mimpi. Ketika saya melihat layar yang memperlihatkan garis lurus dengan bunyi nyaring itu dengan jelas. Rasa ketidakberdayaan, kekecewaan, kehancuran, dunia saya seakan runtuh sepenuhnya. Saya melihat ke sekeliling ruangan, hanya untuk melihat tangisan yang menyayat hati saling bersahutan.
Sedangkan saya, berdiri termenung menatap manusia yang tengah menutup matanya rapat-rapat. Dia menginkari janjinya. Dia mengingkari janji yang ia tetapkan sendiri untuk saya, memberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk manusia yang akan senantiasa menjadi pelipur lara bagi saya.
Untuk mengatakan hancur tanpa bahu untuk bersandar sangatlah memuakkan. Saya tang tak pandai mengambil inisiatif atau orang lain yang masih merasa kesakitan ditinggalkan oleh orang terkasih sulit untuk memperhatikan orang lain.
Sekali lagi, sedangkan saya, yang tengah memahami situasi dengan ketiakpercayaan mendalam, mulai berjalan ke sudut tanpa mengatakan apapun terhadap gelombang manusia itu. Saya mulai menertawakan diri, lalu mengingat hal dua puluh empat jam yang lalu, ketika saya dipaksa untuk bergegas ke rumah sakit -- menjadi pendonor darah bagi manusia yang tengaj berbaring itu _yang mengingkari janjinya._ Bahkan di saat ia dibutukan, mengapa darahnya tidak memuaskan sehingga tidak berguna? Saya ingat juga, selama beberapa jam itu, saya tidak memperlihatkan fluktasi di hati saya ketika melihat beliau berbaring tanpa bisa melihat saya -- anaknya yang dianggap tangguh, bergegas seperti orang yang tidak memiliki hati, setidaknya itulah perkataan ibu saya waktu itu. Saya tidak memperlihatkan cinta pada ayah saya, seolah saya tidak memilikinya. Tapi, di waktu itu saya menolak mentah-mentah keadaan lemah ayah saya. Bukankah beliau selalu perkasa? Selalu mendidik anaknya dengan tegas sehingga melahirkan anak yang luar biasa? Bagaimana manusia dengan aturan ketat itu bisa menjadi lemah dalam hitungan waktu?
Sehingga saya ditampar kenyataan.
Ayah saya telah pergi, sembari meninggalkan janji yang tidak bisa saya tuntut.
Untuk saat ini, selain arogansi diri dengan ketidakpercayaan, saya semakin menertawakan diri saya yang tidak berperasaan, saya tersenyum melihat situasi, bukan untuk bahagia, melainkan mengingat waktu yang tidak saya gunakan dengan baik untuk lebih dekat dengan ayah saya ataupunmanja terhadapnya, saya bersikap seolah saya dewasa di depannya. Hanya untuk menunjukkan bahwa saya tidak peduli kasih sayangnya. Akan tetapi, setiap hari itu saya selalu dipenuhi kebimbangan pemikiran, bagaimana caranya saya bisa dekat dengan beliau? Dengan gengsi yang tinggi saya selalu malu untuk bermanja pada ayah saya yang bermartabat. Sehingga saya menyesali waktu terbuang itu, ketika saya mengingat kakak perempuan saya yang sangat dekat dengan beliau.
Dengan ini, duduk di sudut seperti ini memang pilihan bagus, saya tak ingin peduli terhadap kesedihan orang lain. Saya ingin menyendiri untuk disadarkan oleh waktu. Tetapi mata saya bertolak belakang dengan keinginan saya. Kerumunan itu jelas riuh, tangisan itu menyesakkan, ibu saya pingsan dan kakak perempuan saya yang sangat dekat dengan ayah kehilangan ketenangan pikiran -- dia kehilangan kendali, tampak menggila dengan tangisan keras memenuhi isi ruangan rumah sakit ini. Menggagu ketenangan saya.
Saya merangkul kedua lutut saya sembari menyembunyikan raut emosi wajah saya atau _menghilangkan sedih saya._
Tapi,
"Arrr, bisakah kamu membawa Rei ke luar ruangan dan Memenangkannya?"
Rei kakak perempuan saya, dan yang berbicara barusan adalah bibi saya.
Bolehkah saya menolak menyadarkan manusia yang tengah kehilangan kendali? Apakah ia tidak melihat bahwa saya juga terluka? Atau karena saya tidak menangis sehingga ia berfikir saya baik-baik saja? Dalam kedaan saat ini saya sungguh tidak memiliki kekuatan untuk menenangkan. Sebelum sempat menjawab, di tengah desakkan beberapa orang yang melihat saya seolah mengintimidasi, seolah-olah bahwa jika saya tidak menenangkan kakak perempuan saya, merupakan kesalahan besar yang tidak dapat ditoleransi, bukankah saudara harus begitu Arni?
Saya berdiri berjalan gontai menuju kakak perempuan saya yang kehilangan fikiran itu. Saya memeluknya, menenangkan dengan kata-kata baik, menyimpulkan bahwa yang telah tiada itu ayah mereka.
"Arr, ayah menyapaku katanya beliau ingin air hangat, beliau haus, Ar."
Saya akui kedekatan ayah dengan kak Rei sangatlah dekat. Beliau biasa bermanja, ayah bagaikan pilar bagi kehidupannya. Setelah kehilangan ibunya, Kak Rei mendekatkan diri sepenuhnya pada ayahnya. Yah, saya berfikir sebagai anak dari istri kedua saya selalu merasa rendah diri jika di hadapan kak Rei.
"Kakak. Dengarkan saya! Ayah telah pergi dan itu halusinasimu!"
Kata penenang seperti apa yang kakak saya butuhkan? Saya sangat sulit mengucapkan kata sanjungan. Bahkan ketika saya berucap demikian, diliputi ketidaksukaan yang saya tekan. Di posisi terluka saya dipaksa untuk menenangkan kakak saya. Saya tidak bisa. Saya hanya mencoba yang terbaik sebisanya.
Tubuh kakak saya menggelinjang, dia mencoba melepaskan rengkuhan saya dengan sekuat tenaga, sedangkan saya pun sama kerasnya memeluk dia -- mencegahnya berlari menuju Ayah yang kini akan segera dipindahkan ke ruangan jenazah.
Lorong rumah sakit seharusnya sepi meksi banyak yang berlalu lalang. Tapi, riuhnya tangisan kak Rei sangat memenuhi lorong ini, membuat siapapun tidak bisa untuk tidak mengalihkan perhatian mereka, melihat sepasang saudara yang saling memeluk menguatkan. Tidak! Lebih tepatnya saya yang menenangkan kakak saya yanh histeris dengan suaranya yang menggema.
"Kak Rei!" Suara saya agak meninggi ketika ia mulai menerjang tubuh saya dengan kuat -- memukul kepala saya, mencoba melepaskan dirinya dari rengkuhan kuat saya. Kak Rei yang ganas dengan tatapan kuat seolah membenci saya, seperti bukan beliau yang selalu lembut untuk saya jadikan panutan.
"Jadi adik durhaka banget sih! Ayah mau pulang, ya, Ar! Beliau kehausan, kamu biarin kakak untuk tidak memberikan Ayah air minum, kamu gak pantas jadi anaknya!"
Untuk merasakan sakit, saya demikian. Kalimat yang kakak saya ucapkan ngena di ulu hati, menembus jantug sehingga saya mulai merasakan panas di mata saya. Untuk pertama kalinya, setalah beberapa waktu ayah saya meninggal, saya merasakan air mata saya mengalir deras. Entah karena saya akhirnya menemukan fakta, atau karena kata-kata kak Rei seperti jarum.
"LEPASIN GAK! Kok kamu gitu sih ga biarin kaka buat ngelayani ayah?! Ar, lepasin! Kakak pengen sama ayah ...." Sembari mencoba melepaskan rengkuhan saya, kak Rei berbicara dengan penuh kesedihan dengan suaranya yang mencekat.
Suaranya tidak tenang, "ARRR! LEPAS IH!"
Saya paham bahwa kak Rei kehilangan kendali. Mungkin jika ia sadar nanti, ia akan melupakan kegilaannya saat ini.
Dengan derai air mata tak terbendung, saya mencoba menahan kekuatan kakak saya yang tiba-tiba penuh sehingga menyikirkan saya sehingga tersungkur. Dia berlari mencari keberadaan ayah. Saya tak berusaha mengejarnya dan saya lelah hanya untuk mencoba berkomunikasi dengannya saat ini.
Saya menghapus air mata saya. Berlari dari situasi redup saat ini, urusan rumah sakit biarlah kakak pertama yang mengurus.
Berjalan dengan tidak semangat, saya mencari halaman rumah sakit yang jarang dipindai oleh orang-orang. Akhirnya saya menrmukan taman tanpa siapapun dengan satu buah bangku yang terletak di bawah pohon rindang. Pemandangan saat ini sepertinya, mampu menghilangkan pikiran kacau saya.
Duduk di atasnya, saya ingin membuka beberapa kenangan saat bersama ayah. Ayah saya bagaikan raja di sebuah kerajaan, dalam satu waktu ia dapat dengan mudah merangkul dan memukul. Memukul dalam artian ia bisa tegas dan penuh kasih sayang secara bersamaan. Sebagai anak dari istri kedua saya selalu merasa rendah diri. Entahlah, perasaan ini timbul ketika saya mencoba mendekatkan diri dengan ayah meski tidak bisa. Selama delpan belas tahun ini, saya mencoba menyenangkan ayah dengan segudang prestasi, setidaknya di hati beliau harus selalu ada anaknya yang tampak sempurna dengan kegagalan hanya sekian persen. Saya haus pujian beliau. Saya ingin dimanja, juga.
Tapi, kehilangan tanpa mencoba berkeluh kesah ataupun bercerita hal random dengan ayah, saya akhirnya paham dengan pepatah 'Gunakan waktu luang sebaik mungkin, jangan sampai menyesal di kemudian hari".
Tapi, satu hal yang ingin saya tanyakan. Apakah deskripsi sedih itu harus dengan menangis?
Judul : mencekik diri dalam pelik
Oleh : Rain Hally