Di sebuah kota, hiduplah seorang gadis bernama Azkiyya Nazeira Arafa, orang-orang biasa memanggilnya Kiyya. Azkiyya berasal dari keluarga yang terpandang dan religius. Ayahnya, Khalid Rifa’i seorang ustadz sekaligus pemilik pesantren, ibunya, Rania Fatmawati seorang guru disebuah sekolah Islam, dan kakak laki-laki nya yang bernama Naufal Justin Ramadhan adalah seorang hafiz Al-Qur’an. Setiap hari, Kiyya dan Naufal memulai harinya dengan sholat subuh dan ber i’tikaf di masjid dekat rumahnya, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan mereka masing-masing.
Suatu hari, seperti biasa Kiyya pergi ke masjid bersama Naufal untuk melaksanakan salat subuh berjamaah di masjid, kemudian beri’tikaf di masjid hingga waktu dhuha. Setelah melaksanakan salat dhuha, Kiyya melipat mukena nya kemudian keluar dari masjid. Diluar masjid, Naufal menghampiri Kiyya "Dek, abang mau langsung nyusul Abi ke pesantren, ya," ucap Naufal berpamitan pada Kiyya. Kiyya mengangguk, "iya, bang! In syaa Allah, nanti setelah dzuhur Kiyya nyusul ke pesantren sama Umi sekalian." Naufal mengangguk paham, "yaudah, kalau begitu abang duluan ya! Assalamu'alaikum," ujar Naufal setelah Kiyya salim dan cium tangan padanya. Kiyya tersenyum, "Wa'alaikumsalam warahmatullah," jawab Kiyya sebelum Naufal beranjak pergi dari masjid. Setelahnya, Kiyya pun kembali kerumah untuk sarapan.
Setelah sarapan, Kiyya memutuskan untuk pergi ke taman dekat rumahnya untuk sekedar jalan-jalan, karena dirumah tidak ada orang. Kiyya duduk di bangku taman sembari membaca sebuah novel horor yang dia pinjam dari temannya. Di sisi lain taman, seorang pemuda bernama Tristan sedang duduk disalah satu bangku taman, mencari inspirasi untuk dia lukis dengan sebuah kanvas dihadapannya. Karena terlalu fokus melukis, Tristan tidak menyadari salah satu kuas miliknya jatuh ke arah bangku taman tempat Kiyya duduk. Kiyya mengambil kuas yang ada disamping kakinya, "kuas? Punya siapa ini?," tanya Kiyya sembari celingak-celinguk mencari pemilik kuas yang dia pegang. Kiyya melihat Tristan yang sedang melukis dan sepertinya sedang mencari sesuatu, "ahh, mungkin ini miliknya." Ujar Kiyya, berdiri dari tempat duduknya kemudian menghampiri Tristan.
"Permisi, apa ini milikmu?," tanya Kiyya sembari menunjukkan kuas yang dia bawa. Tristan mendongak melihat Kiyya yang berdiri, Tristan terpana melihat Kiyya dengan senyuman yang terukir dibibirnya. Tristan terdiam, hanya fokus melihat Kiyya. Kiyya mengerutkan alisnya, "halo? Permisi? Ini bukan punyamu?," tanya Kiyya sekali lagi. Tristan tersadar dari lamunannya kemudian mengangguk, "iya, ini milikku. Terimakasih," ucap Tristan sembari mengambil kuasnya dari tangan Kiyya. Kiyya tersenyum, "sama-sama." Ucap Kiyya kemudian kembali ke tempat duduknya. Tristan terus-terusan menatap kearah Kiyya setelah Kiyya pergi. Tiba-tiba, dihatinya muncul keinginan untuk melukis wajah Kiyya. Tapi tentu saja, dia harus meminta izin dulu. Iyakan? Tristan mengemasi barang-barangnya kemudian membawa barang-barangnya ketempat duduk Kiyya, "permisi, apa aku boleh duduk disini?." Tanya Tristan dengan senyuman manis diwajahnya. Kiyya mendongak, "tapi tadi kamu sudah duduk disana, kan?." Ucap Kiyya. Tristan tersenyum tipis, "aku sendirian disana. Boleh aku duduk bersamamu?," tanya Tristan sopan. Kiyya diam sejenak, sebenarnya Kiyya tidak suka duduk bersama orang lain saat membaca, namun Kiyya tidak enak jika menolak Tristan. Kiyya akhirnya tersenyum kemudian mengangguk, "tentu! Silahkan saja," Ujar Kiyya dan agak menggeser posisi duduknya.
Tristan tersenyum kemudian duduk disebelah Kiyya, "terimakasih, nona." Ujar Tristan dan dijawab anggukan oleh Kiyya. Mereka kembali dengan kegiatan mereka masing-masing, tidak ada dari mereka berdua yang berniat membuka pembicaraan, hingga Tristan memberanikan diri untuk bertanya, "nona cantik, boleh aku tau siapa namamu?." Tanya Tristan sembari menatap Kiyya. Kiyya menoleh kemudian tersenyum, "nona cantik?," tanya Kiyya memastikan kalau yang dia dengar tidak salah. Tristan tersenyum canggung sembari mengaruk tengkuknya yang tidak gatal, "hehe, maaf kalok kamu merasa kurang nyaman." Ucap Tristan. Kiyya terkekeh, "tidak apa-apa kok. Namaku Azkiyya. Kamu bisa panggil aku Kiyya." Tristan mengangguk-anggukan kepalanya, "Kiyya, nama yang indah. Persis seperti pemiliknya." Ujar Tristan sembari menatap Kiyya. Kiyya tersenyum mendengar tanggapan Tristan. "Kamu ini bisa saja, deh!," Ujar Kiyya sembari terkekeh kecil, "kalok nama kamu siapa?." Tanya Kiyya. "Aku, Tristan. Tristan Isa Jonathan." Jawab Tristan. Tristan dan Kiyya mulai banyak berbincang, begitu banyak hal yang mereka bicarakan. Mulai dari hobi, kegiatan, bahkan saling berbagi cerita dan pengalaman yang mereka miliki. Tanpa disadari, adzan dzuhur mulai berkumandang. Kiyya yang mendengar adzan dzuhur berdiri dari duduknya, hendak pulang untuk mengambil mukena kemudian pergi ke masjid. Kiyya menatap Tristan, "udah adzan, kamu nggak shalat?," tanya Kiyya. Tristan terdiam sejenak, kemudian menunjukkan kalung salib yang dia pakai pada Kiyya, "agamaku bukan IsIam." Ucap Tristan. Kiyya menutup mulutnya karenaa terkejut, "ahh, maaf. Aku nggak tau." Ujar Kiyya. Tristan mengangguk paham, "iya, tidak apa-apa kok."
"Kiyya, aku mau bicara serius sama kamu, sebentar saja. Nggak buru-buru sholat kan?" Ucap Tristan tiba-tiba. Kiyya menoleh, "iya? Katakan saja." Jawab Kiyya. Tristan tidak menjawab. Beberapa saat kemudian, Tristan menghela nafas lalu menggeleng, "tidak jadi. Lain kali saja, deh." Ujar Tristan. Kiyya hanya bisa mengangguk. Kiyya melihat jam di ponselnya, "aku pulang dulu ya, Tristan. Sebentar lagi Umiku pulang." Ucap Kiyya. Tristan mengangguk, "aku antar kamu pulang, ya?," tawar Tristan. Kiyya mengerutkan dahinya. "Aku cuma mau tau rumah kamu saja." Ujar Tristan. Kiyya tersenyum, "baiklah. Ayo antar aku pulang."
Tristan berjalan mendahului Kiyya, karena Kiyya bilang dalam agama Islam, laki-laki harus berjalan didepan perempuan. Tristan berjalan dengan begitu percaya diri, bahkan lebih cenderung seperti anak kecil sombong yang sedang berjalan mendahului temannya. Sampai didepan rumah Kiyya, Tristan terus berjalan karena tidak mengetahui posisi rumah Kiyya. Kiyya terkekeh melihat Tristan yang terus berjalan dengan langkah yang begitu sok angkuh. "Tristan! Mau kemana kamu!? Rumah aku disini, bukan disana!," ujar Kiyya dengan sedikit meninggikan suaranya. Tristan menoleh, kemudian langsung tertawa ditempat dia berdiri saat menyadari dia berjalan sangat jauh dari rumah Kiyya. Tristan berlari menghampiri Kiyya yang berdiri didepan rumahnya, "hehehe...Maaf! Kan aku nggak tau." Ujar Tristan sembari mengaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kiyya tersenyum, "tidak apa-apa kok. Terimakasih ya, sudah mengantarku pulang!" Ujar Kiyya, berterimakasih pada Tristan. Tristan tersenyum sembari mengusap kepala Kiyya, "iya, sama-sama. Kita kan teman!." Kiyya terdiam, entah kenapa dia merasakan hal yang aneh saat Tristan menyentuh kepalanya. Namun dia sadar bahwa dirinya dan Tristan itu berbeda. Tristan tersadar kemudian menarik tangannya dari kepala Kiyya, "Mmm...Maaf." Ucap Tristan. Kiyya mengangguk pelan dan memalingkan wajahnya, berusaha menutupi wajahnya yang sudah memerah. Tristan melihat ke arah rumah Kiyya sejenak, kemudian menatap Kiyya yang tetap tidak menatapnya, "Kiyya, aku pulang dulu ya." Ujar Tristan. Kiyya langsung mendongak menatap Tristan kemudian mengangguk, "ahh, i-iya! Terimakasih" jawab Kiyya. Tristan pun tersenyum kemudian pergi dari depan rumah Kiyya.
Kiyya menoleh kebelakang dan melihat punggung Tristan yang semakin menjauh, "Tristan, dunia kita berbeda, kita nggak akan pernah bisa bersama. Sampai kapanpun, lantunan suci Adzan yang berkumandang dan lonceng gereja yang berdentang, tidak akan pernah bisa bersatu dalam satu nada dan membentuk melodi yang indah." Ujar Kiyya sebelum punggung Tristan hilang dari pandangannya. Kiyya menghela nafas, kemudian masuk ke rumahnya.
Baru saja Kiyya masuk ke dalam rumah, dirinya sudah dihadapkan dengan Naufal yang berdiri didepan pintu sembari menatapnya. Sudah bisa dipastikan, Naufal melihat semua yang terjadi. Kiyya menatap Naufal beberapa saat kemudian hanya tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa, "abang kenapa?" tanya Kiyya. Naufal memutar bola matanya kemudian mendekati Kiyya, "siapa tadi yang nganterin kamu pulang?." Tanya Naufal tanpa basa-basi. Pertanyaan Naufal benar-benar langsung membuat Kiyya terdiam, bingung memikirkan bagaimana cara menjawab pertanyaan Naufal. Melihat Kiyya yang tidak memberi respon apa-apa, Naufal sedikit membungkukkan badannya agar setara dengan Kiyya, "dek, bukannya abang melarang kamu punya teman, tapi dia laki-laki yang bukan mahram kamu. Lebih parahnya lagi, dia pakai kalung salib!" Jelas Naufal pada Kiyya, walaupun Kiyya hanya menundukkan kepalanya. Naufal mengusap wajahnya kasat kemudian menghela nafas, "abang minta, kamu jangan menemui dia lagi, apapun hubungan kamu sama dia!," tukas Naufal tiba-tiba, membuat Kiyya tertegur. Kiyya langsung mendongakkan kepalanya menatap Naufal, "dia cuma teman Kiyya, abang!." Ujar Kiyya. Naufal kembali menghela nafasnya kasar mendengar ucapan adiknya, "mungkin buat kamu dia memang cuma teman, tapi buat dia kamu lebih dari teman! Dari mana abang tau? Itu sangat kelihatan dari tatapan dia dan saat dia mengusap kepala kamu tadi! Dan kamu pasti tau kan, bersentuhan dengan orang yang bukan mahram itu dosa!." Jelas Naufal panjang lebar dengan suara yang mulai meninggi.
Kiyya benar-benar kehabisan kata-kata sekarang, dia sudah tidak bisa menjawab ucapan Naufal, karena yang semua dikatakan Naufal memang benar. Tapi entah kenapa, hati Kiyya seolah hancur saat Naufal melarang dirinya bertemu lagi dengan Tristan. Naufal menatap Kiyya beberapa saat sembari mengontrol emosinya agar tidak membentak Kiyya, kemudian berkata, "dek, ini masih untung abang yang lihat! Kalau sampai Abi atau Umi yang lihat gimana? Malah kamu yang kena!." Ujar Naufal menjelaskan pada Kiyya. Lagi-lagi, Kiyya hanya bisa diam. Yang dikatakan Naufal itu benar, dan mau tidak mau, dia harus menuruti Naufal. Karena itu memang larangan agama.
"Iya, abang! Kiyya nggak akan menemui dia lagi." Ujar Kiyya dengan suara yang begitu dipaksakan. Kiyya menghela nafasnya, "Kiyya mau wudhu dulu, abang. Kiyya belum sholat Dzuhur," ucap Kiyya kemudian pergi ke kamarnya untuk mengambil mukena miliknya dan pergi ke masjid. Naufal terdiam, dia menatap kepergian Kiyya yang semakin menjauh darinya, "maafin abang, dek. Tapi yang abang lakuin, ini semua buat kebaikan kamu. Sampai kapanpun, anak Tuhan Yesus nggak akan pernah bisa bersanding dengan hamba Allah. Dinding pembatas diantara kalian terlalu tinggi, tidak akan pernah bisa ditembus oleh apapun dan siapapun."
Keesokan harinya, Kiyya berencana menemui Tristan setelah sholat dhuha untuk membicarakan tentang pertemanan mereka yang memang seharusnya tidak diteruskan. Kiyya takut, jika dirinya terus menemui Tristan, Kiyya akan memiliki perasaan pada Tristan. Setelah sholat, Kiyya keluar dari masjid dan hendak pergi ke taman, namun saat diluar masjid, Kiyya melihat seorang pria sedang duduk di serambi masjid, menatap langit. Dari belakang, pria itu terlihat seperti Tristan. Kiyya mendekati pria itu, dan ternyata pria itu benar Tristan. Tristan menoleh kemudian tersenyum menatap Kiyya, "Hai! Aku menunggumu, loh!." Ujar Tristan sembari bangun dari posisi duduknya. Kiyya tersenyum menatap Tristan, kemudian menoleh kesana-kemari, memastikan bahwa Naufal tidak ada disekitarnya. Kiyya memakai sepatunya kemudian berdiri dihadapan Tristan, "Tristan, maafkan aku," ucap Kiyya membuat Tristan merasa kebinggungan.
"Kenapa?," tanya Tristan tidak paham dengan ucapan Kiyya. Kiyya diam sejenak, hatinya benar-benar berat untuk mengatakan ini semua. Walaupun dirinya belum lama mengenal Tristan, entah kenapa Kiyya sangat-sangat tidak rela jika harus berpisah dengan Tristan. Kiyya menghela nafas, "sepertinya, setelah ini kita nggak akan bisa bertemu lagi," ucap Kiyya pelan, menatap dalam mata Tristan. Begitu mendengar ucapan Kiyya, hati Tristan benar-benar hancur. Tidak bisa dipungkiri, walaupun Kiyya adalah orang baru di kehidupannya, Tristan menyimpan cinta yang begitu tulus untuk Kiyya.
"Maafkan aku, Tristan. Tapi kita memang seharusnya nggak bertemu. Dunia kita berbeda, aku, kamu, Masjid, dan Gereja, kita tidak akan pernah bisa menembus dinding yang memisahkan kita berdua." Ujar Kiyya, menahan airmatanya agar tidak jatuh membasahi pipinya. Tristan mengenggam kedua tangan Kiyya dan sedikit membungkukkan badannya agar setara dengan Kiyya, "kita bisa melewati ini semua, Kiyya. Aku nggak mau kehilangan kamu, karena aku mencintaimu." Ujar Tristan, tanpa basa-basi langsung menyatakan perasaannya pada Kiyya, tepat di depan Masjid, tempat ibadah Kiyya. Kiyya terdiam mendengar ucapan Tristan, dia tidak pernah menyangka jika yang dikatakan Naufal kemarin malam itu benar. Tristan menatap Kiyya, "aku nggak peduli dengan perbedaan diantara kita, aku cuma mau kita terus bersama. Kita bisa melawan semua perbedaan diantara kita, Kiyya. Aku janji." Ujar Tristan dengan tatapan yang benar-benar dalam menatap Kiyya.
Tak disadari, daritadi Naufal melihat kelakuan Tristan yang menurutnya berlebihan pada Kiyya dari dalam masjid. Naufal benar-benar kesal, namun sepertinya Tristan benar-benar mencintai adiknya dengan tulus, dan sepertinya Kiyya merasakan hal yang sama pada Tristan, tapi dia tetap tidak bisa membiarkan itu. Naufal pergi menghampiri Khalid yang sedang duduk di saf paling depan masjid. Naufal duduk disebelah Khalid, "Abi, Naufal mau ngomong sebentar," ucap Naufal pelan agar tidak menganggu Khalid. Khalid. menoleh, "ada apa, nak?," tanya Khalid. Naufal menghela nafas kasar kemudian memegang tangan ayahnya, "maafkan Naufal, tapi abi perlu tau kelakuan Kiyya." Ujar Naufal. Akhirnya Naufal mengajak Khalid untuk keluar dari Masjid, Khalid melihat Tristan yang masih tetap mengenggam kedua tangan Kiyya langsung kesal, apalagi melihat kalung salib yang dipakai Tristan.
Dengan amarah yang memenuhi dirinya, Khalid langsung menghampiri kemudian menepis tangan Tristan yang memegang tangan putrinya. Kiyya dan Tristan lantas terkejut, Kiyya memegang lengan Khalid, berharap Khalid tidak akan marah disini dan mempermalukan Tristan. Khalid menatap tajam kearah Tristan, "siapa kamu!? Berani-beraninya kamu menyentuh putri saya, ada hubungan apa kamu sama anak saya!?." Ujar Khalid dengan nada marah. Tristan mencoba menjelaskan pada Khalid tapi Khalid tetap menyela ucapannya hingga dia tidak bisa menjelaskan, dan akhirnya Tristan hanya bisa diam. Karena tidak mungkin juga dia membantah Khalid. Kiyya memeluk lengan Khalid, "abi, jangan seperti ini. Dengarkan penjelasan Tristan dulu, Tristan tidak bisa bicara dari tadi." Ujar Kiyya. Khalid justru menghempaskan tangan Kiyya, "kamu juga begitu! dia itu laki-laki dan bukan orang Islam! Kenapa kamu mau disentuh sama dia!?," ujar Khalid sedikit membentak Kiyya.
Tristan memegang tangan Khalid begitu erat dan mencoba menjelaskan, "om, jangan marah ke Kiyya, Kiyya nggak salah." Ujar Tristan. Khalid tidak peduli kemudian menghempaskan tangan Tristan, "CUKUP! Siapapun yang salah, jangan pernah kamu berani menemui putri saya lagi!," bentak Khalid pada Tristan sembari menunjuk wajah Tristan. Khalid menarik pergelangan tangan Kiyya dan mengajaknya pulang, "Kiyya, ikut Abi pulang! Jangan kamu temui pria ini lagi! Abi akan ngirim kamu ke Singapura, dirumah kakek kamu! Kamu harus tinggal dan kuliah disana, kamu abi turutin nggak mau kuliah, malah kurang ajar!." Ujar Khalid sembari menarik tangan Kiyya. Tristan membulatkan matanya, Tristan hendak mengejar Khalid dan Kiyya, namun Naufal menahannya, "jangan! Nanti malah kamu yang kena!." Ujar Naufal. Tristan menoleh kemudian menarik pergelangan tangannya, "siapa lo!?," tanya Tristan. Belum mendapatkan jawaban dari Naufal, Tristan kembali berlari mengejar Kiyya dan Khalid, namun Naufal menahannya.
"Saya kakaknya Kiyya! Dan saya benar-benar tau, Abi nggak akan merestui kamu dan Kiyya!," ujar Naufal sembari mengenggam pergelangan tangan Tristan. Tristan terdiam mendengar ucapan Naufal, Tristan menghempaskan tangan Naufal. Naufal menghela nafas, "ayah ku nggak pernah main-main sama ucapannya, kemungkinan besar Kiyya akan benar-benar pergi ke Singapura," Jelas Naufal sembari merangkul bahu Tristan. Tristan mengusap wajahnya kasar, tidak bisa berkata apa-apa. Naufal menepuk bahu Tristan, "Kiyya bukan buat lo! Lo ganteng,lo pasti bisa dapetin yang lebih dari Kiyya, yang seiman sama lo!," ujar Naufal berusaha menenangkan perasaan Tristan. Tristan menatap Naufal, "gue mencintai adek lo, lo harus tau itu! Dan gue nggak akan pernah mencari wanita lain! Sampai gue mati, cinta gue bakal tetap buat Kiyya, walaupun kita nggak bisa bersama! Gue sadar kok, dinding pembatas diantara kita berdua nggak akan pernah bisa ditembus. Tapi gue tetap mencintai adek lo." Jelas Tristan tanpa menatap Naufal. Naufal terdiam, ternyata Tristan benar-benar tulus mencintai Adiknya, dia tidak menyangka bahwa Tristan tidak peduli pada perbedaan besar diantara mereka. Dalam hatinya, Naufal berdoa supaya dikehidupan selanjutnya mereka berdua bisa dipertemukan kembali, tanpa perbedaan sebesar ini.
**✿❀ ❀✿**
Benar saja, sejak itu Kiyya dan Tristan benar-benar tidak pernah bertemu lagi, walaupun hanya sekedar bertemu dan saling tegur sapa. Khalid benar-benar mengirim Kiyya ke Singapura dan berkuliah disana. Jauh dari Tristan. Walaupun begitu, Kiyya tidak pernah melupakan Tristan, begitu pula sebaliknya. Tristan juga tidak pernah main-main dengan perkataannya. Bertahun-tahun lamanya dia jauh dari Kiyya, namun tidak pernah ada seorang pun yang bisa mengantikan posisi Kiyya dihatinya. Di rumah kakeknya, Kiyya duduk di sebelah jendela dan melihat keindahan gedung-gedung kota Singapura dari jendela kamarnya. Kiyya tidak pernah bisa melupakan Tristan, anak Tuhan Yesus yang pernah berhasil mengisi hatinya. Kiyya menghela nafas, tetap melihat keluar kamarnya, melihat bangunan bangunan tinggi di Singapura, namun hatinya tetap memikirkan Tristan, "maafkan aku, Tristan. Walaupun dipisahkan oleh jarak dan keyakinan, aku nggak akan pernah melupakan kamu. Walaupun tidak bisa bersama karena dinding pembatasan diantara kita. Aku mencintaimu, Tristan Isa Jonathan.
• TAMAT •