Aku pernah membaca kata-kata Peter Thiel: "Yang membuat dunia berjalan bukanlah keserakahan melainkan rasa ingin bersaing."
Adit menatap langit senja dari lantai dua sekolahnya. Angin sore berhembus, membawa suara tawa teman-temannya yang sedang bercanda di bawah. Sekolahnya tak pernah sepi, apalagi saat mendekati kelulusan. Semua orang membicarakan kampus impian mereka, tentang masa depan yang masih misteri.
Di sampingnya, Laila berdiri diam. Gadis itu memeluk bukunya erat-erat, menatap jauh ke depan tanpa berkata apa pun. Adit tahu, Laila selalu seperti itu—diam, tapi pikirannya berjalan lebih cepat dari siapa pun yang ia kenal.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Adit, memecah keheningan.
Laila menoleh, sedikit terkejut. "Kamu tahu, Dit... Hidup ini berjalan cepat. Dulu kita main kejar-kejaran di lapangan ini, dan sekarang kita mau kuliah."
Adit tersenyum tipis. "Iya. Dulu kita cuma mikir kapan pulang sekolah biar bisa main, sekarang kita mikir mau jadi apa di masa depan."
Laila tertawa kecil, lalu mendesah pelan. "Manusia memang selalu berubah. Kita selalu ingin lebih, ingin sesuatu yang belum kita miliki. Tapi, kadang aku takut... Apa yang kita kejar itu benar-benar yang terbaik untuk kita?"
Adit menatapnya. Gadis itu selalu punya cara membuatnya berpikir lebih dalam.
"Kamu takut kehilangan sesuatu?" tanya Adit hati-hati.
Laila mengangguk pelan. "Banyak hal yang berubah, Dit. Dan semakin lama, kita semakin lupa sama apa yang kita punya sekarang."
Adit terdiam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan. Sesuatu yang selama ini ia simpan.
Sejak kecil, Adit dan Laila selalu bersama. Mereka teman kecil yang tumbuh di lingkungan yang sama, sekolah di tempat yang sama, bahkan belajar di meja yang sama sejak kelas satu. Tapi ada satu hal yang berubah—perasaannya.
Ia menyukai Laila. Diam-diam.
Namun, seperti yang dikatakan Laila, manusia selalu ingin lebih. Adit ingin lebih dari sekadar teman, tapi ia tak pernah berani mengatakannya.
"Kamu tahu," Adit akhirnya bersuara, "aku pernah hampir jadi perokok waktu SMP."
Laila menoleh cepat, matanya membulat. "Serius?"
Adit tertawa kecil, menggaruk kepalanya. "Iya. Waktu itu aku masih 13 atau 14 tahun. Aku nggak benar-benar suka rokok, tapi aku ingin mencobanya. Karena... semua orang bilang itu keren."
Laila mengerutkan kening. "Dan sekarang?"
"Aku berhenti. Karena teman," Adit tersenyum. "Dan karena satu tujuan."
Laila tersenyum tipis. "Satu tujuan?"
Adit menatapnya dalam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu.
Satu tujuan itu adalah dia.
Mereka berjalan pelan di koridor sekolah, menikmati sore terakhir sebelum kelulusan.
"Adit," suara Laila pelan, "kalau nanti kita pisah, kamu bakal ingat aku?"
Adit terdiam. "Kamu ngomong apa sih?"
Laila tertawa kecil, tapi suaranya terdengar getir. "Aku cuma penasaran. Kadang, orang yang dulu dekat bisa jadi asing setelah waktu berjalan."
Adit berhenti melangkah. Ia menatap Laila dalam-dalam. "Kamu nggak akan jadi asing buat aku."
Laila terdiam. Ada sesuatu di matanya yang sulit Adit artikan.
Lalu bel berbunyi, menandakan hari itu sudah berakhir. Laila tersenyum kecil, lalu berlari meninggalkan Adit.
Adit ingin mengejarnya, ingin mengatakan sesuatu yang selama ini ia simpan. Tapi langkahnya tertahan.
Mungkin, ada hal-hal yang memang seharusnya tetap menjadi sesuatu yang tak terungkap.
---
Selesai dulu yaaa..... kapan kapan kita sambung lagi.....