Alvin sedang asyik memainkan game yang lagi viral di Play Store, baru beberapa hari rilis, tapi udah rame banget yang main, Tak butuh waktu lama, Alvin pun ketagihan, bahkan matanya udah kayak lampu indikator WiFi—nyala terus.
Namun, keseruannya mendadak terganggu, ponselnya bergetar, tanda ada pesan masuk. Dengan kesal, Alvin mengabaikan notifikasi dari grup chat karena lagi fokus push rank, tapi tiba tiba, heronya berhenti gerak, di tengah tower musuh.
“Woi?! Ngapain diem di situ? Gerak dong, gerak!!” Alvin panik sambil mencet mencet layar.
Namun, layar hanya menampilkan ikon “Reconnecting...”
Dengan wajah penuh kebingungan dan amarah yang tertahan, Alvin langsung periksa jaringan. “Gak mungkin abis! Kan gue pake paket unlimited sebulan!!”
Di tengah kepanikannya, layar HP-nya malah menampilkan panggilan masuk dari Pak Julian, guru Matematika.
Alvin langsung pengen teriak sambil melempar HP ke kasur, menapa harus sekarang?! Dia lagi di match yang bakal nentuin nasibnya naik atau turun rank!
Dengan napas berat dan tangan gemetar, Alvin mengangkat teleponnya. “Ada apa, Pak?” tanyanya dengan nada berusaha ramah, padahal dalam hati udah nangis.
“Kamu tau kan Dylan gak masuk hari ini? Bisa kasih tahu dia kalau ada tugas Matematika? Harus dikerjain bertiga, ya,” kata Pak Julian dengan semangat 45, seakan sedang memimpin upacara kemerdekaan.
Dalam hati, Alvin melirik ke jam. “Tolong, Pak... cepetan tutup teleponnya... Kalau gak segera balik ke game, poin gue bakal turun.” gumamnya dalam hati sambil menggigit bibir karena kalau sampai di report bakal lebih buruk, yaitu bisa kena penalti!
“Siap, Pak. Bakal aku sampein,” jawab Alvin cepat. “Tapi, kali Bapak gak matiin teleponnya, aku gak bisa langsung kasih tau.”
“Oh iya, hampir lupa. Jangan lupa, Senin ada ujian Matematika, ya!” tambah Pak Julian sebelum akhirnya menutup telepon.
Begitu panggilan berakhir, Alvin buru buru balik ke gamenya, ia siap siap pasrah melihat statusnya pasti AFK (Away From Keyboard) dan berharap timnya gak nge-report dia.
Tapi betapa terkejutnya dia saat melihat statistiknya: 7 kill, 0 death, 3 assist.
“Wah, jago juga gue pas AFK!” Alvin terkejut.
Namun, begitu dia kembali pegang kendali, dia malah mati... sama creep dan monster jungle.
Alvin menatap layar dengan kosong. Mungkin hidup memang lebih baik tanpa dia main...
Namun entah karena pertandingan itu timnya berhasil menang, ia hanya mendapatkan teguran dari pihak game-dev, yaitu pengurangan 3 poin karena afk.
Dengan langkah santai Alvin memasukkan ponsel dalam saku dan berjalan menuju ke rumah temannya Dylan, meski ia tahu kalau temannya yang satu ini sangat amat pemalas, meski ‘Kaya’.
Setelah berjalan agak jauh akhirnya Alvin sampai tepat di depan rumah Dylan, ia menatap sekeliling dan tanpa menunggu lama ia pun mengetuk pintunya, sembari mengeluarkan perasaan kesak dalam dirinya.
Tok tok tok.
Lima detik... Sepuluh detik...Lima belas detik, tapi tak juga kunjung ada jawaban dari dalam rumah, ia pun merasa depresi meski tahu temannya itu agak mageran.
“Halah, ngapain lama banget sih? Lagi masak mie dulu, apa gimana?” gumam Alvin sambil melipat tangan. “jangan bilang dia udah metong malahan.”
Sambil menunggu, matanya melirik ke arah kolam ikan di halaman depan rumah Dylan, ikan ikan koi berwarna cerah berenang santai, seolah hidup mereka tanpa beban, Alvin menghela nafas.
“Hidup jadi ikan enak kali, ya. Cuma berenang, makan, santai… Eh, tapi kalau tiba tiba dimasak gimana?” Alvin merenung sendiri.
Lama lama, ia mulai terpaku pada ikan ikan itu, jari tangannya masih mengetuk pintu secara otomatis seperti sebuah robot.
Tok tok tok tok tok tok tok…
Pikiran Alvin semakin melantur, berawal dari game viral sampai membayangkan dirinya berubah menjadi ikan di kolam. “Kalo gue reinkarnasi jadi ikan, enaknya warna apa, ya? Merah? Kuning? Atau polkadot? Eh, ada nggak sih ikan polkadot?”
Tok tok tok tok tok tok tok…
Karena terlalu larut dalam pikirannya, Alvin terus mengetuk pintu dengan ritme yang makin cepat, seolah tangannya dikendalikan oleh algoritma otomatis, saking fokusnya, dia bahkan tak menyadari bahwa pintu di depannya telah terbuka.
“BANG!”
Tanpa aba-aba, tangan Alvin yang masih asyik mengetuk meluncur ke depan dan—
PLAK!
“AWOWOW!!”
Dylan, yang baru saja membuka pintu, langsung kena ketuk di kepalanya, ia mencengkeram dahinya sambil meringis kesakitan.
“ALVIN! NGAPAIN LO KETOK KEPALA GUE?!” teriak Dylan, matanya hampir keluar saking syoknya.
Alvin mengedipkan mata, seolah baru sadar apa yang terjadi. “Eh? Lo dari mana?”
“DARI DALAM, LAH! YA AMPUN, GUE LIAT LO KETOK-KETOK PINTU, TAPI NGGAK BERHENTI! ITU TANGAN LO MESIN STEMPLER ATAU GIMANA, SIH?!” Dylan berteriak dengan nada kesal setengah mati.
Alvin menyengir, ekspresinya penuh rasa bersalah tapi tetap santai. “Eh, sorry, sorry! Gue nggak sengaja! Tadi gue liatin ikan di kolam lo, terus tangan gue refleks aja…”
Dylan menatap Alvin dengan ekspresi tidak percaya, seolah mencoba memproses logika aneh temannya itu. “Jadi… lo sibuk mikirin ikan sampai nggak sadar ngetok kepala gue?!”
Alvin menggaruk kepala sambil nyengir. “Iya… maaf, tapi serius deh, lo pernah kepikiran nggak? Kalo reinkarnasi jadi ikan, enaknya warna apa?”
Dylan terdiam seolah tengah mencerna arti dari perkataan temannya itu, ia pun menatap Alvin dengan tatapan sulit di artikan.
Lalu—dengan satu gerakan cepat, Dylan memegang kembali gagang pintu sambil berkata. “TUTUP PINTU AJA LAH GUE!”
BRAK!
Pintu tertutup dengan dramatis, meninggalkan Alvin yang masih bengong di .
Alvin mengerjap beberapa kali. “…Jadi gue nggak boleh masuk?”
Dari balik pintu, suara Dylan terdengar penuh kelelahan. “SILAHKAN REINKARNASI JADI IKAN DI KOLAM GUE AJA!”
Seketika Alvin sampai lupa kalau ia baru saja di beri informasi tentang tugas Mtk dari pak Julian karena ia terlalu fokus pada ikan koi di dalam kolam.
Perlahan, Alvin melangkah mendekati kolam, matanya terpaku pada ikan-ikan koi yang berenang melingkar dengan anggun.
Alvin memperhatikan gerakan mereka yang begitu tenang, seolah dunia luar tidak ada artinya.
Semakin lama ia menatap, semakin pikirannya hanyut dalam ketenangan itu, hingga tanpa sadar tangannya terangkat untuk menggaruk kepala.
"Gue ke sini ngapain, ya? Kocak, pake acara lupa segala juga," gumamnya sambil terus mengamati ikan-ikan itu.
Betapa enaknya jadi mereka—hidup tanpa beban, tanpa tugas, tanpa harus pusing dengan angka-angka di lembar soal Matematika.
Tiba-tiba, suara notifikasi dari ponselnya memecah lamunannya, ia mengeluarkannya dari saku dan melihat pesan dari grup chat sekolah.
Beberapa murid sedang membahas pembagian tim, dan saat itu juga Alvin tersentak. “Oh, iya! Gue ke rumah Dylan bukan buat bengong di depan kolam, tapi karena sesuatu yang jauh lebih penting.”
Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju pintu depan rumah Dylan dan mengetuknya keras. "Buka pintu, oi!! Ady, ada tugas Mtk. Penting!" serunya dengan nafas sedikit tersengal, seolah baru saja menyadari betapa gentingnya situasi ini.
Dari dalam rah terdengar suara khas Dylan yang malas, walau ia tak berbicara tapi terdengar suara sepatu di seret.
“Berapa kali harus gue bilang, gue tuh gak tertarik buat reinkarnasi jadi ikan, bro…” teriak Dylan, namun tetap berjalan ke arah pintu.
Alvin mendengus kesal. “Bukan itu, bego! Ini serius! Pak Julian nyuruh kita ngerjain tugas Matematika, bertiga!”
Pintu mendadak terbuka lagi, menampilkan wajah Dylan yang kusut dan jelas-jelas tak tertarik. “Terus? Kita ngajak siapa? Lo tau kan gue gak bakal mau kerja bareng orang random yang gak gue suka.”
Alvin menghela napas panjang, sudah menduga kalau Dylan bakal ribet. “Makanya gue ke sini buat nanya lo. Gue sih kepikiran ngajak Stella, dia kan ketua kelas dan terkenal jenius.”
Dylan langsung memutar bola mata. “Hah? No way! Gue gak mau kerja sama dia, udah cerewet banget, gak bisa diem, ngajarin orang tapi kayak ngajak debat, bikin kepala gue meledak.”
Alvin melipat tangan. “Terus, kamu kayak pilihan lain apa?! Lo mau ngajak siapa, emangnya?”
Dylan menyeringai tipis. “Claire.”
Alvin langsung mendesah. “Astaga… Serius lo? Dia emang pinter banget, tapi diem kayak patung, kita gak bakal tau dia lagi mikirin solusi atau lagi ngegosip dalam hati, setidaknya Stella bisa ngasih penjelasan yang bener.”
Dylan mengangkat bahu. “Gue lebih suka orang yang kerja langsung tanpa banyak omong.”
Alvin mengacak rambutnya frustasi. “Yaelah, terserah! Tapi kalau Claire gak jawab apa-apa pas kita tanya, lo yang tanggung jawab, oke?”
Dylan menyeringai lebih lebar. “Deal. Sekarang, lo yang ngubungin dia.”
Alvin tertegun. “Lah? Kok gue? Kan itu ide lo!!”
Dylan menunjuk dirinya sendiri. “Gue gak punya kontaknya.”
Alvin ingin protes, tapi akhirnya menghela napas panjang. “Yaudah, bentar…”
Dengan kesal dan wajah tak percaya, akhirnya Alvin membuka ponsel, dan langsung mencari kontak Claire meski ia sebenarnya ingin mengajak Stella, namun demi temannya Dylan, ia pun mengirim pesan singkat.
“Claire, lo bisa bantu kita ngerjain tugas Matematika?”
Satu menit… dua menit… tiga menit… waktu berjalan begitu cepat namun tak ada balasan dari gadis itu.
Alvin melirik Dylan dengan ekspresi ‘tuh-kan-gue-bilang’.
Dylan tetap santai. “Coba telepon gih, kali aja dia sibuk, ya kan?”
Dengan malas, Alvin menekan tombol panggil, dering berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya tersambung.
Suara pelan terdengar dari seberang. “…Ada apa?”
Alvin merasa sedikit canggung. “Ehm, jadi gini, Claire. Kita butuh satu orang lagi buat tugas Matematika, lo bisa bantu?”
Namun Claire tak langsung menjawab, hanya ada keheningan di antara mereka.
Alvin menunggu dengan sangat tidak sabaran, sementara Dylan di sampingnya tampak begitu antusias seperti seseorang yang tengah menunggu paket kiriman datang.
Dalam hati Alvin merasa curiga, setiap kali diminta untuk membuat tugas tim, Dylan selalu setim dengan Claire bahkan ketika hanya berdua, ia pikir kalau sahabatnya akan memilih dirinya namun—tidak.
Beberapa detik kemudian, Claire akhirnya menjawab. “…Oke.”
Alvin langsung melongo. “Hah? Segitu doang jawabannya?”
Claire tetap dengan nada datarnya. “Iya. Kapan?”
Dylan menyikut Alvin, menyeringai menang. “Tuh kan, cepet dan gak ribet.”
Alvin menutup telepon sambil menghela napas. “Yaudah, kita kerjain besok di kafe dekat sekolah.”
Dylan mengangkat jempol, puas dengan keputusannya. “Mantap. Sekarang, lo bisa reinkarnasi jadi ikan.”
Alvin mendengus sambil menendang pelan kaki Dylan. “Lo yang mending jadi ikan. Gue masih mau hidup di darat.”
“Btw, menurut lo—”
Tapi tampaknya Alvin tak tertarik, ia hanya melambaikan tangan sambil berbalik meninggalkan kediaman rumah mewah Dylan, meski dalam hati masih banyak pertanyaan terus berputar.
Saat dalam perjalanan Alvin tak sengaja melihat Stella sedang berbelanja, namun tampaknya tak memperhatikan dirinya.
Alvin sempat ragu, namun akhirnya memutuskan untuk mendekati Stella, lagi pula, meski sudah resmi mengajak Claire, ia masih merasa kalau Stella adalah pilihan yang lebih baik.
“Stella!” Alvin memanggil, berjalan cepat mendekati gadis itu.
Stella, yang sedang memilih beberapa makanan ringan, menoleh dengan ekspresi bingung. “Eh? Alvin? Ngapain di sini?”
Alvin menggaruk kepalanya, merasa sedikit canggung. “Gue habis dari rumah Dylan. Eh, ngomong-ngomong, lo udah ada tim buat tugas Matematika?”
Stella menatapnya curiga. “Belum, kenapa emang?”
Alvin menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata. “Lo mau gabung sama kita? Gue, Dylan, sama Claire bakal ngerjain bareng di kafe besok.”
Stella mengernyit. “Claire? Bukannya dia jarang kerja tim?”
“Ya, itu ide Dylan,” Alvin menghela nafas, masih tak habis pikir bagaimana Dylan bisa begitu yakin pada Claire.
Stella melipat tangan, tampak berpikir sejenak. “Kenapa lo ngajak gue padahal tim lo udah lengkap?”
Alvin tersenyum miring. “Karena gue tahu lo jenius dan bisa ngejelasin dengan baik, Dylan pasti bakal stres kalau cuma kerja bareng Claire, soalnya dia tipe yang lebih banyak diam.”
Stella menatap Alvin cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan tersenyum tipis. “Fine. Gue ikut.”
Alvin merasa lega, tapi juga sedikit khawatir bagaimana Dylan akan bereaksi nanti kalau sampai tahu ia mengajak seorang lagi dalam tim mereka.
“Besok di kafe dekat sekolah, jangan telat,” kata Alvin sebelum melambaikan tangan dan berjalan pergi.
Sementara Stella menatap punggung Alvin yang menjauh, sebuah senyum kecil terukir di wajahnya. “Menarik,” gumamnya, sebelum kembali berbelanja.
Dalam perjalanan Alvin sangat menantikan kerja sama tim mereka, dan ingin memastikan kalau pilihannya lebih baik dari pada Dylan, serta berharap kalau nanti temannya itu akan mengikuti instruksinya.
Namun karena terlalu sibuk berjalan, Alvin malah kelewat rumahnya, ia bahkan tak sadar telah berjalan begitu jauh hingga tepat di depan rumah Claire.
“Lah, kok gue di sini??” Alvin memperhatikan sekeliling dengan alis berkerut. “Kocak, kok bisa gue malah sampe b*ta map!!”
Saat hendak berjalan pergi, Alvin mendengar suara pelan di belakangnya, dan dengan cepat ia berbalik sambil sesekali menggaruk kepalanya.
“Denger ya, Claire, gue gak beneran—”
“Lo ke sini?!” terdengar suara Claire sedikit lebih hangat di banding biasanya.
“Iya, gak mungkin lah gue ninggalin lo sendirian aja.” suara seorang pemuda yang tampaknya lebih tua satu tahun dari mereka.
Saat berbalik Alvin terdiam karena ia sempat mengira kalau selama ini Claire tengah berbicara dengannya, tapi karena penasaran, ia memutuskan untuk memperhatikan dari jauh, dan tampaknya gadis itu terlihat berbeda.
“Gue pulang aja kali ya?” gumam Alvin kepada dirinya sendiri. “tapi, siapa sih orang aneh itu, gak jelas banget asli...”
Namun karena merasa bahwa telah mendapatkan gosip baru, Alvin pun melangkah mundur dan berjalan menuju ke rumahnya, kali ia ia berusaha untuk tetap fokus agar tak dianggap b*t4 map.