Sesuatu berwarna putih membutakan penglihatanku. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku mulai berteriak tapi tidak ada suara yang keluar.
" Tolong aku. " Rintih hatiku.
Saat permintaan yang tercampur rasa putus asa dan juga ketakutan itu terkabul begitu mudah,sesuatu yang halus mulai menarik diriku keluar dari titik buta. Warna putih perlahan menghilang tergantikan dengan hamparan berwarna lilac yang begitu indah. Warna lilac itu sebagian terlingkup oleh kilauan orange keemasan. Aku bisa melihat langit berwarna biru bergradasi dengan warna orange dari mentari yang hanya menampakkan setengah dari keseluruhan bentuknya.
Pemandangan Padang Bunga Lavender di sore hari yang berkilau keemasan terlihat begitu memukau dan menenangkan hati. Rasa tentram akan keheningan yang terdengar hanya desiran angin yang membawa harum manis yang tidak berlebihan.
Hingga aku melupakan sesuatu yang seharusnya aku ketahui. Aku mulai melihat tangan kecilku yang tergenggam oleh tangan kecil lain. Mataku mulai beranjak menelusuri titik pertama aku menyadari sampai pada titik dimana semuanya jelas. Sosok anak laki-laki sebayaku berwajah tampan dan juga cantik. Rambutnya yang panjang dan hitam legam begitu terurai indah oleh hembusan angin yang lewat. Dia tersenyum begitu ramah dan hangat padaku.
" Kamu baik-baik saja? " Tanya anak laki-laki tersebut begitu ramah dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan dengan diriku yang kebingungan dan hati yang mengganjal. Sesuatu dalam diriku berbisik agar aku tidak terlena pada tempat asing ini. Bahkan ada yang mengatakan ini bukan tempatku. Bisikan yang terus berteriak dalam diriku merujuk diriku untuk mengetahui kenapa aku ada disini. Tapi aku tercengang aku tidak memiliki ingatan masa lalu sama sekali. Aku mulai dilanda ketakutan dengan apa yang tidak kuketahui.
" Tenang kau akan baik-baik saja disini oke. " Anak laki-laki itu menenangkanku dari rajutan benang yang kusut.
" Jangan takut, aku akan tetap bersamamu selama kau menginginkanku. " Lanjutnya membelai halus wajahku yang begitu tegang akan ketakutan.
Lembutnya belaian itu menyapu semua ketakutanku. Aku mulai merasa tenang dan nyaman. Satu tangan aku mulai ulurkan.
" Namaku Leandra, siapa namamu? " Ucapku begitu pelan.
" Namaku... cifer. "
Penglihatanku sedikit teralihkan ketika ditengah percakapan angin berhembus begitu kencang menerpa kami yang mengajak Bunga Lavender ikut bersamanya.
" Senang bertemu denganmu. " Ungkapnya yang menarik penglihatanku beralih padanya, dari Bunga Lavender yang sedang berterbangan.
Tawa bahagia terdengar begitu menyenangkan dalam hatiku. Tawa itu menyatu dengan kilauan senja yang berwarna emas. Perlahan Dia menarik tanganku dan mengajakku bermain ditengah hamparan Bunga Lavender.
Kami bermain tidak kenal waktu. Dalam waktu yang berjalan kami membangun sebuah kenangan manis di ladang ungu ini. Ladang Bunga Lavender yang tidak pernah layu dengan langit yang masih senja. Sepertinya waktu berhenti disini. Aku tidak bisa mengenali waktu pada tempat ini dengan langit dan bumi yang masih sama.
" Ada apa Leandra? Lagi-lagi kau melamun. " Tegur Cifer sambil mencubit hidungku.
" Aku hanya berpikir kenapa langit masih berwarna orange. " Tuturku sambil menatap langit.
" dan kenapa aku mengecil? " Ucapku yang tidak aku sadari membuat diriku menjadi aneh. Bahkan Cifer mulai terlihat begitu terkejut mendengarnya.
" Kenapa aku mengatakan itu? " Lirih hatiku kebingungan.
Lagi-lagi aku dibangunkan dari lamunanku oleh Cifer. Gelak tawanya begitu menggelegar dan menular pada diriku yang ikut tertawa.
Deg!
Jantungku tersentak begitu hebat begitu saja. Bahkan aku bisa merasakan detak jantungku tidak berdetak. Sesuatu menarikku yang membawaku secara tiba-tiba di dasar laut yang gelap. Aku melihat sekilas layar samar orang-orang dewasa berpakaian serba putih dan terdengar rintihan tangis yang begitu pilu. Orang-orang berbaju putih itu mencoba menolong nyawa paseinnya. Kejadian itu terjadi begitu lama hingga aku kembali tertarik ke permukaan.
Aku mendapati diriku terbaring di tengah hamparan Bunga Lavender. Dengan cepat aku terbangun dengan seru nafas yang tidak teratur, apa yang aku lihat membangunkan sebuah memori dalam otakku. Mataku begitu tidak karuan dengan otakku yang begitu banyak kiriman kenangan yang menghujam diriku. Aku mencoba menerima semua yang datang dan tetap menjaga kewarasanku.
Memori tentang diriku yang tertabrak sebuah truk akhir dari ingatanku.
" Aku sedang koma sekarang. "
" Kenapa aku ada disini? "
Saat aku mulai mencoba mencerna yang terjadi, secara mengejutkan Cifer ada didepanku. Tatapannya tidak hangat seperti biasa. Dia begitu dingin dengan mata yang begitu tajam menatap diriku.
" Kau akan meninggalkanku. " Tuturnya begitu dingin.
" Tidak. "
" Bohong. " Sentak Cifer yang kini raut wajahnya mulai menakutkan. Dia marah.
" Aku tidak akan meninggalkanmu, tapi tempatku bukan disini. "
" Tempatku disini bersamaku, apakah tidak cukup menyenangkan bersamaku? " Keluhnya yang kini mulai terlihat buliran air mata di pipinya.
" Kau akan meninggalkanku. " Cifer mulai menangis meraung-raung.
Aku yang tidak bermaksud untuk membuat Cifer menangis dengan cepat aku berlari ke arahnya dan memiliki dirinya begitu erat.
" Aku tidak akan meninggalkanmu, aku janji. " Ucapku yang mencoba menenangkan Cifer.
" Kau janji? " Suaranya terdengar begitu parau.
Aku mulai mengendurkan pelukanku dan menatap wajah Cifer yang sudah begitu basah dengan air matanya.
" Aku janji kita akan selalu bersama dimanapun itu. "
" Kau janji, akan kau tepatikan? "
" Tentu saja. "
Kami mulai mengaitkan jari kelingking kami sebagai tanda perjanjian yang mutlak.
Seperti terbius aku tidak menyadari langit tiba-tiba saja berubah menjadi gelap. Aku bisa melihat hamparan Bunga Lavender sudah hancur. Disisi lain mataku begitu terbelalak melihat jari kelingkingku mengait pada bayangan hitam. Sesuatu berwarna tipis mulai menjalar dan mengikat tubuhku.
Aku terikat oleh sebuah gulungan benang merah yang mengikatku begitu kencang dan tanganku yang satu masih mengait pada sosok hitam tersebut. Rasa sakit itu begitu menyiksaku. Ikatan itu begitu kencang mengikatku. Aku mulai berteriak kesakitan seperti orang gila.
Darah mulai bercucuran dan daging segar mulai terlihat. Aku bisa membayangkan akhir dari tubuhku yang hancur berkeping-keping oleh gulungan benang.
Warna putih kembali membutakan mataku diiringi suara dengungan. Perlahan samar suara terdengar jelas diikuti warna putih yang mulai tersapu oleh pemandangan orang-orang yang menantikan diriku.
" Leandra! " Teriak seorang ibu paruh baya yang tak lain adalah ibuku.
Ibuku berlari padaku dan memeluk erat tubuhku begitu juga dengan ayahku. Aku melihat tanganku, aku kembali pada tubuhku yang sudah dewasa. Di tengah pelukan yang harus. Aku melihat sosok yang membuat aku begitu terbelalak ketakutan.Sosok itu melayang di atas langit-langit kamar rumah sakit, tepatnya di atas para dokter dan suster yang sedang melihat diriku.
Sayap hitamnya menjuntai begitu besar. Dia tersenyum dengan gigi yang terlihat begitu runcing. Pupil mata itu begitu kecil dan hitam yang luarnya berwarna merah. Sosok menakutkan dan tegas itu sedang menatap diriku dengan membawa Bunga Lavender yang sudah menghitam dalam genggamannya.
Aku membuat janji pada sesuatu yang buruk. Aku mulai mengingat perkenalanku dengan Cifer. Bukan Cifer tapi Lucifer.
Benang merah menjuntai pada jari kelingking kami.