(Ru’ya fi Al-Zilal)
“Hati yang penuh kebencian bisa menciptakan kutukan paling mematikan.
Terkadang, kutukan itu tidak datang dari luar,
tapi tumbuh dari dalam, menggerogoti jiwa secara perlahan.”
Yuna adalah gadis kecil berusia 10 tahun, pendiam, cerdas, dan penuh harapan kecil yang rapuh.
Tapi rumahnya bukanlah tempat untuk cinta.
Bagi Yuna, rumah adalah penjara tanpa dinding, di mana suara lembut digantikan oleh teriakan, dan pelukan berubah menjadi dinginnya tatapan kosong.
Ibunya, seorang wanita bernama Rina, adalah sosok yang keras, penuh kemarahan, dan… kebencian.
Rina tidak pernah menyembunyikan rasa bencinya terhadap Yuna.
Setiap hari, kata-kata kasar meluncur tanpa ragu.
"Kenapa kau harus lahir? Hidupmu hanya menyusahkan!"
"Andai saja kau menghilang, aku akan lebih bahagia!"
Yuna mendengarnya setiap hari.
Seperti mantra gelap yang mengikis harga dirinya sedikit demi sedikit.
Tapi hari itu… ada sesuatu yang berbeda.
Hari Dimulainya Kutukan
Rina berdiri di dapur, memasak sambil melanjutkan kebiasaannya memaki Yuna yang sedang mengerjakan PR di kamar kecilnya.
Suara bentakan Rina terdengar jelas:
"Kau pikir kau pintar? Kau cuma beban. Cepat mati saja!"
Yuna berhenti menulis, menundukkan kepala, menahan air mata yang menggenang di sudut matanya.
Tapi tiba-tiba—hening.
Tak ada suara panci yang terjatuh, tak ada langkah kaki, tak ada teriakan lanjutan.
Hening yang aneh.
Mencekam.
Yuna menunggu.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Dia mencoba mengabaikannya, kembali menulis… tapi perasaannya mengatakan ada sesuatu yang salah.
Lalu, pintu kamarnya berderit terbuka perlahan.
Di sana berdiri Rina.
Tapi ada yang aneh.
Sangat aneh.
Rina tersenyum.
Senyum yang… hangat?
Bukan tatapan penuh benci yang biasa Yuna lihat setiap hari.
Matanya lembut, penuh kasih sayang.
Tangannya membawa sebuah piring berisi buah-buahan segar—jeruk, apel, anggur, semuanya tampak cerah dan segar.
"Yuna, sayang. Ayo makan dulu. Ibu sudah siapkan ini khusus untukmu," katanya dengan suara yang manis.
Terlalu manis.
Bukan Rina.
Yuna menatap ibunya dengan bingung dan ketakutan.
Sejak kapan ibunya memanggilnya ‘sayang’?
Sejak kapan ibunya mau repot-repot menyiapkan buah untuknya?
Dan yang paling menakutkan—kenapa senyumnya terasa… salah?
Perubahan yang Menggerogoti
Sejak hari itu, Rina berubah.
Dia berhenti membentak.
Dia mulai memeluk Yuna sebelum tidur.
Memberikan sarapan.
Menyisir rambut Yuna sambil bercerita tentang masa kecilnya.
Tapi ada sesuatu yang tidak benar.
Senyumnya… terlalu lebar.
Matanya… kadang tidak berkedip terlalu lama.
Dan malam hari, Yuna mendengar suara ibunya berbicara sendiri di dapur, dengan suara pelan namun serak:
"Aku ingin dia tetap hidup. Aku ingin dia tetap di sini… selamanya."
Yuna mulai merasa terjebak di rumahnya sendiri.
Dia mencoba kabur suatu malam, tapi ibunya menangkapnya sebelum sempat melangkah keluar.
Rina memeluk Yuna erat, terlalu erat, sambil berbisik dengan suara yang bukan suaranya:
"Jangan tinggalkan ibu. Ibu mencintaimu… sampai mati."
Kebenaran yang Mengintai di Dapur
Suatu malam, saat Rina tertidur, Yuna mengumpulkan keberaniannya.
Dia mengambil senter kecil dan mengendap ke dapur, tempat terakhir ibunya berteriak sebelum semua berubah.
Di sana, dia menemukan sesuatu yang mengerikan.
Di sudut dapur, tersembunyi di balik tumpukan kain tua, ada tubuh ibunya.
Membusuk.
Tubuh itu mengenakan pakaian yang sama seperti saat terakhir Yuna mendengarnya berteriak.
Wajahnya beku dalam ekspresi kemarahan terakhirnya.
Mata kosong menatap langit-langit.
Rina yang asli… sudah mati.
Jadi, siapa yang tinggal bersamanya selama ini?
Siapa yang memanggilnya "sayang"?
Siapa yang menyisir rambutnya setiap pagi?
Yuna berbalik, tubuhnya gemetar.
Di belakangnya, berdiri sosok ibunya—tapi bukan ibunya.
Wajahnya tetap sama, tapi kulitnya mulai terkelupas.
Matanya tak lagi meniru manusia.
Senyumnya terlalu besar, memperlihatkan gigi-gigi yang tak beraturan.
"Ibu di sini untukmu, Yuna. Ibu akan selalu bersamamu… selamanya."
Beberapa minggu kemudian, tetangga mulai curiga karena mereka tidak pernah melihat Yuna atau ibunya keluar rumah.
Polisi dipanggil.
Mereka mendobrak pintu rumah itu.
Di dalamnya…
rumah itu kosong.
Tidak ada Yuna.
Tidak ada Rina.
Hanya sisa-sisa buah yang membusuk di piring, dan dinding penuh dengan coretan anak kecil:
"Ibu di sini. Ibu selalu di sini."
Kasus ini ditutup sebagai orang hilang tanpa petunjuk.
Tapi beberapa malam, tetangga kadang mendengar suara tawa kecil dari dalam rumah kosong itu.
Dan suara seorang wanita berbisik pelan
"Ibu mencintaimu, Yuna… sampai mati"
____________________________________
Haloo~ bagaimana dengan cerita pendek ini??, jika mau lanjut ayo cari @Nork1nes di watpad!!~