Angin malam bertiup pelan, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Di tengah reruntuhan kota yang hancur, Ardan berdiri diam, tatapannya kosong, menatap langit yang kelam. Tubuhnya penuh luka, pedang di tangannya berlumuran darah. Di hadapannya, sosok yang selama ini menjadi musuhnya, Ordeus, terbaring tak bernyawa.
Kemenangan ini seharusnya membawa kebahagiaan. Tapi yang ada hanya kehampaan.
Di tangannya, tergeletak sepotong liontin emas yang dingin—miliknya, milik Larissa. Gadis yang dulu menjadi cahaya dalam hidupnya, satu-satunya alasan ia bertahan dalam pertempuran ini.
Namun, Larissa telah tiada dengan penuh kerusakan.
Dia meninggal sebelum Ardan bisa menyelamatkannya. Sebelum ia bisa mengungkapkan perasaan yang selama ini dipendam. Semua perjuangan, semua luka yang ia derita, semua janji yang ia buat untuk melindunginya… berakhir dengan kesia-siaan.
Ardan jatuh berlutut, tangannya gemetar saat meremas liontin itu lebih erat.
"Aku… gagal," bisiknya.
Dunia telah diselamatkan, tapi bagi Ardan, dunia itu sudah kehilangan sinarnya.
Hari-hari berlalu, dan luka di tubuhnya mulai sembuh. Namun, luka di hatinya tetap menganga, tak bisa dijahit dengan waktu.
Setiap malam, ia bermimpi tentang Larissa. Tawa ringannya, suara lembutnya, cara ia memarahi Ardan setiap kali ia bertindak gegabah. Semuanya terasa begitu nyata, namun saat ia terbangun, yang ada hanya kekosongan.
Beberapa orang memujinya sebagai pahlawan, penyelamat. Tapi Ardan tahu lebih baik—dia bukan pahlawan. Jika ia benar-benar pahlawan, Larissa seharusnya masih hidup.
Namun, meski hatinya hancur, ia tidak berhenti melangkah. Ia tetap melindungi mereka yang lemah, mencegah tragedi yang sama terjadi pada orang lain.
Bukan karena ia masih punya harapan.
Bukan karena ia ingin hidup bahagia.
Tapi karena ini satu-satunya hal yang tersisa baginya.
Jika dunia menolak memberi kebahagiaan untuknya, maka ia akan memastikan orang lain tidak merasakan penderitaan yang sama.
Larissa mungkin telah pergi, tapi cintanya tetap ada.
Dan Ardan akan bertahan—bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuknya. Untuk cahaya yang tak bisa ia genggam, tapi akan selalu meneranginya dalam gelap.